Pertama
Lebih efektif karena seorang alim mempunyai daya telaah dan pengetahuan dan memberikan ilmu kepadamu dengan ilmu yang matang dan mudah.
Kedua
Mencari ilmu dari seorang yang alim akan lebih dekat kepada kebenaran, dalam arti orang yang menuntut ilmu kepada seorang yang bukan alim akan menimbulkan sikap mengada-ada dan pendapat-pendapat yang syadz (menyimpang/ganjil) yang jauh dari kebenaran. Hal itu disebabkan karena dia tidak membaca kitab di hadapan orang alim yang ilmunya mendalam sehingga bisa mendidiknya di atas jalan yang dipilihnya.
Maka menurut pendapat saya, seseorang harus bersungguhsungguh memiliki seorang guru untuk mencari ilmu, karena jika dia memiliki guru maka guru tersebut akan mengarahkannya dengan pengarahan yang menurutnya sesuai dengan murid (yang diajarnya).
Adapun jawaban bagi pertanyaan di atas, maka secara umum kita katakan:
Pertama
Lebih utama bagi seseorang untuk menghafal Kitabullah sebelum kitab lainnya karena ini merupakan kebiasaan para Sahabat radhiallahu?anhum. Mereka tidak bergeser dari sepuluh ayat pertama sebelum mereka mempelajari (menghafal) ilmu yang terkandung di dalamnya serta mengamalkannya. Dan Kalamullah adalah kalam yang paling sempurna secara mutlak.
Kedua
Dia harus mengambil matan (redaksi) hadits-hadits ringkas yang akan menjadi simpanan baginya ketika berdalil dengan Sunnah, seperti `Umdatul Ahkaam, Buluughul Maraam, al Arba'iin An Nawawiyyah dan yang semisalnya.
Ketiga
Menghafal matan-matan fiqih yang sesuai dengan dirinya dan matan yang paling bagus yang kita hafal adalah Zaadul Mustaqni' fii Ikhtishaaril Muqni' karena (syarah) kitab ini telah dikerjakan oleh pensyarahnya Manshur bin Yunus al-Bahuthi dan orang-orang setelahnya dari orang-orang yang mengerjakan syarah dan matan kitab ini dengan catatan kaki yang banyak.
Keempat
Nahwu. Tahukah engkau apa itu nahwu yang tidak diketahui oleh para penuntut ilmu kecuali hanya sedikit saja di antara mereka sehingga engkau melihat seseorang telah lulus dari satu fakultas dalam keadaan tidak mengetahui ilmu nahwu sedikit pun, persis seperti apa yang digambarkan oleh seorang penya'ir:
Lebih efektif karena seorang alim mempunyai daya telaah dan pengetahuan dan memberikan ilmu kepadamu dengan ilmu yang matang dan mudah.
Kedua
Mencari ilmu dari seorang yang alim akan lebih dekat kepada kebenaran, dalam arti orang yang menuntut ilmu kepada seorang yang bukan alim akan menimbulkan sikap mengada-ada dan pendapat-pendapat yang syadz (menyimpang/ganjil) yang jauh dari kebenaran. Hal itu disebabkan karena dia tidak membaca kitab di hadapan orang alim yang ilmunya mendalam sehingga bisa mendidiknya di atas jalan yang dipilihnya.
Maka menurut pendapat saya, seseorang harus bersungguhsungguh memiliki seorang guru untuk mencari ilmu, karena jika dia memiliki guru maka guru tersebut akan mengarahkannya dengan pengarahan yang menurutnya sesuai dengan murid (yang diajarnya).
Adapun jawaban bagi pertanyaan di atas, maka secara umum kita katakan:
Pertama
Lebih utama bagi seseorang untuk menghafal Kitabullah sebelum kitab lainnya karena ini merupakan kebiasaan para Sahabat radhiallahu?anhum. Mereka tidak bergeser dari sepuluh ayat pertama sebelum mereka mempelajari (menghafal) ilmu yang terkandung di dalamnya serta mengamalkannya. Dan Kalamullah adalah kalam yang paling sempurna secara mutlak.
Kedua
Dia harus mengambil matan (redaksi) hadits-hadits ringkas yang akan menjadi simpanan baginya ketika berdalil dengan Sunnah, seperti `Umdatul Ahkaam, Buluughul Maraam, al Arba'iin An Nawawiyyah dan yang semisalnya.
Ketiga
Menghafal matan-matan fiqih yang sesuai dengan dirinya dan matan yang paling bagus yang kita hafal adalah Zaadul Mustaqni' fii Ikhtishaaril Muqni' karena (syarah) kitab ini telah dikerjakan oleh pensyarahnya Manshur bin Yunus al-Bahuthi dan orang-orang setelahnya dari orang-orang yang mengerjakan syarah dan matan kitab ini dengan catatan kaki yang banyak.
Keempat
Nahwu. Tahukah engkau apa itu nahwu yang tidak diketahui oleh para penuntut ilmu kecuali hanya sedikit saja di antara mereka sehingga engkau melihat seseorang telah lulus dari satu fakultas dalam keadaan tidak mengetahui ilmu nahwu sedikit pun, persis seperti apa yang digambarkan oleh seorang penya'ir:
لا بارك الله في النحو ولا أهله * إذا كان منسـوبا إلى نفطويه
أحـرقه الله بنصـف اسـمه * وجعل الباقي صـراخاً عليه
Semoga Allah tidak memberi barakah dalam nahwu dan ahlinya
Apabila dia dinisbatkan kepada omongan yang tidak terfahami
Semoga Allah membakarnya dengan separuh namanya
Dan menjadikan sisanya sebagai teriakan atasnya.
Mengapa penya'ir ini berkata demikian? Jawabnya karena dia lemah tentang nahwu. Tetapi saya katakan bahwa pintu nahwu itu pintunya dari besi, sedangkan lorongnya adalah benang emas. Artinya dia amat keras dan sukar ketika pertama kali memasukinya tetapi jika pintunya telah terbuka bagi orang yang mencarinya, dia akan merasakan kemudahan pada langkah selanjutnya dengan semudah-mudahnya sehingga jadilah dia sesuatu yang mudah baginya, sehingga beberapa penuntut ilmu yang baru memulai dalam mempelajari nahwu menjadi terpikat. Maka jika engkau berbicara kepada mereka dengan pembicaraan yang biasa, dia akan mengi'rabnya (mengurainya) agar terlatih dalam hal i'rab. Di antara matan nahwu yang paling baik adalah al-Aajuruumiyyah, sebuah kitab yang ringkas tetapi sangat terfokus (padat). Oleh karena itu saya nasihatkan bagi para pemula untuk memulai dengan kitab ini. Maka inilah pokok-pokok yang harus dijadikan landasan bagi para penuntut ilmu.
Kelima
Adapun yang berhubungan dengan ilmu tauhid, maka kitab-kitab tentang masalah ini amatlah banyak. Di antaranya: Kitaabut Tauhiid karya Syaikhul Islam Muhammad bin `Abdil Wah-hab rahimahullah, al-Aqiidah al-Waasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab ini sangat banyak dan sangat dikenal, wal hamdulillah
Dan nasihat umum bagi para penuntut ilmu bahwa ilmunya harus berdampak terhadap dirinya berupa takwa kepada Allah melaksanakan ketaatan kepada-Nya, berakhlak mulia, ihsan (berbuat baik) kepada sesama makhluk dengan cars mengajar, membimbing, dan gigih dalam menyiarkan ilmu melalui berbagai media, baik melalui koran, majalah, kitab-kitab, risalah, buletin dan media lainnya.
Saya pun menasihatkan kepada para penuntut ilmu agar tidak tergesa-gesa dalam menghukumi (memvonis) sesuatu. Karena sebagian penuntut ilmu yang masih pemula engkau lihat tergesa-gesa dalam berfatwa dan menetapkan hukum. Dan terkadang menyalahkan para ulama besar sedangkan dia (memiliki tingkatan yang) jauh di bawah para ulama tersebut, sehingga beberapa orang mengatakan, Saya berdebat dengan salah seorang penuntut ilmu yang masih pemula, lalu saya katakan kepadanya bahwa ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Maka dia berkata, Siapa Imam Ahmad bin Hanbal? Imam Ahmad bin Hanbal laki-laki, kita pun laki-laki. Subhanallaah!!. Memang benar Imam Ahmad bin Hanbal laki-laki dan engkau laki-laki sehingga kalian berdua sama dalam hal kelaki-lakiannya, adapun dalam hal ilmu maka antara kalian berdua terdapat perbedaan yang amat jauh. Tidak semua laki-laki layak dianggap sebagai laki-laki dalam hal ilmu.
Saya katakan: Seorang penuntut ilmu wajib bertatakrama dengan sikap tawadhu', tidak merasa ta'jub dengan diri sendiri, dan hendaklah mengetahui kemampuan diri.
Di antara hal yang penting bagi seorang penuntut ilmu: janganlah dia banyak menelaah pendapat para ulama, karena jika engkau banyak menelaah pandapat para ulama dan menelaah al-Mughni dalam masalah fiqih karya Ibnu Qudamah, al-Majmuu' karya anNawawi, dan kitab-kitab besar yang menerangkan ikhtilaf dan engkau mendiskusikannya, maka engkau akan sia-sia (rusak). Mulailah pertama kali, seperti yang telah saya katakan, dengan matan-matan yang ringkas, sedikit demi sedikit sehingga engkau akan sampai kepada tujuan. Adapun jika engkau ingin menaiki pohon dari rantingnya, maka ini adalah salah.
Diambil dari Kitabul 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar