tag:blogger.com,1999:blog-45776911872076934362023-11-15T23:46:46.553+08:00FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIFORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-18791310872391407732008-02-20T10:55:00.005+08:002008-02-20T11:15:58.647+08:00Kajian Ilmiah Bedah Buku " Mungkinkah Syi'ah & Sunnah Bersatu? "<div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Insya Allah Forum Kajian Islam Al-'Ilmi akan menyelenggarakan Kajian Ilmiah Bedah Buku yang bertemakan " Mungkinkah Syi'ah dan Sunnah Bersatu? ", Karya Syaikh Muhibbuddin Al Khatiib yang dialih bahasakan oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri. </span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Insya Allah Kajian tersebut akan diselengggarakan pada :</span></div><div align="justify"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:130%;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;"></span></div><div align="center"><strong><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Hari : Senin, 3 Maret 2008</span></strong></div><div align="center"><strong><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Pukul : 09.00 WIB</span></strong></div><div align="center"><strong><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Tempat : Musholla Bahrul 'Ulum FTI UII</span></strong></div><div align="center"><strong><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Pembicara : Ust. Abdussalam, Lc</span></strong></div><div align="center"><strong><span style="font-family:Times New Roman;font-size:130%;"></span></strong> </div><div align="center"><strong><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;"></span></strong></div><div align="center"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Insya Allah juga akan dibagikan buku yang bertemakan " Mungkinkah Syi'ah dan Sunnah Bersatu? ", Karya Syaikh Muhibbuddin Al Khatiib secara GRATIS untuk peserta yang datang pada acara tersebut. </span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:times new roman;font-size:130%;">Bagi masyarakat yang tidak berkesempatan hadir dalam acara tersebut, insy Allah juga dapat membaca buku tersebut di setiap Perpustakaan yang terdapat pada masing-masing Fakultas di UII mulai akhir bulan Februari atau awal bulan Maret.</span></div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-56074567815001305912008-02-15T10:49:00.000+08:002008-02-15T10:50:18.693+08:00Makna Ikhlas<div style="text-align: justify;"> Oleh<br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin<br /><br />Pertanyaan<br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa makna Al-Ikhlas? Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?<br /><br />Jawaban<br />Ikhlas kepada Allah Ta’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan keridhaan-Nya.<br /><br />Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka disini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut :<br /><br />Pertama.<br />Dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.<br /><br />Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman.<br /><br />“Artinya : Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” [1]<br /><br />Kedua<br />Dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duaniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah ; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman.<br /><br />“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud : 15-16]<br /><br />Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama ; Bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya di puji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadapn dirinya.<br /><br />Ketiga<br />Dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya –disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya ; dia berhaji –disamping niat beibadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir) dan bertemu para jama’ah haji ; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jama’ah haji.<br /><br />“Artinya : Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]<br /><br />Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya.<br /><br />“Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” [At-Taubah : 58]<br /><br />Di dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila ,-penj) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala” [2]<br /><br />Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />“Artinya : Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut” [3]<br /><br />Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga ; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selain-Nya juga.<br /><br />Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai malalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.<br /><br />Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”<br /><br />Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.<br /><br />Yang jelas perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa hadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.<br /><br />Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas”<br /><br />Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugrahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.<br /><br />[Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 1, hal. 98-100]<br /><br />[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]<br />__________<br />Foote Note.<br />[1]. Shahih Muslim, kitab Az-Zuhd (2985)<br />[2]. Sunan Abu Daud kitab Al-Jihad (2516), Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) ; lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad no. 7887<br />[3]. Shahih Al-Bukhari, kitab Bad’u Al-Wahyi (1), Shahih Muslim, kitab Al-Imarah (1907)</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-12513062900016594522008-02-15T10:40:00.000+08:002008-02-15T10:42:02.489+08:00<div style="text-align: justify;"> ETIKA BERGAUL<br /><br />Oleh<br />Ustadz Fariq bin Gasim Anuz<br /><br /><br />Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa yang dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda.<br /><br />“Artinya : Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.” [Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]<br /><br />Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.<br /><br />Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.<br /><br />Allah berfirman.<br /><br /> “Artinya : Pergauilah mereka (isteri) dengan baik”. [An-Nisaa : ’1]<br /><br />“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]<br /><br />Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda.<br /><br />“Artinya : Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]<br /><br />“Artinya : Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.[HR.Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]<br /><br />URGENSI PEMBAHASAN ETIKA BERGAUL<br />Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam. Walaupun prioritas pertama yang diajarkan olah para Nabi adalah tauhid, namun bersamaan dengan itu, mereka juga mengajarkan akhlak yang baik. Bahkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang manusia yang berakhlak mulia. Allah berfirman.<br /><br /> “Artinya : Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung”.[Al-Qalam 4]<br /><br />Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya :<br /><br />“Artinya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik” [Al-Ahzab 21]<br /><br />Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah berfirman.<br /><br />“Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai, Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat petunjuk” [Al-Imran : 103]<br />.<br />Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang istri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang da’i atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan da’i atau lainnya dan dengan mad’u (yang didakwahi) atau terhadap muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.<br /><br />Kurang mempraktekkan etika bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran, disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.<br /> <br />Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya, dengan tidak memperdulikan cara penyampaiannya yang benar atau salah, etikanya baik atau buruk, akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada etika orang itu. Oleh karena itu, mengetahui etika ini penting bagi kita, sebagai muslim yang punya kewajiban saling menasehati sesama manusia, agar bisa mempraktekkan cara bergaul yang benar.<br /><br />MOTIVASI DALAM BERGAUL<br />Faktor yang mendorong seorang muslim dalam bergaul dengan orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, tidak berkata-kata yang menyakitkan kepada orang lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah, Demikianlah seharusnya. jangan sebaliknya, yaitu, bertujuan bukan dalam rangka mencari ridha Allah. Misalnya : bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua itu dilakukan karena kepentingan dunia. atau ketika berurusan dalam perdagangan, sikapnya ditunjukkan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dunia. tingkah laku seperti ini yang membedakan antara muslim dengan non muslim.<br /><br />Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan dunia semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal dan akrab lagi. Atau seseorang senang ketika oramg lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang muslim. Sikap seperti itu merupakan perbuatan salah.<br /><br />Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 : “Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya”. hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.<br /><br />Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.<br /><br />Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.<br /><br />Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja.yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya.namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.<br /><br />Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata: “Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.<br /><br />Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.<br /><br />Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf 67,artinya: “teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.<br /><br />Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.<br /><br />Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.<br /><br /><br />[Sumber : Majalah As-Sunnah edisi 03 – 04/ V11/ 1424/ 2003 M. Diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-53459386835879327472008-02-15T10:33:00.002+08:002008-02-15T10:34:52.191+08:00Dimana Allah....?<div style="text-align: justify;"> DIMANA ALLAH..?<br /><br />Oleh<br />Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani<br /><br />Suatu ketika syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas disini :<br /><br />Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah bertanya : "Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah bersemayam di atas Arsy?<br /><br />Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan syaikh Al-Albani, dan syaikh-pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan : "Kami berharap demikian."<br /><br />Syaikh berkata kepadanya : "Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!"<br /><br />Lalu, diapun menjawab dengan tegas bahwasanya mereka tidak mengetahui hal itu. Maka, syaikh berkata : "Cukuplah bagiku jawabanmu ini!"<br /><br />Prinsip Tasfiyyah (pemurnian) dan Tarbiyyah (mendidik) mengharuskan pertanyaan diatas yang merupakan barometer yang paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama'ah-jama'ah pada zaman ini yang menyerukan jihad. Sebab, orang yang tidak mampu memurnikan akidah para pendukung dan pecintanya, tentu ketidak mampuannya akan lebih nampak pada pemurnian (buah dari aqidah tersebut), baik dalam akhlak, perilaku maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yang membenci dan memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :<br /><br />"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." [Ar-Ra'd : 11]<br /><br />Selanjutnya, jihad itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dengan sebuah umat yang hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br /><br />"Artinya : Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mu'min, dan yang mempersatukan hati mereka." [Al-Anfaal : 62-63]<br /><br />Sedangkah hati-hati itu, jika tidak disatukan diatas aqidah salafus shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yang tidak akan mungkin dapat disatukan dengan persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan mengarahkan firman-Nya kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah atas mereka.<br /><br />"Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu." [Al-Baqarah : 137]<br /><br />Bagaimanapun yang telah diupayakan oleh para "Buih politik" itu, berupa pengumpulan (masa pendukung), namun sesungguhnya permulaan aqidah mereka mengarah kepada suatu sikap "Tamyi" (sikap menerima siapa saja yang mendukung mereka tanpa memperhatikan aqidah yang dianutnya) dan akan berakhir dengan perpecahan dan saling membid'ahkan.<br /><br />Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yang bersifat jasmani tidak akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati bercerai-berai. Dan saya tidak menjumpai suatu sifat (gambaran) yang lebih tepat dan benar untuk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi :<br /><br />"Artinya : Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah." [Al-Hasyr : 14]<br /><br />Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasan yang baik bagi hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya saja. Tanpa menyekutukan-Nya, Allah berfirman :<br /><br />"Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku” [An-Nur : 55]<br /><br />Bagian terdepan ayat ini tidak boleh ditolak dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah untuk membatalkannya, karena seorang muslim adalah orang yang senantiasa berhenti pada nash (ayat al-Qur'an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.<br /><br />"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [An-Nahl : 74]<br /><br />Adapun pembatasan syaikh Al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pada masalah istiwa (bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa merupakan persimpangan jalan yang memisahkan antara ahlussunnah dan para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah aqidah yang mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yang hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka telah menaklukkan dunia ini dan memimpin umat-umat yang beraneka ragam. (Aqidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.<br /><br />Ujian itu dilakukan oleh syaikh Al-Albani dengan menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yang beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya dan berada di atas garis kejahilan (orang-orang yang hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh para salafus shalih, meskipun dibenci oleh setiap khalaf (orang yang datang sesudah mereka) yang tidak menempuh jalan dan cara mereka.<br /><br />Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.<br /><br />"Artinya : Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan (kepadanya) : 'Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?' Beliau berkata : 'Panggillah ia!' Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya : 'Dimana Allah?' Wanita itu menjawab : 'Diatas'. Beliau bertanya lagi : 'Siapakah aku?' Ia menjawab : 'Engkau adalah utusan Allah!' Beliau berkata : 'Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman'." [Ahmad V/447, Muslim No. 537]<br /><br />Maka, perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut (semoga Allah merahmati anda), yang mana Rasulullah berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dengan seksama realita masyarkat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dengan seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yang sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dengan perjuangan masyarakat muslimin yang pertama.<br /><br />Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) diatas aqidah “ainallah” (dimana Allah)?<br /><br />Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yang telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yang diperolok-olokan oleh para pengasuh jama'ah-jama'ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah Azza wa Jalla, meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla ?<br /><br />Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah ?<br /><br />"Artinya : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." [Yusuf : 21]<br /><br />Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum mengandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa' (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla diatas 'Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasannya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya :<br /><br />"Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi" [Al-A'raaf : 96]<br /><br />Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dengan hak Allah. Adapun perhatian terhadap "Sifat istiwa' Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya" merupakan perhatian yang murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yang mengajak menusia kepada penetapan dan iman kepada sifat ini tidak mendapat bagian untuk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.<br /><br />Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan "Hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla " yang disertai dengan sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang murni atau mengakhirkannya atau menjadikannya sebagai suatu masalah yang berada pada urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yang menunjukkan bahwa pada urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yang paling mulia yang diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas.<br /><br />Semua ini semakin memberi penekanan yang kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah / ajakan para Nabi alaihimussalam yang telah menyatakan kepada umat-umat mereka :<br /><br />"Artinya : Beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia." [Al-A'raaf : 59]<br /><br />Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yang terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yang terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas untuk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/ kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman, renungkanlah !!!<br /><br />[Diterjemahkan dari kitab Sittu Durror karya Syaikh Abdul Malik Al-Jazairi, oleh Abu Abdillah]<br /><br />[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 th. II Sya’ban 1425H/Oktober 2004M. Diterbitkan Ma’had Ali-AlIrsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]<span style="display: block;" id="formatbar_Buttons"><span class="" style="display: block;" id="formatbar_JustifyFull" title="Rata Kiri Kanan" onmouseover="ButtonHoverOn(this);" onmouseout="ButtonHoverOff(this);" onmouseup="" onmousedown="CheckFormatting(event);FormatbarButton('richeditorframe', this, 13);ButtonMouseDown(this);"></span></span></div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-57504575017758811012008-02-15T10:09:00.000+08:002008-02-15T10:11:15.907+08:00Iman Kepada Takdir<table style="text-align: left; margin-left: 0px; margin-right: 0px;" border="0" cellpadding="3" cellspacing="2" width="100%"><tbody><tr><td><table cellpading="0" align="center" cellspacing="0" width="90%"><tbody><tr><td><span class="smalltype">Iman kepada takdir merupakan salah satu rukun Iman yang harus dipahami dan diyakini dengan benar. Berikut ulasan Syaikh Mohammad bin Shalih Utsaimin di dalam Syarh Tsalatsatil Ushul.</span></td></tr> </tbody></table> </td></tr> <tr><td class="tengahtop"><br /></td></tr> <tr><td><div align="justify">Qadar yaitu ketentuan Allah yang berlaku bagi setiap makhluk-Nya, sesuai dengan ilmu dan hikmah yang dikehendak-Nya.<br /><br /><b>UNSUR-UNSUR IMAN KEPADA TAKDIR</b><br />Beriman terhadap qadar atau takdir mengandung empat unsur:<br /><br /><b>Pertama</b><br />Beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara rinci dan global sejak zaman dulu dan azali, baik yang berhubungan dengan pekerjaan Dzat-Nya maupun hamba-Nya.<br /><br /><b>Kedua</b><br />Beriman bahwa Allah menulis semua ketentuan <i>(qadar)</i> tersebut di <i>Lauh Mahfuzh.</i> <br /><br />Untuk dua hal ini Allah berfirman,<br /><i>''Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikaan itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.'' (Al-Hajj: 70).</i><br /><br />Dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu'anhuma berkata, <br /><i>''Saya mendengar Rasulullah bersabda, 'Allah telah menulis ketentuan seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi selang waktu lima puluh ribu tahun.'' (HR. Muslim)</i><br /><br /><b>Ketiga</b><br />Beriman bahwa semua yang ada di alam tidak ada kecuali atas kehendak Allah, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya atau perbuatan ciptaan-Nya.<br /><br />Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan-Nya,<br /><i>''Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.''(Al-Qashash:68).</i><br /><br /><i>''Dan Allah membuat apa saja yang Ia kehendaki.''(Ibrahim: 27)</i><br /><br /><i>''Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.'' (Ali Imran:6).</i><br /><br />Adapun yang berhubungan dengan perbuatan hamba-Nya, Allah berfirman<br /><i>''Kalau menghendaki tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu.''(An-Nisa': 90).</i><br /><br /><i>''Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.''(Al-An'am:112).</i><br /><br /><b>Keempat</b><br />Beriman bahwa segala makhluk yang ada adalah ciptaan Allah, baik dzatnya, sifatnya maupun gerakannya. <br /><br />Firman Allah<br /><i>''Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.''(Az-Zumar: 62).</i><br /><br />Firman Allah tentang pribadi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam<br /><i>''Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat.''(Ash-Shaffat: 96)</i><br /><br />Firman Allah<br /><i>''Dan Dialah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.'' (Al-Furqan: 2)</i><br /><br /><br /><b>BERIMAN KEPADA TAKDIR TIDAK MENAFIKAN KEHENDAK MAKHLUK</b><br />Beriman terhadap qadar (takdir) seperti yang telah kita jelaskan tidak menafikan bahwa hamba memiliki kehendak untuk memilih sesuatu perbuatan karena secara dalil <i>naqli</i> dan <i>aqli</i> menunjukkan hal itu.<br /><br /><b>Dalil syar'i (naql)</b><br />Allah berfirman menjelaskan bahwa manusia memiliki kehendak<br /><i>''Maka barangsiapa siapa menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya'' (An-Naba': 39)</i><br /><br /><i>''Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.'' (Al-Baqarah: 223).</i><br /><br /><i>''Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah'' (At-Taghabun:16).</i><br /><br />Firman-Nya<br /><i>''Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahata (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.'' (Al Baqarah: 286).</i><br /><br /><b>Secara Fakta</b><br />Setiap orang mengetahui bahwa ia memiliki kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Ia sendiri bisa membedakan antara perbuatan yang ia lakukan dengan kehendaknya, seperti berjalan dengan perbuatan yang terjadi di luar kehendak, seperti gemetar. Akan tetapi kehendak dan kemampuan hamba tersebut terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah, karena Allah berfirman<br /><i>''(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta-alam.'' (At-Takwir: 28-29).</i><br /><br />Setiap yang ada di alam adalah milik Allah dan tidak mungkin sesuatu yang menjadi hak milik-Nya terjadi tanpa sepengetahuan dan kehendak-Nya.<br /><br /><b>IMAN KEPADA TAKDIR BUKAN DALIH DIBOLEHKANNYA MELAKUKAN MAKSIAT</b><br />Beriman terhadap qadar (takdir) bukan berarti menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan kemaksiatan. Siapa yang menjadikan takdir sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan kemaksiatan maka hujjah dan alasan tersebut batal karena hal-hal dibawah ini:<br /><br /><b>Pertama</b><br />Firman Allah: <br /><i>''Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun'. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, 'Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakan kepada kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.''(Al-An'am:148).</i><br /><br />Seandainya alasan mereka dalam ayat ini benar pasti Allah tidak mengadzab mereka.<br /><br /><b>Kedua</b><br />Firman Allah<br /><i>''(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'' (An-Nisa':165).</i><br /><br />Jika takdir dibenarkan untuk menjadi alasan mereka yang membangkang para rasul, maka hujah dan alasan tersebut tidak ditiadakan setelah datang rasul-rasul tersebut karena pembangkangan mereka setelah diutusnya rasul juga terjadi atas takdir dan ketentuan Allah.<br /><br /><b>Ketiga</b><br />Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dan lafazh dari riwayat Imam al-Bukhari dari Ali bin Abi Thalib, sesungguhnya Nabi bersabda.<br /><i>''Setiap orang dari kalian telah ditentukan tempatnya di Surga atau di Neraka. Seseorang bertanya, 'Kenapa kita tidak pasrah saja, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Jangan, akan tetapi berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan”. Kemudian beliau membaca ayat, 'Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.'' (AI-Lail: 5)</i><br /><br />Dalam riwayat Muslim dengan lafahz<br /><i>''Masing-masing dimudahkan sesuai takdirnya.''</i><br />Maka Rasulullah memerintahkan untuk berbuat dan melarang pasrah kepada takdir.<br /><br /><b>Keempat</b><br />Allah melarang dan memerintah hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya dan tidak membebankan kepadanya kecuali yang dia sanggup.<br /><br />Firman Allah<br /><i>''Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.'' (At-Taghabun:l6).</i><br /><br />Firman-Nya<br /><i>''Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupunnya.''(Al-Baqarah: 286)</i><br /><br />Jika seorang hamba melakukan perbuatan dengan terpaksa, tentu ia akan mendapatkan beban yang tidak mungkin ia bisa lepas darinya. Ini jelas tidak benar.<br /><br />Oleh karena itu jika ia berbuat sesuatu maksiat karena bodoh, lupa atau dipaksa maka ia tidak berdosa.<br /><br /><b>Kelima</b><br />Qadar (takdir) Allah adalah suatu rahasia yang tidak bisa diketahui, kecuali setelah terjadi. Kehendak manusia untuk berbuat dan melakukan tindakan mendahului perbuatannya, ini berarti kehendaknya untuk berbuat dan melakukannya ada sebelum ia tahu tentang takdir Allah tersebut, maka batallah hujjahnya dengan takdir tersebut, karena tidak dibenarkan seseorang berdalih dengan sesuatu yang tidak ia ketahui.<br /><br /><b>Keenam</b><br />Dalam hal keduniawian setiap orang berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan hati dan tak seorang pun yang ingin mendapatkan kepahitan dunia lalu berdalih dengan takdir, tetapi kenapa di saat ia ingin berbuat kemudharatan dalam masalah agama dan akhiratnya kemudian berdalih dengan takdir? Bukankah keduanya sama?<br /><br />Suatu contoh,<br />Jika seseorang di hadapannya ada pilihan dua jalan. Jalan yang satu menuju negeri yang kacau den tidak aman, banyak terjadi pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kelaparan dan segala yang menakutkan sedang jalan lainnya menuju negeri yang aman, tertib, tenang penuh kedamaian dan keselamatan bagi kehormatan, harta benda serta jiwa. Jalan manakah yang akan ia tempuh? Ia pasti memilih jalan yang kedua, jalan aman yang mengantarkannya menuju negeri yang aman dan tertib. Tidak mungkin bagi orang yang berakal sehat memilih jalan yang menuju negeri yang kacau dan menakutkan lalu berdalih dengan takdir. Kenapa ia memilih dalam perkara akhirat jalan Neraka bukannya jalan Surga lalu berdalih dengan takdir?<br /><br />Contoh lain<br />Orang sakit yang disuruh dokter minum obat pahit yang berlawanan dengan keinginan nafsunya dan ia dilarang memakan suatu makanan yang membahayakan kesehatannya sementara nafsunya sangat menginginkan. Semua ini dalam rangka mendapatkan kesembuhan dan kesehatan tubuh. Tidak mungkin ia menolak meminum obat atau memakan makanan yang dilarang oleh dokter tersebut lalu berdalih dengan takdir. Tapi kenapa di saat ia menolak perintah Allah dan Rasul-Nya atau mengerjakan larangan Allah dan Rasul-Nya ia berdalih dengan takdir?<br /><br /><b>Ketujuh</b><br />Jika orang yang berdalih dengan takdir di saat melanggar kewajiban atau mengerjakan kemaksiatan diganggu hak dan kehormatannya oleh orang lain dengan dalih takdir dan orang itu mengatakan, Jangan salahkan saya jika saya mengganggu hak dan kehormataan Anda karena semua ini terjadi atas takdir Allah, pasti ia tidak akan menerima alasan tersebut. Kenapa ia tidak bisa menerima alasan tersebut jika ia yang diganggu dan dinodai hak dan kehormatannya, sementara ia membuat alasan yang sama dalam melanggar hak Allah?<br /><br />Disebutkan dalam suatu riwayat dari Umar bin Khathab bahwa beliau pernah memotong tangan pencuri, maka pencuri tersebut berkata: Sebentar, wahai Amirul Mukminin, Sebetulnya saya mencuri ini atas takdir Allah. Umar menjawab: Kami memotong tanganmu ini juga karena takdir Allah.<br /><br /><b>BUAH BERIMAN KEPADA TAKDIR</b><br />Beriman terhadap qadar (takdir) membuahkan basil yang sangat besar:<br /><br /><b>Pertama</b><br />Bersandar kepada Allah disaat melakukan usaha, tidak bersandar pada hukum sebab akibat semata karena segala sesuatu yang terjadi atas takdir dan kehendak Allah.<br /><br /><b>Kedua</b><br />Seseorang menjadi tidak bangga diri di saat mendapatkan keinginannya karena seluruhnya pemberian dan karunia Allah. Sebab bangga diri akan membuat seseorang lalai untuk mensyukuri nikmat Allah.<br /><br /><b>Ketiga</b><br />Merasa tenang dan tentram jiwanya dalam menghadapi segala yang terjadi pada dirinya dan tidak merasa gundah dan gelisah di saat ditimpa musibah atau kehilangan sesuatu yang dicintainya. Karena hal itu terjadi atas kehendak dan takdir Allah yang menguasai langit dan bumi, semua yang Dia kehendaki pasti terjadi.<br /><br />Firman Allah:<br /><i>''Tiada suatu musibahpun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirmu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya, sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri'' (Al-Hadid:22-23)</i><br /><br />Nabi bersabda:<br /><i>''Sungguh menakjubkan segala urusan orang mukmin, seluruhnya baik, yang itu tidak terjadi kecuali pada diri orang mukmin. Jika ia mendapatkan kenikmatan lalu bersyukur maka itu baik baginya, jika tertimpa musibah lalu bersabar maka itu juga baik baginya.''(HR. Muslim)</i><br /><br />Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin</div></td></tr></tbody></table>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-52334779829825738322008-02-15T10:05:00.001+08:002008-02-15T10:09:28.280+08:00Islam adalah darah dagingmu<div style="text-align: justify;">Dinukil dari Imam yang zuhud, ahli ibadah dan wara' bernama Sufyan Ats-Tsauri dari wasiat-wasiat, nasihat dan kalimat yang penuh hikmah yang bertebaran dalam kitab-kitab Thabaqat, biografi para ulama dlan kitab-kitab berharga lainnya. Seluruh apa yang beliau nasihatkan begitu berharga, memancar di dalamnya ruh yang khusyu' dan bercahaya.<br /><br />Di antara nasihat yang paling berharga dari Sufyan Ats-Tsauri adalah wasiat yang beliau tulis untuk sebagian saudara beliau, yang meminta nasihat dan wejangan dari beliau. Di antaranya tertulis:<br /><br /><i>Janganlah engkau mengambil ilmu agama melainkan kepada orang yang sangat cinta kepada agamanya, karena perumpamaan orang yang tidak mencintai agamanya bagaikan dokter yang sakit dan tidak mampu mengobati penyakit pada dirinya. Bagaimana mungkin ia akan mengobati orang lain dan menasihatinya? </i><br /><i> </i><br /><i>Wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu, tangisilah dirimu dan sayangilah ia, jika kamu tidak menyayangi maka tidak akan disayang. Hendaknya yang menjadi temanmu adalah orang yang mengajakmu berzuhud terhadap dunia dan cinta terhadap akhirat. Perbanyaklah mengingat mati, perbanyaklah memohon ampun atas dosa-dosamu yang telah lalu dan mohonlah keselamatan kepada Allah dalam menjalani sisa-sisa umurmu.</i><br /><br />Imam Ats-Tsaury telah menjelaskan bahwasanya mempelajari Islam pada selain ahli wara' dan taqwa merupakan pengkhianatan terhadap diri sendiri, mampukah seorang dokter yang tak mampu mengobati dirinya sendiri dia akan dapat mengobati orang lain?<br /><br />Betapa tepatnya perumpamaan Imam ini tentang agama sebagaimana darah dan daging, karena agama yang benar adalah ruh manusia dan intinya, maka apabila agama ini lenyap seakan-akan bukan dikatakan sebagai manusia lagi. Sebagaimana jika manusia telah hilang darah dan dagingnya, dapatkah ia disebut sebagai manusia?<br /><br />Sesungguhnya orang-orang yang menyeru kaum muslimin hari ini untuk mengikuti ajaran sekulerisme, mereka telah mendudukkan sampah ke derajat agama, menipu kaum muslimin bahwa mereka mampu hidup tanpa Islam dan mengambil sesuatu yang bertentangan dengan Islam.<br /><br />Akan tetapi nasihat Sufyan Ats-Tsaury sebagai sanggahan terhadap pemikiran atheis yang meremehkan pengaruh Islam dalam kehidupan manusia. Apakah yang dilakukan oleh seoarang muslim bila telah meyakini bahwa agamanya adalah dasar yang menjadikan dia ada dan inti dari hidupnya? (tentulah ia akan berkata):<br /><br /></div><span style="font-size:130%;">قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ<br /><br /></span><br /><div style="text-align: justify;"><i>Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama meyerahkan diri (kepada Allah) (Al-An'am: 162-163)</i><br /><br />Sesungguhnya kemuliaan umat Islam akan terwujud manakala ada orang-orang yang yakin bahwa Islam adalah darah dan dagingnya bahkan manakah yang lebih berharga antara darah dan daging dengan ruh dan jiwa?<br /><br />Sekali-kali umat Islam ini tidak akan kembali berjaya, tegak, berkuasa dengan lurus bagi manusia melainkan jika mereka kembali mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam ini, menguatkan ikatannya terhadap Islam dan meletakkannya pada tempat yang semestinya dalam rangka membina pribadi dan mengatur masyarakat.<br /><br />Sungguh sangat mengherankan orang-orang yang terkena fitnah dan provokasi dari orang yang merendahkan martabat Islam, melecehkan orang-orang yang berpegang teguh dengannya. Mereka tak lebih dari para pembeo orang-orang atheis yang tidak pernah merasakan lezatnya iman dan ketenangan dengan hidayah Islam. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang sesat yang ingin menyebarkan kesesatan tersebut kepada setiap hati.<br /><br /><br />Diambil dari Haakadza..Tahaddatsas Salaf edisi bahasa Indonesia Potret Kehidupan Para Salaf karya Dr. Musthafa Abdul Wahid. Penerbit : At-Tibyan</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-5093241234173885052008-02-05T12:23:00.000+08:002008-02-05T12:30:18.419+08:00Kenapa Harus Menikah?<div align="justify">Berikut beberapa alasan mengapa harus menikah, semoga bisa memotivasi kaum muslimin untuk memeriahkan dunia dengan nikah. </div><div align="justify">1. Melengkapi agamanya </div><div align="justify">“Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">2. Menjaga kehormatan diri </div><div align="justify">“Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya. (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasaiy, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">3. Senda guraunya suami-istri bukanlah perbuatan sia-sia </div><div align="justify">“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 245; Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 309). Hidup berkeluarga merupakan ladang meraih pahala </div><div align="justify"> </div><div align="justify">4. Bersetubuh dengan istri termasuk sedekah </div><div align="justify">Pernah ada beberapa shahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka bisa shalat sebagaimana kami shalat; mereka bisa berpuasa sebagaimana kami berpuasa; bahkan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah memberikan kepada kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Pada tiap-tiap ucapan tasbih terdapat sedekah; (pada tiap-tiap ucapan takbir terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahlil terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahmid terdapat sedekah); memerintahkan perbuatan baik adalah sedekah; mencegah perbuatan munkar adalah sedekah; dan kalian bersetubuh dengan istri pun sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kok bisa salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila nafsu syahwatnya itu dia salurkan pada tempat yang haram, apakah dia akan mendapatkan dosa dengan sebab perbuatannya itu?” (Mereka menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda,) “Demikian pula bila dia salurkan syahwatnya itu pada tempat yang halal, dia pun akan mendapatkan pahala.” (Beliau kemudian menyebutkan beberapa hal lagi yang beliau padankan masing-masingnya dengan sebuah sedekah, lalu beliau bersabda, “Semua itu bisa digantikan cukup dengan shalat dua raka’at Dhuha.”) (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 125). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">5. Adanya saling nasehat-menasehati </div><div align="justify"> </div><div align="justify">6. Bisa mendakwahi orang yang dicintai </div><div align="justify"> </div><div align="justify">7. Pahala memberi contoh yang baik </div><div align="justify">“Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang pertama memberi contoh perilaku jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Orang yang pertama kali melakukan kebaikan atau kejahatan.) Bagaimana menurut Anda bila ada seorang kepala keluarga yang memberi contoh perbuatan yang baik bagi keluarganya dan ditiru oleh istri dan anak-anaknya? Demikian juga sebaliknya bila seorang kepala keluarga memberi contoh yang jelek bagi keluarganya? </div><div align="justify"> </div><div align="justify">8. Seorang suami memberikan nafkah, makan, minum, dan pakaian kepada istrinya dan keluarganya akan terhitung sedekah yang paling utama. </div><div align="justify">Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan untuk membantu teman seperjuangan di jalan Allah.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Seorang suami lebih utama menafkahkan hartanya kepada keluarganya daripada kepada yang lain karena beberapa alasan, diantaranya adalah nafkahnya kepada keluarganya adalah kewajiban dia, dan nafkah itu akan menimbulkan kecintaan kepadanya. Muawiyah bin Haidah RA., pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap salah seorang di antara kami?” Beliau menjawab dengan bersabda, “Berilah makan bila kamu makan dan berilah pakaian bila kamu berpakaian. Janganlah kamu menjelekkan wajahnya, janganlah kamu memukulnya, dan janganlah kamu memisahkannya kecuali di dalam rumah. Bagaimana kamu akan berbuat begitu terhadapnya, sementara sebagian dari kamu telah bergaul dengan mereka, kecuali kalau hal itu telah dihalalkan terhadap mereka.” (Adab Az Zifaf Syaikh Albani hal 249). Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA., dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan dengan maksud kamu mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga) Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi belanja.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya.” (Saba’: 39). Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Setiap pagi ada dua malaikat yang datang kepada seseorang, yang satu berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.” Dan yang lain berdoa: “Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara anak yatim</div><div align="justify"> Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah. </div><div align="justify">1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An Nur: 32) </div><div align="justify">2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160) </div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-14555218676885561322008-02-05T12:21:00.001+08:002008-02-05T12:21:46.464+08:00Kenapa Harus Menikah?Berikut beberapa alasan mengapa harus menikah, semoga bisa memotivasi kaum muslimin untuk memeriahkan dunia dengan nikah. 1. Melengkapi agamanya “Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim). 2. Menjaga kehormatan diri “Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya. (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasaiy, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). 3. Senda guraunya suami-istri bukanlah perbuatan sia-sia “Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 245; Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 309). Hidup berkeluarga merupakan ladang meraih pahala 4. Bersetubuh dengan istri termasuk sedekah Pernah ada beberapa shahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka bisa shalat sebagaimana kami shalat; mereka bisa berpuasa sebagaimana kami berpuasa; bahkan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah memberikan kepada kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Pada tiap-tiap ucapan tasbih terdapat sedekah; (pada tiap-tiap ucapan takbir terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahlil terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahmid terdapat sedekah); memerintahkan perbuatan baik adalah sedekah; mencegah perbuatan munkar adalah sedekah; dan kalian bersetubuh dengan istri pun sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kok bisa salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila nafsu syahwatnya itu dia salurkan pada tempat yang haram, apakah dia akan mendapatkan dosa dengan sebab perbuatannya itu?” (Mereka menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda,) “Demikian pula bila dia salurkan syahwatnya itu pada tempat yang halal, dia pun akan mendapatkan pahala.” (Beliau kemudian menyebutkan beberapa hal lagi yang beliau padankan masing-masingnya dengan sebuah sedekah, lalu beliau bersabda, “Semua itu bisa digantikan cukup dengan shalat dua raka’at Dhuha.”) (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 125). 5. Adanya saling nasehat-menasehati 6. Bisa mendakwahi orang yang dicintai 7. Pahala memberi contoh yang baik “Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang pertama memberi contoh perilaku jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Orang yang pertama kali melakukan kebaikan atau kejahatan.) Bagaimana menurut Anda bila ada seorang kepala keluarga yang memberi contoh perbuatan yang baik bagi keluarganya dan ditiru oleh istri dan anak-anaknya? Demikian juga sebaliknya bila seorang kepala keluarga memberi contoh yang jelek bagi keluarganya? 8. Seorang suami memberikan nafkah, makan, minum, dan pakaian kepada istrinya dan keluarganya akan terhitung sedekah yang paling utama. Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan untuk membantu teman seperjuangan di jalan Allah.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Seorang suami lebih utama menafkahkan hartanya kepada keluarganya daripada kepada yang lain karena beberapa alasan, diantaranya adalah nafkahnya kepada keluarganya adalah kewajiban dia, dan nafkah itu akan menimbulkan kecintaan kepadanya. Muawiyah bin Haidah RA., pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap salah seorang di antara kami?” Beliau menjawab dengan bersabda, “Berilah makan bila kamu makan dan berilah pakaian bila kamu berpakaian. Janganlah kamu menjelekkan wajahnya, janganlah kamu memukulnya, dan janganlah kamu memisahkannya kecuali di dalam rumah. Bagaimana kamu akan berbuat begitu terhadapnya, sementara sebagian dari kamu telah bergaul dengan mereka, kecuali kalau hal itu telah dihalalkan terhadap mereka.” (Adab Az Zifaf Syaikh Albani hal 249). Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA., dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan dengan maksud kamu mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga) Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi belanja.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya.” (Saba’: 39). Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Setiap pagi ada dua malaikat yang datang kepada seseorang, yang satu berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.” Dan yang lain berdoa: “Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). 9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara anak yatim Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah. 1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An Nur: 32) 2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-14903234945831339652008-02-05T12:14:00.000+08:002008-02-05T12:15:12.247+08:00Kenapa Harus Menikah?<div align="justify">Berikut beberapa alasan mengapa harus menikah, semoga bisa memotivasi kaum muslimin untuk memeriahkan dunia dengan nikah. 1. Melengkapi agamanya “Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim). 2. Menjaga kehormatan diri “Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya. (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasaiy, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). 3. Senda guraunya suami-istri bukanlah perbuatan sia-sia “Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 245; Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 309). Hidup berkeluarga merupakan ladang meraih pahala 4. Bersetubuh dengan istri termasuk sedekah Pernah ada beberapa shahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka bisa shalat sebagaimana kami shalat; mereka bisa berpuasa sebagaimana kami berpuasa; bahkan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah memberikan kepada kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Pada tiap-tiap ucapan tasbih terdapat sedekah; (pada tiap-tiap ucapan takbir terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahlil terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahmid terdapat sedekah); memerintahkan perbuatan baik adalah sedekah; mencegah perbuatan munkar adalah sedekah; dan kalian bersetubuh dengan istri pun sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kok bisa salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila nafsu syahwatnya itu dia salurkan pada tempat yang haram, apakah dia akan mendapatkan dosa dengan sebab perbuatannya itu?” (Mereka menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda,) “Demikian pula bila dia salurkan syahwatnya itu pada tempat yang halal, dia pun akan mendapatkan pahala.” (Beliau kemudian menyebutkan beberapa hal lagi yang beliau padankan masing-masingnya dengan sebuah sedekah, lalu beliau bersabda, “Semua itu bisa digantikan cukup dengan shalat dua raka’at Dhuha.”) (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 125). 5. Adanya saling nasehat-menasehati 6. Bisa mendakwahi orang yang dicintai 7. Pahala memberi contoh yang baik “Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang pertama memberi contoh perilaku jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Orang yang pertama kali melakukan kebaikan atau kejahatan.) Bagaimana menurut Anda bila ada seorang kepala keluarga yang memberi contoh perbuatan yang baik bagi keluarganya dan ditiru oleh istri dan anak-anaknya? Demikian juga sebaliknya bila seorang kepala keluarga memberi contoh yang jelek bagi keluarganya? 8. Seorang suami memberikan nafkah, makan, minum, dan pakaian kepada istrinya dan keluarganya akan terhitung sedekah yang paling utama. Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan untuk membantu teman seperjuangan di jalan Allah.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Seorang suami lebih utama menafkahkan hartanya kepada keluarganya daripada kepada yang lain karena beberapa alasan, diantaranya adalah nafkahnya kepada keluarganya adalah kewajiban dia, dan nafkah itu akan menimbulkan kecintaan kepadanya. Muawiyah bin Haidah RA., pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap salah seorang di antara kami?” Beliau menjawab dengan bersabda, “Berilah makan bila kamu makan dan berilah pakaian bila kamu berpakaian. Janganlah kamu menjelekkan wajahnya, janganlah kamu memukulnya, dan janganlah kamu memisahkannya kecuali di dalam rumah. Bagaimana kamu akan berbuat begitu terhadapnya, sementara sebagian dari kamu telah bergaul dengan mereka, kecuali kalau hal itu telah dihalalkan terhadap mereka.” (Adab Az Zifaf Syaikh Albani hal 249). Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA., dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan dengan maksud kamu mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga) Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi belanja.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya.” (Saba’: 39). Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Setiap pagi ada dua malaikat yang datang kepada seseorang, yang satu berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.” Dan yang lain berdoa: “Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). 9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara anak yatim Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah. 1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An Nur: 32) 2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160) </div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-59931106609755061952008-02-05T11:51:00.000+08:002008-02-05T12:09:44.744+08:00Kedaifan hadits “Menarik makmum ke belakang jika shaf depan penuh“<div align="justify">Sebagian muslimin menarik makmum di shaf depannya dan menempatkan di sebelahnya jika shaf depan sudah penuh, kebiasaan ini dilandaskan kepada hadits daif yang seharusnya ditinggalkan karena landasan syar'inya tidak sah. Berikut hasil penelitian hadits tersebut oleh Syaikh Al-Bani dalam bukunya Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah</div><div align="justify"><br />“Apabila salah seorang dari kalian sampai pada shaf yang telah penuh, maka hendaklah menarik seorang dari barisan itu dan menempatkannya di sebelahnya“ </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Hadits ini dha'if. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu'jam al Ausath (I/33) dengan sanad dari Hafsh bin Umar Ar Rabbali, dari Bisyr bin Ibrahim, dari al-Hajjaj bin Hasan, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu. Ath-Thabrani berkata, Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini, dan secara tunggal dikisahkan oleh Bisyr. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Yang saya ketahui, Ibnu Adi mengatakan bahwa Bisyr adalah termasuk dalam deretan perawi pemalsu hadits. Ibnu Hibban pun menyatakan hal serupa, bahkan lebih tegas, Bisyr bin Ibrahim terbukti telah memalsukan riwayat/hadits. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah, Hadist No.921 </div><div align="justify"> </div><div align="justify">“Tidakkah kamu masuk dalam barisan (shaf), atau kamu menarik seseorang untuk shalat berdampingan denganmu, atau bila tidak, hendaknya kamu ulangi shalatmu” </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Hadits ini sangat dha'if. Telah dikeluarkan oleh Ibnul A'rabi dalam al-Mu'jam, Abu Asy-Syaikh serta Abu Naim dalam Akhbar Asbahan, dengan sanad dari Yahya bin Abdawaihi, dari Qais bin Ar-Rabi’, dari As-Suddi, dari Zaid bin Wahb, dari Wabishah bin Ma'bad bahwasanya ada seorang yang melakukan shalat di belakang shaf secara sendiri, maka Rasul pun menegur.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Menurut saya, sanadnya sangat ngambang, sebab Qais lemah sekali bahkan Ibnu Abdawaihi lebih dha'if lagi, seperti yang telah saya jelaskan pada halaman terdahulu, karenanya tidak perlu untuk diulang kembali. </div><div align="justify">Satu hal yang perlu disinggung, bahwa setelah kita ketahui kedha'ifan riwayat ini maka tidaklah dibenarkan kita menarik seorang dari shaf yang di depan untuk mendampingi kita dalam shalat. Sebab bila hal ini dilakukan berarti sama saja membuat aturan sendiri, atau dalam istilah syar'i berarti mentasyri'kan suatu amalan tanpa berdasarkan nash yang sahih. Hal seperti ini di kalangan ulama tidak dibenarkan. Maka wajib bagi orang yang akan shalat itu untuk bergabung dalam shaf yang ada bila memungkinkan, atau bila tidak memungkinkan hendaklah membuat shaf meskipun sendirian, dan dalam hal ini shalatnya dibenarkan atau sah secara syar'i. Wallahu a'lam. </div><div align="justify">Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah, Hadist No.922</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-13809415839045513952008-01-29T12:13:00.000+08:002008-01-29T12:14:56.453+08:00Tata Cara Thoharah dan Shalat Orang Sakit<div style="text-align: justify;">Sesungguhnya segala puji dan syukur hanya milik Allah, kita memujinya, meminta tolong, serta minta ampun kepada-Nya. Kita berlindung dengan Allah dari kejahatan hawa nafsu, dan dari kejelekkan perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tiada yang bisa menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan Allah, tiada yang bisa memberinya petunjuk.<br />Dan saya bersaksi tidak ada sembahan yang berhak diibadati kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.<br /><br />Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan rasul-Nya. Semoga Allah menganugrahkan salawat atasnya, keluarganya dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan bersalam dengan salam yang banyak.<br /><br />Selanjutnya, ini adalah tulisan yang ringkas tentang hal-hal yang wajib dilakukan oleh orang yang sedang sakit dalam melaksanakan thoharah (bersuci) dan shalat. Orang sakit mempunyai hukum-hukum tersendiri, dikarenakan kondisinya itu termasuk kondisi yang diperhatikan oleh syariah Islamiyah.<br /><br />Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya Muhammad dengan agama yang lurus dan penuh teloransi, yang didirikan di atas tata yang mudah dan gampang. Allah berfirman. Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. ( Q.S. : 22;78 ).<br /><br />Dan berfirman : Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S: 2;185).<br /><br />Dan berfirman : Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah. (Q.S : 64;16).<br />Rasulullah r bersabda : Sesungguhnya agama itu mudah dan bersabda : Jika saya memerintahmu dengan satu urusan maka kerjakanlah apa yang kamu sanggupi.<br /><br />Berdasarkan kepada kaidah yang mendasar ini Allah telah meringankan pelaksanaan ibadah orang?orang yang mempunyai uzur (berhalangan) sesuai dengan kadar uzurnya, agar memungkinkan mereka untuk malakukan ibadah kepada Allah tanpa ada kesulitan dan keberatan. Walhamdulillahi Rabbil alamin.<br /><br />Cara bersuci<br /><br />1) Orang sakit wajib bersuci dengan memakai air, dalam berwudhuk dari hadats kecil dan mandi dari hadats besar.<br /><br />2) Jika tidak mampu bersuci dengan air, disebabkan kerena ketidaksanggupannya, atau takut penyakitnya bertambah, atau kesembuhannya semakin lama, maka bertayamum.<br /><br />3) Cara bertayamum; dengan memukulkan kedua telapak tangan ke atas permukaan tanah yang suci (bersih) satu kali, lalu mengapuskannya ke wajah, kemudian ke kedua tangan sampai ke pergelangan, dengan mengusapkan satu dengan yang lain. Jika tidak sanggub untuk bertayamum sendiri, maka orang lain mentayamumkannya, caranya ; orang mentayamumkannya itu memukulkan kedua telapak tangannya ke atas permukaan tanah yang suci dan mengapuskannya ke wajah si sakit, dan ke kedua tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang dilakukan, kalau seandainya dia tidak mampu untuk berwuduk sendiri, maka orang lain mewudukkannya.<br /><br />4) Tayamum boleh dengan mengusapkan telapak tangan ke dinding atau dengan sesuatu yang ada debu, jika dinding itu dicat dengan cat minyak, artinya bukan sejenis dinding dari tanah, maka tidak boleh bertayamum kecuali ada debunya.<br /><br />5) Jika tidak ada dinding atau apapun yang ada debunya, maka tidak mengapa diletakkan tanah (pasir) di atas kain atau bejana kemudian bertayamum.<br /><br />6) Jika dia telah bertayamum untuk melakukan suatu sholat, kemudian kesuciannya masih ada sampai masuk waktu sholat yang lain, maka dia melakukan sholat dengan tayamum yang pertama, dan tidak perlu mengulang tayamumnya. Dikarenakan dia masih suci dan tidak ada faktor yang membatalkannya.<br /><br />7) Orang sakit wajib mensucikan badannya dari najis. Jika tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang.<br /><br />8) Orang sakit harus membersihkan pakaiannya dari najis, atau membuka dan mengantinya dengan pakaian yang bersih suci. Jika tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang.<br /><br />9) Orang sakit harus sholat di atas sesuatu yang suci. Jika kasurnya ada najis maka harus dicuci, atau ditukar dengan yang suci atau dialas dengan sesuatu yang suci. Apabila tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang.<br /><br /><b>Cara sholat</b><br /><br />1) Orang sakit wajib melakukan sholat fardu dengan keadaan berdiri, miskipun agak membungkuk atau bersandar ke dinding, tonggak atau tongkat.<br /><br />2) Jika tidak mampu melakukannya dengan keadaan berdiri, maka solatlah dengan posisi duduk. Yang lebih afdhol dia sholat dengan posisi bersila pada waktu seharusnya berdiri dan ruku, dan bersimpuh pada waktu yang seharusnya sujud.<br /><br />3) Jika tidak mampu duduk, maka sholatlah sambil berbaring menghadap kiblat dengan miring di sisi kanan lebih afdhol daripada sisi kiri. Jika tidak mampu untuk menghadap kiblat maka sholatlah sesuai dengan arah posisinya dan tidak perlu diulang.<br /><br />4) Kala tidak mampu berbaring miring maka sholatlah menelentang, kedua kakinya diarahkan ke arah kiblat dan lebih afdhol kepalanya diangkat sedikit untuk mengarahkan ke kiblat. Jika kakinya tidak bisa diarahkan ke kiblat maka sholatlah sesuai dengan posisinya dan tidak perlu diulang.<br /><br />5) Orang sakit dalam melaksanakan sholat harus ruku dan sujud, jika tidak mampu maka mengisyaratkannya dengan kepala (menundukkan). Maka dia menjadikan isyarat sujud lebih rendah daripada ruku. Jika dia sanggub untuk melaksanakan ruku saja tanpa sujud maka dia ruku di waktu ruku adapun sujud diisyaratkan dengan menundukkan kepala. Jika dia sanggub untuk melaksanakan sujud saja tanpa ruku maka dia sujud di waktu sujud adapun ruku diisyaratkan dengan menundukkan kepala.<br /><br />6) Jika tidak mampu untuk mengisyaratkan dengan kepala pada waktu ruku dan sujud, maka mengisyaratkannya dengan mata. Caranya; dengan memejamkan sekejab kalau melakukan ruku dan kalau sujud mata dipejamkan relatif lama. Adapun mengisyaratkan dengan jari seperti yang dilakukan sebagian orang sakit, tidak sah. Dan saya tidak mengetahui dalil dari Kitab dan Sunnah serta perkataan ahli ilmu (ulama) tentang perbuatan itu.<br /><br />7) Jika tidak mampu mengisyaratkan dengan kepala dan mata, maka sholatlah dengan hatinya. Maka dia meniatkan ruku sujud, berdiri, duduk, dengan hatinya. Dan setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan.<br /><br />8) Orang sakit harus melakukan setiap sholat tepat pada waktunya, sesuai dengan kemampuannya yang telah dirinci di atas tadi. Dan tidak boleh mengakhirkannya sampai keluar waktu.<br /><br />9) Jika melaksanakan setiap sholat tepat pada waktunya memberatkannya, maka boleh menjamak antara Zohor dan Ashar, Maghrib dan Isya dengan jamak takdim atau jamak takhir, sesuai dengan kondisi yang mudah bagi dirinya. Kalau ingin mendahulukan sholat Ashor dengan Zohor atau mengakhirkan sholat Zohor dengan Ashor boleh. Begitu juga sholat Maghrib dan Isya.<br /><br />Apapun sholat Subuh tidak boleh dijamakkan dengan sholat sebelum dan sesudahnya. Dikarenakan waktunya terpisah dengan waktu sebelum dan sesudahnya. Allah berfirman : Artinya : Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)1. (Q.S: 17;78).<br /><br />Yang menulis tulisan ini adalah orang yang fakir kepada Allah taala : <br />Muhammad Bin Sholeh Al Utsaimin pada tanggal : 14/1/1400H.<br /> <br />Kontributor: Muhammad Elvi bin Syam<br /><br /><div style="text-align: right;">Sumber : perpustakaan-islam.com<br /></div></div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-71204811179697290962008-01-29T12:10:00.000+08:002008-01-29T12:12:23.495+08:00Mengaminkan khatib dalam shalat Jumat<div style="text-align: justify;">Pertanyaan: <br />Assalamu 'alaikum.....<br />1.Bagaimanakah sikap makmum ketika khatib membaca do'a ketika khutbah jum;at, apakah makmum mengaminkannya atau diam? <br /><br />2.Makmum baru datang ketika azan jum'at berkumandang, apakah makmum harus menunggu muazin selesai azan baru dia sholat sunnah? atau langsung sholat sunnah tanpa menunggu muazin selesai azan?<br /><br />wassalamu 'alaikum, <br /><br /><br />Jawaban: <br />Wa'alaikum salam warahmatullah wa barakatuh <br />Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah wa ba'du : <br /><br />Jawaban pertanyaan pertama, saya akan mencantumkan fatwa dari Lajnah Daimah (Majlis Ulama Saudi), dalam fatwa no : 6398 berbunyi :<br /><br />Pertanyaan : Apakah hukum do'a si khathib di akhir khutbahnya apa hari jum'at dan apakah hukum orang yang mengaminkan doa khatib dengan melafazkan kata amiin.?<br /><br />Jawab : Doa si khatib jum'at di khutbah jum'at adalah disyariatkan, dan sungguh telah tetap dari rasulullah bahwa beliau berdoa di khutbahnya bagi kaum mukminin dan mukminat. Adapun melafazkan amin bersama doa khatib maka tidak mengapa berdasarkan keumuman dalil.<br /><br />Wabillahi at-taufik, semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan Ahli baitnya serta sahabat-sahabat beliau.<br /><br />Lembaga Tetap Kajian Ilmiyah Dan Fatwa <br />Ketua : Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baz <br />Wakil ketua : Abdur Razaq 'Afifi. <br />Anggota : Abdullah bin Qu'ud <br /><br /><br />Jawaban kedua : Yang harus dilakukan adalah langsung shalat tanpa harus menunggu muadzin selesai dari adzan, karena menunggu muadzin sampai sesesai adzan guna mengikuti perkataan muadzin hukumnya sunat, adapun mendengar khotbah hukumnya wajib, maka janganlah kita meninggalkan wajib karena melakukan sunat. Wallahu'alam.<br /><br /><br />Dijawab oleh Ust. Muhammad Elvi Syam, Lc (Penerjemah dan Da'i di Hail-Saudi Arabia)</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-88059325893952465992008-01-29T12:05:00.000+08:002008-01-29T12:07:31.707+08:00Hukum Sholat Jamaah (Bagi laki-laki)<div style="text-align: justify;">Banyak dari kita yang meremehkan shalat berjamaah. Oleh karenanya, melalui tulisan ini akan coba kami jelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena sebe-narnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting.<br /><br />Allah SWT banyak menyebut kata sha-lat dalam Al Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting perkara ini. Allah SWT berfirman :<br />Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.(Al Baqarah : 43)<br />Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah. <br /><br />Dan dalam surat An- Nisa’ Allah berfirman yang artinya :<br />Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemu-dian apabila mereka (yang shalat besertamu) su-jud (telah menyempurnakan serekat), maka hen-daklah mereka dari belakangmu (untuk meng-hadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah me-reka denganmu , dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata… (An Nisa’ 102)<br /><br />Pada ayat diatas Allah mewajibkan sha-lat berjamaah bagi kaum muslimin dalam kea-daan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai?!. Telah disebutkan diatas bahwa ..dan hendaklah datang segolongan kedua yang be-lum shalat, lalu bershalatlah bersamamu…. Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah adalah far-dhu ‘ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena penunaian kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama adalah karena takut.<br /><br />Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: <br />Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. Ma-ka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: Apakah kamu mendengar adzan ? Ya, jawabnya. Nabi berkata :Kalau begitu penuhilah (hadirilah)!<br /><br />Didalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam tidak memberikan keringanan kepada Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu untuk shalat dirumahnya (tidak berjamaah) kendati ada alasan, diantaranya:<br /><br />- Keadaan beliau buta. <br />- Tidak adanya penuntun ke Masjid. <br />- Jauh rumahnya dari Masjid.<br />- Adanya pohon-pohon kurma dan lain-lain yang ada diantara rumah beliau dan Masjid. <br />- Adanya binatang buas di Madinah. <br />- Tua umurnya dan telah lemah tulang-tulang-nya. <br /><br />Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meri-wayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah bersabda:<br />Aku berniat meme-rintahkan kaum muslimin untuk mendirikan sha-lat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berang-kat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka. (Al Bukhari-Muslim)<br /><br />Hadits diatas telah menjelaskan bahwa tekad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam untuk membakar rumah-rumah disebabkan mereka tidak keluar untuk shalat berjamaah di masjid. Dan masih banyak lagi hadits yang menerangkan peringatan keras Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak hadir ke masjid untuk berjamaah bukan semata-mata karena mereka meninggalkan shalat, bahkan mereka shalat di rumah-rumah mereka.<br /><br />Ibnu Hajar berkata: Hadits ini telah menerangkan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, karena kalau shalat berjamaah itu hanya sunnah saja, Rasulullah tidak akan berbuat keras terhadap orang-orang yang meninggalkannya, dan kalau fardhu kifayah pastilah telah cukup dengan pekerjaan beliau dan yang bersama beliau.<br /><br />Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Engkau telah melihat kami, tidak seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan (dengan dipapah) antara dua orang untuk mendatangi shalat (shalat berjamaah di masjid). Beliau menegaskan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid (shalat yang dikerjakan di masjid). (Shahih Muslim)<br /><br />Ibnu Mas’ud juga mengatakan : Barang siapa mau bertemu dengan Allah SWT di hari akhir nanti dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukan-Nya. Allah SWT telah menetapkan jalan-jalan hidayah kepada para Nabi dan shalat ter-masuk salah satu jalan hidayah. Jika kalian sha-lat dirumah maka kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan kalian akan sesat. Setiap Lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju masjid, maka Allah SWT menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat dikalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat (berjamaah), kecuali orang munafik yang sudah nyata nifaknya. Pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan shaf.<br /><br />Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhum berkata : Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya.<br /><br />Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata : Tidak ada tetangga masjid kecuali shalat di masjid. Ketika ditanyakan kepada beliau : Siapa tetangga masjid ? Beliau menjawab : Siapa saja yang mendengar panggilan adzan. Kemudian kata beliau : Barangsiapa mendengar panggilan adzan dan dia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali dia mempunyai udzur.<br /><br />Meningggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran, dan keluar dari islam. Ini berdasar pada sabda Nabi : Batas antara seseorang dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim). Janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya, maka ia kafir.<br /><br />Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Allah, dan mengerjakan secara berjamaah di rumah-rumah Allah. Setiap muslim wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksanya.<br /><br />Tidak bisa dipungkiri shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang tampak adalah :<br /><br />- Akan timbul diantara sesama muslim akan sa-ling mengenal dan saling membantu dalam kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat de-ngan kebenaran dan kesabaran.<br /><br />- Saling memberi dorongan kepada orang lain yang meninggalkannya, dan memberi penga-jaran kepada yang tidak tahu. <br /><br />- Menumbuhkan rasa tidak-suka/membenci kemunafikan. <br /><br />- Memperlihatkan syiar-syiar Allah ditengah-tengah hamba-Nya. <br /><br />- Sarana dakwah lewat kata-kata dan perbuatan. <br /><br />Hadits mengenai wajibnya shalat berja-maah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat banyak Oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan, dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya dan agar mereka takut terhadap larangan Allah dan rasul-Nya dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, dianta-ranya malas mengerjakan shalat<br /><br /> <br />Kontributor : Rony Setyo Hariyono</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-71610502644127378942008-01-29T11:58:00.001+08:002008-01-29T12:00:33.874+08:00Sudah benarkah Syahadat Laa ilaaha illallah kita?<div style="text-align: justify;">Syahadat Laa ilaaha illallah merupakan pondasi dasar dienul Islam. Ia merupakan rukun pertama dari rukun Islam yang lima. Kalimat Laa ilaaha illallah merupakan kalimat yang menjadi pemisah antara mukmin dan kafir. Ia menjadi tujuan diciptakannya makhluk. Ia juga merupakan sebab di utusnya para rasul. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri diperintah untuk memerangi manusia sehingga manusia mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, sebagaimana hadits yang terdapat dalam Bukhari dan Muslim, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu (yang artinya):<br />“Aku diperintah memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah berarti selamat dariku harta dan jiwanya kecuali hak keduanya. Dan adapun perhitungannya (diserahkan) kepada Allah Azza wa Jalla.”<br /><br />Karena kalimat Laa ilaaha illallah ini pula ditegakkan timbangan keadilan dan catatan amal. Merupakan materi utama yang akan ditanyakan dan dihisab, merupakan asas agama, merupakan hak Allah atas hamba-Nya untuk masuk Islam dan kunci keselamatan, penentu surga dan neraka.<br /><br />Kita terkadang melihat sebagian kaum muslimin –kalau tidak boleh dikatakan banyak- setelah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, telah merasa bahwa dirinya sudah selamat dari api neraka. Asalkan sudah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah sudah pasti masuk surga, sudah jaminan bebas dari api neraka. Mereka tidak lagi melihat haram dan haram. Tidak memperhatikan lagi apakah melakukan ke-syirik-kan atau tidak. Apakah telah melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat-nya atau tidak.<br /><br />Mereka, selain menyembah Allah juga menyembah kepada yang lain. Datang dan minta ke kuburan, menyembah kuburan, minta berkah kepada batu atau pohon, menggunakan jimat dan mantra-mantra, berdoa kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, bersumpah kepada selain Allah, datang, percaya, dan minta kepada dukun, melakukan sihir, dan melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat mengurangi kesempurnaan bahkan membatalkan syahadatnya.<br /><br />Ketika diberitahu dan diingatkan, terkadang di antara mereka berdalih dengan hadits: dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal (yang artinya):<br />“ Tak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tiada illah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya kecuali Allah mengharamkan baginya neraka.” (Riwayat Muslim)<br /><br />Sudahkah mereka memahami, apa makna kalimat Laa ilaaha illallah? Apa syarat dan rukun-nya, apa pula konsekuensinya dan pembatal-pembatalnya?<br /><br />Ketika mereka (para penyembah berhala) diberitahu, dijelaskan kebenaran, kebanyakan dari mereka berpaling, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Mereka tetap saja menyembah berhala dan tidak mau mendengarkan firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, serta menolak petunjuk orang-orang yang memberi nasihat, dan barangkali juga mereka justru menentang dan menyakiti orang yang mengingkari kebatilan dan dosa-dosa mereka. Allahu Musta’an.<br /><br />Mereka lupa (atau berpura-pura lupa?) atau bodoh (atau berpura-pura bodoh?)? Atau memang karena tidak tahu? Belum sampai penjelasan kepada mereka? entahlah. Allahu A’lam; bahwa di dalam kalimat Laa ilaaha illallah terdapat syarat dan rukun yang harus kita penuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus kita laksanakan, ada juga pembatal-pembatal yang harus kita tingggalkan dan jauhi. Jadi tidak semata-mata hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah semuanya menjadi beres.<br /><br />Kalau kita tidak waspada dan hati-hati, kita dapat berbuat seperti mereka, melakukan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan Laa ilaaha illallah kita. Naudzu billahi min dzalik. Kita berlindung dari hal yang demikian.<br /><br />Karenanya mari kita bersama-sama mengoreksi syahadat Laa ilaaha illallah yang telah kita ucapkan. Apakah sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maknanya, konsekuensinya, apakah telah meninggalkan pembatal-pembatalnya atau belum. Apabila sudah, alhamdulillah, itu yang kita harapkan. Namun apabila sebaliknya, marilah kita perbaiki, mumpung masih ada kesempatan. Selagi ajal belum sampai tenggorokan.<br /><br />Makna Laa ilaaha illallah <br /><br />Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin dalam bukunya yang diterjemahkan menjadi “Murnikan Syahadat Anda” (hal.35) membawakan analisa Syaikh Sulaiman bin Abdullah dalam buku tafsir ‘Aziz Al-Hamid syarah Kitab Tauhid halaman 53; beliau, Syaikh Sulaiman bin Abdullah menyebutkan makna Laa ilaaha illallah adalah Laa ma’ buda bihaqqin illa ilaahun wahid (tidak ada yang disembah yang sebenarnya kecuali ilah yang satu), yaitu Allah yang tunggal yang tiada memiliki sekutu baginya.<br /><br />“Dan tiadalah Kami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’:25)<br />“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:36)<br /><br />Makna ilah yang sebenarnya adalah al-ma’bud (sesuatu yang disembah). Karenanya ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajak orang musyrik Quraisy untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah, mereka menjawab:<br />“Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad:5)<br />Demikian penjelasan Syaikh Jibrin pada buku tersebut hal.35-37. <br /><br /><br />Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan di dalam bukunya, yang diterjemahkan dengan judul “Kitab Tauhid I” pada hal 52-53 menjelaskan beberapa penafsiran batil menganai Laa ilaaha illallah ini yang banyak beredar di masyrakat. (Saya nukil dengan sedikit perubahan) Adapun yang menafsirkan “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, “Tidak ada Tuhan selain Allah”; ini adalah tafsiran yang batil. Hal ini menyelisihi kenyataan, karena pada kenyataannya ada yang disembah kecuali Allah. Kemudian, tafsiran tersebut dapat berarti juga bahwa setiap yang disembah baik yang haq maupun batil adalah Allah.<br />Sedangkan penafsiran “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizqi kecuali Allah”, ini hanyalah sebagian dari arti kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mencakup tauhid rububiyah saja, sedangkan tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, dan asma dan sifat Allah.<br />Demikian pula penafsiran “Tidak ada hakim (penentu hukum) kecuali Allah”, ini juga cuma sebagian dari kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dikehendaki, karenanya maknanya belum cukup.<br /><br />Syarat Laa ilaaha illallah <br /><br />Bersaksi Laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat, tanpa syarat-syarat ini tidak bermanfaat bagi yang mengucapkan. Syarat-syarat tersebut adalah:<br /><br />1. Al-Ilmu artinya mengetahui makna kalimat ini. Karenanya orang yang mengucapkan tanpa memahami makna dan konsekuensinya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara dengan bahasa tertentu tapi ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.<br /><br />Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya): <br />“Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah.” (Muhammad:19) <br />“Melainkan orang yang menyaksikan kebenaran sedang mereka mengerti.” (Az-Zukhruf:86) <br /><br />Hadits dari Utsman bin Affan Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): <br />“Barangsiapa mati dan dia mengetahui bahwasanya Laa ilaaha illallah ,maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim) <br /><br />2. Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat ini tanpa ragu dan bimbang sedikitpun. <br /><br />Dalilnya firman Allah (yang artinya): <br />“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman keapda Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)<br /><br />Hadits dari Abu Hurairah (yang artinya): <br />“Tidaklah bertemu Allah seorang hamba yang membawa kedua kalimat syahadat dan dia betul-betul tidak ragu-ragu kecuali dia masuk surga.” (HR. Muslim)<br /><br />3. Al-Ikhlas artinya ikhlas tanpa disertai kesyirikan sedikitpun. Inilah konsekuensi pokok Laa ilaaha illallah. <br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): <br />”Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan semata mengharap agar mendapat ridha Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari-Muslim)<br /><br />4. Ash-Shidqu artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak sekali yang mengucapkan kalimat ini akan tetapi tidak diyakini isinya dalam hati.<br /><br />Firman Allah (yang artinya): <br />“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allahdan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mreka berdusta.” (Al-Baqarah:8-10)<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: <br />“Tiadalah seseorang bersaksi secara jujur dari hatinya bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali orang tersebut diharamkan dari neraka.” (Bukhari-Muslim)<br /><br />5. Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya serta merasa gembira dengan hal itu, hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang munafik.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): <br />“Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165)<br /><br />Dalam hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):<br />“Tiga perkara, jika dimiliki oelh seseorang, ia akan mendapat manisnya iman, yaiut: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, mencintai seseorang karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran seperti ia membenci jika dicampakkan ke dalam api neraka.”<br /><br />6. Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlas dan mencari ridha Allah, ini termasuk konsekuensinya.<br /><br />Firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya): <br />“Dan siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat baik, maka dia telah berpegang kepada urwatul wutsqa.” (Lukman:22) <br /><br />7. Al-Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak, hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): <br />“Sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallah mereka takabur.” (Ash-Shofat:35) <br /><br />Syarat-syarat di atas diambil oleh para ulama dari nash Al-Qur’an dan sunnah yang membahas secara khusus tentang kalimat agung ini, menjelaskan hak dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya. Yang intinya, kalimat Laa ilaaha illallah bukan sekedar diucapkan dengan lisan.<br /><br />Rukun Laa ilaaha illallah <br /><br />Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun, yaitu: <br /><br />1. An-Nafyu (peniadaan) artinya membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.<br /><br />2. Al-Itsbat (penetapan) artinya menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.<br /><br />Dalil dari kedua rukun Laa ilaaha illallah ini adalah firman Allah (yang artinya): <br />“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…” (Al Baqarah:256)<br /><br />‘Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut’ adalah makna dari rukun pertama Laa ilaaha, sedangkan ‘Beriman kepada Allah’ adalah makna rukun kedua illallah.<br /><br />Konsekuensi Laa ilaaha illallah <br /><br />Mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallah adalah dengan cara menyembah Allah dengan ikhlas dan mengingkari segala jenis peribadatan kepada selain Allah (syirik). Inilah tujuan utama kalimat ini. Termasuk konsekuensi kalimat ini adalah menerima (dengan ketundukan yang penuh) syariat Allah dalam masalah ibadah, muamalah, halal, haram dan menolak segala macam bentuk syariat dari selain-Nya.<br /><br />Allah berfirman (yang artinya): <br />“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura:21)<br /><br />Pembatal-Pembatal Laa ilaaha illallah <br /><br />Di dalam buku: “Penjelasan Tentang Pembatal Keislaman” disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah atau pembatal keislaman adalah hal-hal yang dapat merusakkan keislaman seseorang. Manakala hal itu menimpa diri seseorang, maka hal itu dapat merusakkan keislamannya dan mengguggurkan amalan-amalannya, dan dia menjadi termasuk orang-orang yang kekal di dalam api neraka.<br /><br />Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib mempelajari pembatal-pembatal ini. Jika tiadak, maka bisa jadi seorang muslim terperosok ke dalamnya sedangkan ia tidak merasa, seperti yang terlihat pada kebanyakan orang yang mengaku dirinya sebagai orang islam. La Haula wa la Quwwata Illah Billah!<br /><br />Di dalam buku tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah ini jumlahnya banyak, tapi yang pokok ada sepuluh. Pembatal-pembatal yang lain kembalinya kepada yang sepuluh ini. Saya ringkskan permasalahan ini dari buku tersebut untuk Anda wahai Saudaraku. Pahamilah! Pembatal-pembatal tersebut adalah:<br /><br />1.Syirik dalam beribadah kepada Allah <br />Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih kurban untuk selain Allah, seperti untuk jin atau kuburan, jembatan, rumah, atau lainnya.<br /><br />Allah berfirman (yang artinya): <br />“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’:48)<br /><br />Ada ulama yang membagi syirik menjadi tiga, yaitu: syirik akbar, syirik ashghar, dan syirik khafi. Namun ada juga yang cuma membagi menjadi dua, yaitu: syirik akbar dan syirik ashgar.<br /><br />Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam dan menjadikannya pelakunya kekal di dalam neraka, jika ia mati dalam keadaan membawa dosa syirik besar tersebut dan belum bertaubat.<br />Diantara yang termasuk syirik besar adalah penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, takut kepada orang yang mati, jin, syaithan bahwa mereka bisa membahayakan dan membuat sakit, meminta kepada orang mati.<br /><br />Syirik besar dibagi menjadi empat, yaitu syirik doa(disamping berdoa kepada Allah juga berdoa kepada selainnya), syirik niat, keinginan dan tujuan (menunjukkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah), syirik ketaatan (mentaaati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah), syirik kecintaan (menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan).<br /><br />Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari Islam, tetapi mengurangi tauhid dan merupakan perantara kepada syirik besar.<br />Syirik kecil dibagi dua, yaitu syirik zhahir (nyata) dan syirik khafi (tersembunyi). <br />Syirik zhahir ini terdiri dari perkataan dan perbuatan. Contoh dari perkataan adalah ucapan “Kalau bukan karena Allah dan karena si fulan”, adapun contoh yang berupa perbuatan misalnya memakai kalung atau benang sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya atau namimah. Apabila ia berkeyakinan bahwa hal itu sebagai perantara maka ia jatuh pada syirik kecil, namun apabila ia berkeyakin bahwa hal itu dapat menolak bahaya maka itu syirik besar.<br />Syirik khafi yaitu syirik dalam keingin dan niat, seperti riya (ingin dipuji orang), sum’ah (ingin didengar orang) <br /><br />2.Orang yang membuat “Perantara” antara dirinya dengan Allah, yang kepada perantara-perantara itu ia berdoa atau meminta syafaat, serta bertawakal kepada mereka; maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.<br /><br />“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra:56-57)<br /><br />3.Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan madzab (ideologi) mereka. <br /><br />Mengapa demikian? <br />Sebab, Allah Jalla wa ‘Ala telah mengkafirkan mereka melalui sekian banyak ayat di dalam kitab-Nya serta memerintahkan untuk memusuhi mereka disebabkan karena mereka telah mengada-adakan kebohongan atas nama Allah, menjadikan sekutu-sekutu di samping Allah serta menganggap Allah mempunyai anak laki-laki. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Allah Jalla wa ‘Ala telah mewajibkan atas kaum muslimin untuk memusuhi dan membenci mereka.<br />Seseorang tidak bisa disebut sebagai muslim, sehingga ia mengkafirkan orang-orang musyrik. Jika ia meragukan hal itu, padahal persoalannya sudah nyata mengenai siapa sebenarnya mereka itu, atau ia bimbang mengenai kekafiran mereka padahal ia telah memperoleh kejelasan, berarti ia telah kafir seperti mereka.<br />Orang yang membenarkan orang-orang musyrik itu dan menganggap baik terhadap kekufuran dan kezhaliman mereka, maka ia berarti kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. Sebab, ia berarti belum/tidak mengenal Islam secara hakiki, yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepadaNya dengan ketaatan, berlepas diri dari syirik dan orang-orang yang berbuat syirik. Sedangkan ia justru berwala’ (memberikan loyalitas) terhadap ahli syirik, mana mungkin dia akan mengkafirkan mereka.<br /><br />Allah berfirman (yang artinya): <br />“Sesugguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah:4)<br /><br />Inilah millah Ibrahim, barang siapa membencinya, maka ia berarti telah membodohi diri sendiri. Perhatikan pula surat Al-Maidah:51, Ali Imron:28, Az-Zukhruf:26-27, at-taubah:5, at-taubah:23, al-Mujadilah:23, al-mumtahanah:1, dan msih banyak ayat lain yang menjelaskan mengenai permasalahan ini. Perhatikanlah wahai Saudaraku kamu muslimin. Janganlah kalian tertipu oleh dai-dai yang menyeru kepada api neraka!!<br /><br />4.Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau meyakini ada hukum yang lebih baik daripada hukum beliau; seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau.<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya): <br />“Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran:19) <br />“Barangsiapa mencari agama selain dari dien (agama) Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imron:85)<br />Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya): <br />“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di tengah-tengah kalian, kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka pastilah kalian telah tersesat denagn keseatan yang jauh.” (HR. Ahmad)<br /><br />5.Membenci sebagian (apalagi seluruhnya) ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, walaupun ia mengamalkannya.<br /><br />“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhya mereka benci kepda apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:8-9)<br /><br />6.Memperolok-olok sebagian ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau memperolok pahala dan hukuman Allah. <br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): <br />“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah:65-66)<br /><br />7.Sihir, seperti sharf (jenis sihir yang ditujukan untuk memisahkan seseorang dengan kekasihnya) dan ‘athaf (di kalangan orang Jawa dikenal dengan istilah pelet). Ia melakukannya atau rela dengan sihir.<br /><br />Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): <br />“Keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah:102)<br /><br />8.Tolong menolong dengan kaum musyrikin dan bantu membantu dengan mereka dalam menghadapi kaum muslimin. <br /><br />Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya): <br />“Barangsiapa di antara kalian yang tolong-menolong dengan mereka, maka ia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah:51) <br /><br />9.Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari syariat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana keleluasaan Nabi Khidir untuk tidak mengikuti syariat Musa alaihi salam.<br /><br />Dalilnya adalah: <br />An-Nasa’I dan laiinya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa beliau melihat lembaran dari kitab Taurat di tangan Umar bin Al-Khattab Radhiallahu 'Anhu, lalu beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):<br />“Apakah kamu masih juga bingung wahai putera al-Khathab?!, padahal aku telah membawakan kepadamau ajaran yang putih bersih. Seandainya Musa masih hidup, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, tentulah kamu tersesat.”<br />Dalam riwayat lain disebutkan: <br />“Seandainya Musa masih hidup, maka tiada keleluasaan baginay kecuali harus mengikutiku,” <br />lalu Umar pun berkata: “Aku telah ridha bila Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien (agama), dan Muhammad (Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) sebagai nabi.”<br /><br />10.Berpaling dari dinul (agama) Islam, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya. <br /><br />Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya): <br />“Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling dari padanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah:22)<br /><br /><br />Wahai saudaraku, <br />Semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk kepada kebenaran; ketahuilah bahwa pelaku-pelaku hal-hal yang membatalkan keislaman seseorang di atas, tidak ada bedanya antara yang melakukan dengan main-main, sungguh-sungguh, ataupun takut (karena harta,jabatan). Semuanya sama saja, kecuali bagi orang yang dipaksa. Orang yang dipaksa memiliki udzur sebagaimana kisahnya Ammar bin Yassir yang kemudian turun ayat An-Nahl:106.<br /><br />Semua hal itu besar sekali bahayanya, karenanya setiap kita harus berhati-hati dan menjaga diri dengan baik. Jangan sampai kita terjerumus dalam hal yang berbahaya ini. Kita berlindung kepada Allah dari murka dan adzab-Nya yang pedih.<br /><br />Untuk melengkapi risalah ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang dapat mengurangi,merusak,atau membatalkan kesempurnan tauhid Laa ilaaha illallah ini, selain apa yang telah disebutkan di atas. Diantaranya adalah:<br />Menggunakan benang, gelang, dan sejenisnya untuk menangkal bahaya. Termasuk juga menggantungkan selembar kertas, sepotong logam kuningan atau besi yang di atasnya tertulis lafdhul jalalah (Allah) atau ayat kursi atau meletakkan mushaf al-Qur’an di dalam mobil atau tempat lainnya dengan keyakinan bahwa semua itu dapat menjaga dan mencegahnya dari bahaya kecelakaan, dari kejelekan pandangan mata yang mengandung sihir (‘ain). Termasuk pula memasang sepotong kertas atau logam yang berbentuk telapak tangan atau terdapat gambar mata dengan keyakinan untuk mencegah pandangan mata (‘ain). Memasang rajah-rajah di warung atau toko dengan harapan agar terhindar dari kecurian,perampokan, dan harapan agar dagangannya laris.<br />Menggunakan akik, sabuk, atau benda-benda lainnya yang katanya benda tersebut sudah “diisi”, sehingga orang yang menggunakannya memiliki kesaktian, kekebalan, dan lain sebagainya dari banutan jin.<br />Ilmu-ilmu tenaga dalam yang menggunakan bantuan jin, apakah itu white magic ataupun black magic. Semuanya itu dilarang oleh syariat Islam. Apakah itu yang langsung “diisi” ataupun yang diperoleh dengan menggunakan ayat-ayat atau dzikir-dzikir yang bid’ah yang beraneka ragam yang tidak ada asalnya. Semuanya itu dapat merusak syahadat Laa ilaaha illallah.<br />Melakukan ruqyah-ruqyah yang tidak syar’i. Membaca hal-hal yang tidak dimengerti. Membaca ayat Qur’an dicampur hafalan-hafalan lain yang mengandung kesyirikan. Termasuk juga pengobatan-pengobatan “alternatif” yang dilakukan oleh para dukun dengan nama yang beraneka ragam, dengan mengelabui kaum muslimin bahwa seolah-olah pengobatannya adalah pengobatan sacara islam, yang diperbolehkan. Di antaranya adalah pemindahan penyakit dari orang yang sakit ke binatang, kemudian binatang itu disembelih untuk melihat bagian mana yang sakit dari si penderita.<br />Melakukan penyembelihan bukan karena Allah. Untuk rumah atau gedung yang baru di bangun. Disembelih untuk jembatan-jembatan. Penyembelihan kurban pada bulan Syuro (apa yang dinamakan Syuran). yang semuanya itu bertujuan untuk mengambil manfaat dan menghindari kejahatan dari jin dan setan yang dianggap menunggu dan atau menguasai tempat tersebut. Termasuk juga pembuatan bubur syuro yang ada pada masyarakat jawa. Bernadzar, isti’adzah (mohon perlindungan), istighatsah (mohon pertolongan tuk dimenangkan), dan berdoa kepada selain Allah juga tidak diperbolehkan. Hal yang demikian merusak tauhid.<br />“Ngalap berkah” ke kuburan-kuburan/petilasan-petilasan orang-orang yang dianggap shaleh seperti: kyai, nyai, syaikh. Atau “ngalap berkah” ke pohon-pohon angker, tempat-tempat “wingit”. Ada juga yang ke kuburannya para pahlawan, raja, presiden, ataupun nenek moyang. Bahkan ada juga ke makam yang sebenarnya kosong tapi dikatakan sebagai makamnya orang shaleh. Yang aneh lagi, ada juga kuburan yang didatangi untuk ngalap berkah ini yang merupakan kuburan binatang!!.<br />Beribadah di samping kubur dengan keyakinan hal itu lebih afdhal. Meminta kepada penghuni kubur, menjadikan penghuni kubur sebagai perantara antara kita dengan Allah. Melakukan thawaf di kuburan. Kita dilarang sholat di kuburan karena dapat menggiring kepada kesyirikan, bagaimana pula kalau kita beribadah kepada kubur? Untuk menjaga tauhid kita dilarang untuk membuat bangunan di atas kubur (memasang “kijing”). Kita dilarang juga untuk menjadikan kuburan sebagai ied (hari raya).<br />Kita dilarang untuk bersikap berlebih-lebihan kepada orang shalih dan mengangkat mereka melebihi dari kedudukannya. Ada di antara kaum muslimin yang mengangkat mereka melebihi kedudukannya, mereka angkat sederajat dengan kedudukan rasul, bahkan sederajat dengan Allah. Orang-orang shalih tersebut dianggap ma’sum, terbebas dari dosa.<br />Sebagaimana dijelaskan di atas, kita tidak boleh melakukan sihir, mendatangi tukang sihir, dukun, para normal, orang pintar, atau apapun namanya yang berprofesi seperti mereka, yang mengaku mengetahui hal yang ghaib. Kita tidak boleh mendatangi, bertanya, apalagi membenarkan mereka. Hal ini dapat merusak tauhid kita, merusak Laa ilaaha illallah kita. Termasuk juga ilmu nujum yang menggunakan perbintangan yang sekarang ini dinamakan astrologi. Demikian pula Zodiak-zodiak seperti: leo, pisces, aries, dan sebagainya; yang hal ini marak di koran, majalah, ataupun di televisi. Semua ini adalah dilarang.<br />Merasa bernasib sial karena suatu hal juga dilarang. Hal ini dalam bahasa dien (agama) dinamakan sebagai thiyarah. Merasa sial kalau mendengar suara burung tertentu, sehingga membatalkan rencananya. Apabila menabrak kucing ketika berkendaraan sudah pasti akan merasa sial (misalnya kecelakaan).Takut mengadakan perkawinan pada bulan Muharram (Suro), tidak boleh bepergian pada hari Sabtu karena hari tersebut hari sial, dan hal-hal lainnya yang semacam dengan ini. Semuanya ini adalah batil. Tidak ada perhitungan bulan atau hari baik, semua hari adalah baik.<br />Termasuk perbuatan merusak tauhid ada<br /><br /><div style="text-align: right;">Sumber : perpustakaan-islam.com<br /></div> </div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-60543692340210107852008-01-29T11:28:00.000+08:002008-01-29T11:29:25.207+08:00Tahapan - Tahapan Menuntut Ilmu<div style="text-align: justify;"><b>Pertama</b><br />Lebih efektif karena seorang alim mempunyai daya telaah dan pengetahuan dan memberikan ilmu kepadamu dengan ilmu yang matang dan mudah.<br /><br /><b>Kedua</b><br />Mencari ilmu dari seorang yang alim akan lebih dekat kepada kebenaran, dalam arti orang yang menuntut ilmu kepada seorang yang bukan alim akan menimbulkan sikap mengada-ada dan pendapat-pendapat yang syadz (menyimpang/ganjil) yang jauh dari kebenaran. Hal itu disebabkan karena dia tidak membaca kitab di hadapan orang alim yang ilmunya mendalam sehingga bisa mendidiknya di atas jalan yang dipilihnya.<br /><br />Maka menurut pendapat saya, seseorang harus bersungguhsungguh memiliki seorang guru untuk mencari ilmu, karena jika dia memiliki guru maka guru tersebut akan mengarahkannya dengan pengarahan yang menurutnya sesuai dengan murid (yang diajarnya).<br /><br />Adapun jawaban bagi pertanyaan di atas, maka secara umum kita katakan:<br /><br /><b>Pertama </b><br />Lebih utama bagi seseorang untuk menghafal Kitabullah sebelum kitab lainnya karena ini merupakan kebiasaan para Sahabat radhiallahu?anhum. Mereka tidak bergeser dari sepuluh ayat pertama sebelum mereka mempelajari (menghafal) ilmu yang terkandung di dalamnya serta mengamalkannya. Dan Kalamullah adalah kalam yang paling sempurna secara mutlak.<br /><br /><b>Kedua</b><br />Dia harus mengambil matan (redaksi) hadits-hadits ringkas yang akan menjadi simpanan baginya ketika berdalil dengan Sunnah, seperti `Umdatul Ahkaam, Buluughul Maraam, al Arba'iin An Nawawiyyah dan yang semisalnya.<br /><br /><b>Ketiga</b> <br />Menghafal matan-matan fiqih yang sesuai dengan dirinya dan matan yang paling bagus yang kita hafal adalah Zaadul Mustaqni' fii Ikhtishaaril Muqni' karena (syarah) kitab ini telah dikerjakan oleh pensyarahnya Manshur bin Yunus al-Bahuthi dan orang-orang setelahnya dari orang-orang yang mengerjakan syarah dan matan kitab ini dengan catatan kaki yang banyak.<br /><br /><b>Keempat</b><br />Nahwu. Tahukah engkau apa itu nahwu yang tidak diketahui oleh para penuntut ilmu kecuali hanya sedikit saja di antara mereka sehingga engkau melihat seseorang telah lulus dari satu fakultas dalam keadaan tidak mengetahui ilmu nahwu sedikit pun, persis seperti apa yang digambarkan oleh seorang penya'ir: </div><span style="font-size:130%;"><br />لا بارك الله في النحو ولا أهله * إذا كان منسـوبا إلى نفطويه<br />أحـرقه الله بنصـف اسـمه * وجعل الباقي صـراخاً عليه<br /></span><br /><div style="text-align: justify;"><i> </i><br /><i>Semoga Allah tidak memberi barakah dalam nahwu dan ahlinya </i><br /><i>Apabila dia dinisbatkan kepada omongan yang tidak terfahami </i><br /><i>Semoga Allah membakarnya dengan separuh namanya </i><br /><i>Dan menjadikan sisanya sebagai teriakan atasnya. </i><br /><br />Mengapa penya'ir ini berkata demikian? Jawabnya karena dia lemah tentang nahwu. Tetapi saya katakan bahwa pintu nahwu itu pintunya dari besi, sedangkan lorongnya adalah benang emas. Artinya dia amat keras dan sukar ketika pertama kali memasukinya tetapi jika pintunya telah terbuka bagi orang yang mencarinya, dia akan merasakan kemudahan pada langkah selanjutnya dengan semudah-mudahnya sehingga jadilah dia sesuatu yang mudah baginya, sehingga beberapa penuntut ilmu yang baru memulai dalam mempelajari nahwu menjadi terpikat. Maka jika engkau berbicara kepada mereka dengan pembicaraan yang biasa, dia akan mengi'rabnya (mengurainya) agar terlatih dalam hal i'rab. Di antara matan nahwu yang paling baik adalah al-Aajuruumiyyah, sebuah kitab yang ringkas tetapi sangat terfokus (padat). Oleh karena itu saya nasihatkan bagi para pemula untuk memulai dengan kitab ini. Maka inilah pokok-pokok yang harus dijadikan landasan bagi para penuntut ilmu.<br /><br /><b>Kelima</b><br />Adapun yang berhubungan dengan ilmu tauhid, maka kitab-kitab tentang masalah ini amatlah banyak. Di antaranya: Kitaabut Tauhiid karya Syaikhul Islam Muhammad bin `Abdil Wah-hab rahimahullah, al-Aqiidah al-Waasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab ini sangat banyak dan sangat dikenal, wal hamdulillah<br /><br />Dan nasihat umum bagi para penuntut ilmu bahwa ilmunya harus berdampak terhadap dirinya berupa takwa kepada Allah melaksanakan ketaatan kepada-Nya, berakhlak mulia, ihsan (berbuat baik) kepada sesama makhluk dengan cars mengajar, membimbing, dan gigih dalam menyiarkan ilmu melalui berbagai media, baik melalui koran, majalah, kitab-kitab, risalah, buletin dan media lainnya.<br /><br />Saya pun menasihatkan kepada para penuntut ilmu agar tidak tergesa-gesa dalam menghukumi (memvonis) sesuatu. Karena sebagian penuntut ilmu yang masih pemula engkau lihat tergesa-gesa dalam berfatwa dan menetapkan hukum. Dan terkadang menyalahkan para ulama besar sedangkan dia (memiliki tingkatan yang) jauh di bawah para ulama tersebut, sehingga beberapa orang mengatakan, Saya berdebat dengan salah seorang penuntut ilmu yang masih pemula, lalu saya katakan kepadanya bahwa ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Maka dia berkata, Siapa Imam Ahmad bin Hanbal? Imam Ahmad bin Hanbal laki-laki, kita pun laki-laki. Subhanallaah!!. Memang benar Imam Ahmad bin Hanbal laki-laki dan engkau laki-laki sehingga kalian berdua sama dalam hal kelaki-lakiannya, adapun dalam hal ilmu maka antara kalian berdua terdapat perbedaan yang amat jauh. Tidak semua laki-laki layak dianggap sebagai laki-laki dalam hal ilmu.<br />Saya katakan: Seorang penuntut ilmu wajib bertatakrama dengan sikap tawadhu', tidak merasa ta'jub dengan diri sendiri, dan hendaklah mengetahui kemampuan diri.<br /><br />Di antara hal yang penting bagi seorang penuntut ilmu: janganlah dia banyak menelaah pendapat para ulama, karena jika engkau banyak menelaah pandapat para ulama dan menelaah al-Mughni dalam masalah fiqih karya Ibnu Qudamah, al-Majmuu' karya anNawawi, dan kitab-kitab besar yang menerangkan ikhtilaf dan engkau mendiskusikannya, maka engkau akan sia-sia (rusak). Mulailah pertama kali, seperti yang telah saya katakan, dengan matan-matan yang ringkas, sedikit demi sedikit sehingga engkau akan sampai kepada tujuan. Adapun jika engkau ingin menaiki pohon dari rantingnya, maka ini adalah salah.<br /><br />Diambil dari Kitabul 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-74326989511376713622008-01-29T11:13:00.000+08:002008-01-29T11:23:51.358+08:00Hukum taklid dan bermadzhab<div style="text-align: justify;"><b>Syaikh Al-Bany ditanya: </b><br />Apa dalil haramnya taklid? Dan bagaimana hukum bermazhab?<br /><br /><b>Jawaban:</b><br />Saya tidak mengetahui dalil haramnya taklid, bahkan taklid merupakan suatu keharusan bagi orang yang tidak memiliki ilmu. Allah azza wa jalla telah berfirman:<br /><br /><i>Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An Nahl: 43) </i><br /><br />Berdasarkan ayat ini, kaum muslimin dalam hal ilmu dibagi menjadi dua bagian:<br /><br /><b>Pertama: </b><br />Seorang yang berilmu ('alim) wajib baginya menjawab pertanyaan orang yang bertanya.<br /><br /><b>Kedua: </b><br />Orang yang tidak berilmu, wajib bertanya kepada seorang yang berilmu.<br />Seseorang yang bertanya kepada ustadz atau ulama yang berilmu jika menghadapi satu masalah berarti telah mengamalkan ayat di atas.<br /><br />Barangkali maksud si penanya adalah bagaimana hukumnya jika seseorang dalam menjalankan agamanya mengikuti tata cara salah satu mazhab dan tidak peduli dengan mazhab yang lain atau pendapat-pendapat ulama yang tidak sesuai dengan mazhab yang dia anut, jawabannya tentu saja bermazhab seperti ini tidak dibolehkan, karena bertentangan dengan dalil-dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits Nabi .<br /><br />Dan para ulama telah membagi manusia dalam beragama kepada tiga golongan:</div><ol style="text-align: justify;"><li>Mujtahid (orang yang berijtihad). </li><li>Muttabi (orangyang mengikuti dalil-pent), ia berada di atas ilmu</li><li>Muqollid (orang yang ikut-ikutan, tidak mempunyai ilmu-pent), kebanyakan manusia termasuk dalam golongan terakhir ini. </li></ol><div style="text-align: justify;"><br />Dengan demikian, tidak bisa kita katakan bahwa taklid secara mutlak hukumnya haram, kecuali taklid buta.<br /><br />Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah </div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-25919811364529210982008-01-25T10:42:00.000+08:002008-01-25T10:45:41.403+08:00Janji Allah Bagi Orang Yang Akan Menikah<div style="text-align: justify;">Ketika seorang muslim baik pria atau wanita akan menikah, biasanya akan timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, termasuk juga tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping, dll. Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada juga perasaan keraguan.<br /><br />Berikut ini sekelumit apa yang bisa saya hadirkan kepada pembaca agar dapat meredam perasaan negatif dan semoga mendatangkan optimisme dalam mencari teman hidup. Semoga bermanfaat buat saya pribadi dan kaum muslimin semuanya. Saya memohon kepada Allah semoga usaha saya ini mendatangkan pahala yang tiada putus bagi saya.<br /><br />Inilah kabar gembira berupa janji Allah bagi orang yang akan menikah. Bergembiralah wahai saudaraku… <br /><br />1. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur : 26)<br />Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Hiduplah sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh, jadilah wanita yang sholehah. Semoga Allah memberikan hanya yang baik buat kita. Amin.<br /><br />2. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32)<br /><br />Sebagian para pemuda ada yang merasa bingung dan bimbang ketika akan menikah. Salah satu sebabnya adalah karena belum punya pekerjaan. Dan anehnya ketika para pemuda telah mempunyai pekerjaan pun tetap ada perasaan bimbang juga. Sebagian mereka tetap ragu dengan besaran rupiah yang mereka dapatkan dari gajinya. Dalam pikiran mereka terbesit, “apa cukup untuk berkeluarga dengan gaji sekian?”.<br /><br />Ayat tersebut merupakan jawaban buat mereka yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena alasan ekonomi. Yang perlu ditekankan kepada para pemuda dalam masalah ini adalah kesanggupan untuk memberi nafkah, dan terus bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan besaran rupiah yang sekarang mereka dapatkan. Nantinya Allah akan menolong mereka yang menikah. Allah Maha Adil, bila tanggung jawab para pemuda bertambah – dengan kewajiban menafkahi istri-istri dan anak-anaknya, maka Allah akan memberikan rejeki yang lebih. Tidakkah kita lihat kenyataan di masyarakat, banyak mereka yang semula miskin tidak punya apa-apa ketika menikah, kemudian Allah memberinya rejeki yang berlimpah dan mencukupkan kebutuhannya?<br /><br />3. “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160) [1]<br /><br />Bagi siapa saja yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka berhak mendapatkan pertolongan dari Allah berdasarkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Dan pertolongan Allah itu pasti datang.<br /><br />4. “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar Ruum : 21)<br /><br />5. “Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’ ”. (Al Mu’min : 60)<br /><br />Ini juga janji Allah ‘Azza wa Jalla, bila kita berdoa kepada Allah niscaya akan diperkenankan-Nya. Termasuk di dalamnya ketika kita berdoa memohon diberikan pendamping hidup yang agamanya baik, cantik, penurut, dan seterusnya.<br /><br />Dalam berdoa perhatikan adab dan sebab terkabulnya doa. Diantaranya adalah ikhlash, bersungguh-sungguh, merendahkan diri, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dll. [2]<br /><br />Perhatikan juga waktu-waktu yang mustajab dalam berdoa. Diantaranya adalah berdoa pada waktu sepertiga malam yang terakhir dimana Allah ‘Azza wa Jalla turun ke langit dunia [3], pada waktu antara adzan dan iqamah, pada waktu turun hujan, dll. [4]<br /><br />Perhatikan juga penghalang terkabulnya doa. Diantaranya adalah makan dan minum dari yang haram, juga makan, minum dan berpakaian dari usaha yang haram, melakukan apa yang diharamkan Allah, dan lain-lain. [5]<br /><br />Manfaat lain dari berdoa berarti kita meyakini keberadaan Allah, mengakui bahwa Allah itu tempat meminta, mengakui bahwa Allah Maha Kaya, mengakui bahwa Allah Maha Mendengar, dst.<br /><br />Sebagian orang ketika jodohnya tidak kunjung datang maka mereka pergi ke dukun-dukun berharap agar jodohnya lancar. Sebagian orang ada juga yang menggunakan guna-guna. Cara-cara seperti ini jelas dilarang oleh Islam. Perhatikan hadits-hadits berikut yang merupakan peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br /><br />“Barang siapa yang mendatangi peramal / dukun, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam”. (Hadits shahih riwayat Muslim (7/37) dan Ahmad). [6]<br /><br />Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka janganlah kamu mendatangi dukun-dukun itu.” (Shahih riwayat Muslim juz 7 hal. 35). [7]<br /><br />Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jampi-jampi (mantera) dan jimat-jimat dan guna-guna (pelet) itu adalah (hukumnya) syirik.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad dan Hakim). [8]<br /><br />6. ”Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. (Al Baqarah : 153) <br />Mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat. Tentunya agar datang pertolongan Allah, maka kita juga harus bersabar sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga harus shalat sesuai Sunnahnya dan terbebas dari bid’ah-bid’ah.<br /><br />7. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Alam Nasyrah : 5 – 6)<br />Ini juga janji Allah. Mungkin terasa bagi kita jodoh yang dinanti tidak kunjung datang. Segalanya terasa sulit. Tetapi kita harus tetap berbaik sangka kepada Allah dan yakinlah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Allah sendiri yang menegaskan dua kali dalam Surat Alam Nasyrah.<br /><br />8. “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad : 7)<br />Agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita, maka kita tolong agama Allah. Baik dengan berinfak di jalan-Nya, membantu penyebaran dakwah Islam dengan penyebaran buletin atau buku-buku Islam, membantu penyelenggaraan pengajian, dll. Dengan itu semoga Allah menolong kita.<br /><br />9. “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Al Hajj : 40)<br /><br />10. “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al Baqarah : 214) <br /><br /><br />Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan menyalahi janjinya. Kalaupun Allah tidak / belum mengabulkan doa kita, tentu ada hikmah dan kasih sayang Allah yang lebih besar buat kita. Kita harus berbaik sangka kepada Allah. Inilah keyakinan yang harus ada pada setiap muslim.<br /><br />Jadi, kenapa ragu dengan janji Allah? <br /><br /><br />Chandraleka <br />hchandraleka(at)telkom.net <br /><br /><br />Footnote: <br />[1] Lihat Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep Perkawinan dalam Islam, Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995, hal. 12 <br />[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004, hal. 1 – 2 <br />[3] Allah turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir. Allah lalu berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan! Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri! Siapa yang meminta ampun kepada-Ku tentu Aku ampuni.” Demikianlah keadaannya hingga fajar terbit. (HR. Bukhari 145, Muslim 758) (lihat Tahajjud Nabi, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, Media Hidayah, Sept. 2003, hal. 27).<br />[4] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004, hal. 8 – 14 <br />[5] Idem, hal. 15 – 22 <br />[6] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al – Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul Qalam, Jakarta, Cet. II, 2004 M, hal. 103 <br />[7] Idem, hal. 105 <br />[8] Idem, hal. 101 <br /><br />-------------------------------------------------------------------------------- <br />Referensi: Referensi : Footnote: [1] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep Perkawinan dalam Islam, Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995 [2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004 [3] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004 [4] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al – Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul Qalam, Jakarta, Cet. II, 2004 M</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-47718078764915347282008-01-25T10:26:00.000+08:002008-01-25T10:27:29.204+08:00Mengapa Engkau Melalaikannya Dalam Sholat...?<div style="text-align: justify;">Beberapa Perkara yang Perlu Diperhatikan Saat Hendak Shalat<br /><br /><b>Shalat dengan pakaian yang diharamkan</b><br />Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram. </div><ul style="text-align: justify;"><li>Diperoleh dengan cara yang haram, mungkin dengan mencuri ataupun merampasnya dari orang lain atau yang semisalnya. </li><br /><li>Zat pakaian itu haram, seperti pakaian sutera dan emas yang diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya atau pakaian yang bergambar makhluk hidup (manusia dan hewan). </li><br /><li>Sifat pakaian itu haram, seperti seorang laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya.</li></ul><div style="text-align: justify;">Shalat mengenakan pakaian yang diharamkan tersebut hukumnya haram. Lantas, apakah shalat yang dikerjakan sah ataukah batal ? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Namun pendapat mayoritas ahlul ilmi adalah shalatnya sah, tidak batal. Pelakunya dianggap telah berbuat maksiat karena melakukan perkara yang diharamkan, yakni memakai pakaian yang diharamkan. Ketika syariat melarang mengenakan sebuah pakaian secara mutlak pada saat menunaikan shalat ataupun di luar shalat, maka ini tidaklah mengandung konsekuensi batalnya shalat yang dikerjakan dengan memakai pakaian tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/ 448).<br /><br /><b>Shalat dengan memakai pakaian bercorak/ bergambar</b><br />Ummul mukminin Aisyah mengabarkan: <br /><br /><i>“Nabi shalat mengenakan khamishah yang memiliki corak/gambar-gambar. Beliau memandang sekali ke arah gambar-gambarnya. Maka selesai dari shalatnya, beliau bersabda, “Bawalah khamishahku ini kepada Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm , karena khamisah ini hampir menyibukkanku dari shalatku tadi .” Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya dari Aisyah, “Nabi bersabda, “Ketika sedang shalat tadi aku sempat melihat ke gambarnya, maka aku khawatir gambar ini akan melalikan/menggodaku .” (HR. Al-Bukhari no. 373 dan Muslim no. 1239) </i><br /><br />Al-Imam An-Nawawi dalam syarah(penjelasan)nya terhadap Shahih Muslim memberi judul bagi hadits di atas dengan “Karahiyatush Shalah fi Tsaubin Lahu A’lam” artinya makruhnya shalat dengan mengenakan pakaian bergambar.<br /><br />Rasulullah mengatakan bahwa gambar-gambar yang ada pada khamishah tersebut sempat menyibukkan beliau. Maksudnya, hati beliau tersibukkan sesaat dari perhatian secara sempurna terhadap shalat yang sedang dikerjakan, dari mentadaburi dzikir-dzikir dan bacaannya karena memandang gambar yang ada pada khamishah yang sedang dikenakannya. Karena khawatir hati beliau akan tersibukkan dengannya, belaiau pun enggan mengenakan khamishah itu dan memerintahkan agar mengembalikannya kepada Abu Jahm. Dari sini kita pahami, tidak disenanginya mengenakan pakaian yang bercorak/bergambar ketika shalat karena dikhawatirkan akan mengganggu ibadah shalat tersebut, walaupun shalat yang dikerjakan tetap sah. Diambil istimbath hukum dari hadits ini bahwa dimakruhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat seperti hiasan, warna-warni, dan ukiran pada dinding masjid, atau hal-hal lain yang dapat menyibukkan serta memalingkan hati orang yang sedang shalat. (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz Dzikr ‘Aqibash Shalah, Al-Minhaj 5/46, Fathul Bari 1/627, Syarhu Az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ Al-Imam Malik, 1/290)<br /><br />Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Hadits ini menunjukkan bersegeranya Rasulullah untuk memperbaiki shalat (melakukan hal-hal yang memberi kemashalahatan bagi ibadah shalat) serta menyingkirkan apa yang mungkin menodai pelaksanaannya. Di mana beliau melepas khamishah yang dikenakannya, menyuruh sahabatnya untuk mengembalikannya dan meminta penggantinya berupa pakaian lain yang tidak menyibukkan.” (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz-Dzikr ‘Aqibash Shalah)<br /><br />Zainuddin Abul Fadhl Al-Iraqi menyatakan, “Hadits ini menunjukkan keharusan meyingkirkan apa saja yang dapat menyibukkan orang yang shalat dari ibadah shalatnya dan melalaikannya. Hadits ini juga mengandung hasungan untuk menghadap sepenuhnya pada amalan shalat dan khusyuk di dalamnya. Sebagaimana pula hadits ini menunjukan bahwa pikiran sedikit/sejenak tersibukkan dengan perkara selain shalat tidaklah mencacati keabsahan shalat.” (Tharhu At-Tatsrib, 2/585)<br /><br />Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tidak disenangi untuk shalat di tempat yang padanya ada hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat. Sehingga, sekiranya hal yang mengganggu itu dapat disingkirkan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.<br /><br />Anas bin Malik berkata, Aisyah memiliki qiram yang dipakainya untuk menutupi sisi rumahnya, maka Nabi bersabda: <br /><br /><i>“Singkirkan dari kami qirammu ini karena gambar-gambarnya terus menerus terbayang-bayang dalam shalatku.” (HR.Al-Bukhari no. 374) </i><br /><br /><b>Shalat Membawa Gambar </b><br />Bila seseorang shalat sementara di sakunya ada dompet yang di dalamnya terdapat uang kertas bergambar makhluk hidup, KTP, SIM yang tentunya ada pas fotonya, apakah shalatnya sah ?<br /><br />Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab, “Shalatnya sah. Adapun gambar-gambar yang dibawanya dalam shalat tidaklah mencacati shalatnya karena ia dalam keadaan terpaksa atau ada kebutuhan untuk selalu membawanya. Adapun gambar/ foto kenang-kenangan, untuk mengingat seseorang dan semisalnya, tidak boleh dibawa. Bahkan tidak boleh dibiarkan tetap ada di dalam rumah, namun wajib dimusnahkan. Dengan dalil sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib:<br /><br /><i>“Jangan engkau membiarkan satu gambar (makhluk hidup) kecuali engkau hanguskan dan jangan pula membiarkan ada satu kuburan yang ditinggalkan kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim dalam Shahihnya) </i><br /><br />Kemudian Asy-Syaikh menyebutkan beerapa hadits yang lainnya. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/417) <br /><br /><b>Shalat di Tempat yang Ada Gambar </b><br />Shalat di tempat yang di situ ada gambar-gambar bernyawa seprti gmbar-gambar pada surat kabar, majalah, dan buku-buku, atau gambar yang digantung di dinding hukumnya sah apabila si muslim yang shalat tersebut menunaikan shalatnya dengan tata cara yang diajarkan dalam syariat. Akan tetapi bila ia mencari tempat lain yang tidak ada gambarnya maka itu lebih utama dan lebih afdhal. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/418)<br /><br /><b>Shalat Beralaskan Tikar </b><br />Dibolehkan shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain, atau yang lainnaya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang yang shalat. Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang tentunya dapat menarik perhatian orang yang shalat. Di saat shalat, mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu mengamatinya, terus memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa yang sedang dibacanya dan berapa rakaat ang telah dikerjakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid, karena bia jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya menoleh ke gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362)<br /><br />Dalil tentang bolehnya shalat dengan memakai alas adalah sebagai berikut: <br /><br /><i>Anas bin malik mengabrkan bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Rasulullah untuk menyantap hidangan yang dibuatnya. Beliau pun datang memenuhinya serta memakan hidangan yang disajikan. Selesainya, beliau bersabda , “Bangkitlah, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata,”Aku pun bangkit untuk mengambil tikar kami yang telah menghitam karena lamanya dipakai. Aku percikkan air untuk membersihkannya. Rasulullah lalu berdiri. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sementara nenekku berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat mengimami kami, kemudian beliau pergi.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 1497) </i><br /><br />Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan: <br /><br /><i>“Ia pernah masuk menemui Rasulullah, ternyata ia dapatkan beliau sedang shalat di atas tikar, beliau sujud di atas tikar tersebut.” (HR. Muslim no. 1503) </i><br /><br />Aisyah berkata:<br /><br /><i>“Adalah Rasulullah shalat beraaskan khumrah .” (HR. Al-Bukhari no. 379 dan diriwayatkan pula oleh Muslim no. 1502 dari hadits Maimunah) </i><br /><br />Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha di berbagai negeri tentang bolehnya shalat di atas/beralas khumrah. Keculai perbuatan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz bahwa ia pernah meminta tanah lalu diletakkannya di atas khumrahnya untuk kemudian sujud di atas tanah tersebut. Mungkin apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz ini karena berlebih-lebihannya beliau dalam sikap tawadhu’ dan khusyuk. Dengan begitu, dalam perbuatan beliau ini tidak ada penyelisihan dengan pendapat jamaah (yang menyatakan bolehnya sujud di atas khumrah).<br /><br />Ibnu Abi Syaibah meriwaytkan dari ‘Urwah ibnuz Zubair bahwa ia membenci (memakruhkan) shalat di atas sesuatu selain bumi /tanah (membenci shalat dengan memakai alas). Demikian pula riwayat dari selain ‘Urwah. Namun dimungkinkan makruhnya di sini adalah karahah tanzih (bukan haram).” (Fathul Bari, 1/633)<br /><br />Namun perbuatan Rasulullah ini cukuplah menujukkan kebolehan shalat di atas alas. Wallahu a’lam. <br /><br />Al-Imam An-Nawawi menyatakan ,”Orang-orang dalam mazhab kami berkata, ‘Tidak dibenci shalat di atas wol, bulu, hamparan, permadani, dan benda-benda seluruhnya. Inilah pendapat dalam mazhab kami’.” (Al-Majmu’, 3/169)<br /><br />Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Tidak apa-apa shalat di atas hamparan/tikar dan permadani dari wol, kulit, dan bulu. Sebagaimana dibolehkan shalat di ats kain dari katun, linen, dan seluruh bahan yang suci.” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Tashihhu Ash-Shalah ‘alal Hashir wal Bisath minash Shuf)<br /><br /><b>Shalat dengan Pakaian yang Dikenankan Saat Buang Hajat/di WC </b><br />Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini, karena memungkinkan ketika keluar dari WC pakaian mereka terkena najis dan tidak diragukan WC tidak lepas dari najis. Bila demikian, apakah sah shalat mereka dengan mengenakan pakaian tersebut ? beliau menjawab, “Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku hendak mengatakan bahwa syariat Islam ini, alhamdulillah, telah sempurna dari seluruh sisi. Cocok dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan makhluk di atas fitrah tersebut. Di mana pula, agama ini datang dengan kemudahan dan keringanan, bahkan datang untuk menjauhkan manusia dari kebingungan dalam was-was dan bayangan-bayangan yang tidak ada asalny. Berdasarkan hal ini, seseorang dengan pakaian yang dikenakannya berada di atas kesucian, karena hukum asalnya demikian, selama ia tidak yakin tubuh dan pakaiannya terkena najis. Inilah hukum asal yang dipersaksikan oleh sabda Rasulullah tatkala ada seseorang mengadu kepada beliau bahwa ia merasa berhadats ketika sedang mengerjakan shalatnya. Beliau bersabda:<br /><br /><i>“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendegar suara (angin) atau ia mendapati baunya.” </i><br /><br />Maka hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu di atas keadaanya semula (dalam hal ini: suci). Dengan begitu, basahnya pakaian yang dikenankan mereka saat masuk WC, bisakah dipastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan yan najis dari air kencing, tahi, atau semisalnya ? Bila kita tidak bisa memastikan (tidak yakin) dengan perkara ini, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu suci. Memang benar, menurut persangkan yang kuat pakaian itu bisa jadi terkena sedikit najis. Akan tetapi selama kita tidak yakin (sekedar menduga-duga) maka tetap hukum asal sesuatu itu suci, sehingga tidak wajib bagi mereka membasuh pakaian mereka. Dan mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/369)<br /><br /><b>Shalat Memakai Sandal </b><br />Rasulullah terkadang shalat tanpa alas kaki dan terkadang memakai sandal. Beliau membolehkan hal itu kepada umat beliau dengan sabdanya:<br /><br /><i>“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan di antara kedua kakinya, dan jangan ia mengganggu orang ain dengan kedua sandalnya.” (HR. Al-Hakim 1/259, ia berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi. Kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi 1/108, “Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan leh keduanya.”) </i><br /><br />Didapatkan pula adanya penekanan beliauagar mengenakan sandal ketika shalat sebagaimana dalam hadits: <br /><br /><i>“Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan mengenakan sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no.652, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain, hadits no. 471, 1/399) </i><br /><br />Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini memberi faedah disenanginya shalat dengan memakai sandal karena Rasulullah memerintahkannay dengan alasan untuk menyelisihi Yahudi. Minimal hukumnya adalah mustahab, walaupun secara dzahir hukumnya wajib. Karena hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali ada nash yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut. Namun di sini tidaklah wajib hukumnya dengan dalil sabda beliau yang telah disebutkan sebelumnya:<br /><br /><i>“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya…” </i><br /><br />Dari ucapan beliau ini menunjukkan seseorang yang shalat diberi pilihan (antara memakai sandal atau melepaskannya) akan tetapi hal ini tidaklah meniadakan hukum mustahabnya…” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109, 110)<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata, ”Mustahabnya dari sisi tujuan menyelisihi Yahudi.” <br /><br />Sunnah ini tentunya akan dianggap asing oleh masyarakat kita karena ketidaktahuan mereka terhadap hukum-hukum yang rinci dalam agama ini. Juga karena pandangan mereka, apabila seseorang masuk masjid dalam keadaan memakai sandal berarti dia menghinakan masjid dan mengotorinya. Sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan sunnah harus pandai-pandai melihat keadaan dan super hati-hati. Jangan sampai krena ingin menghidupkan sunnah namun hasilya malahan mendatangkan mudarat dan membuat fitnah di tengah masyarakatnya yang awam tersebut, yang menyebabkan sunnah ini justru dibenci dn agama ini semakin dijauhi. Wallahul musta’an.<br /><br />Oleh karena itu, ajarilah dulu manusia agama yang mudah ini dengan penuh hikmah, sehingga mereka mengerti dan paham, dan pada akhirnya mereka cinta terhadap agama ini dan mengamalkan semua yang datang dari agama yang mulia ini, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Wallahul muwaffiq ila ash-shawab.<br /></div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-36687873177371846292008-01-25T10:19:00.001+08:002008-01-25T10:20:56.937+08:00Mengatur hari-hari agar penuh Barokah<div style="text-align: justify;">Bangunlah sebelum fajar dan berdzikir, segera setelah itu, lalu berwudhu, kemudian shalat. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ عَلَى مَكَانِ كُلِّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ. فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذِكْرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ<br /><br />“Syaithan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat ia tidur dengan tiga ikatan. Pada tiap-tiap ikatan itu, Syaithan menghembuskan: Tidurlah terus, malam masih larut. Maka, jika ia terbangun, hendaklah ia berdzikrullâh, sehingga terputuslah satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (melanjutkannya dengan) berwudhu, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (meneruskannya dengan mengerjakan) shalat, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu (sehingga ikatan Syaithan itu terputus seluruhnya). Dengan demikian, niscaya memancarlah ketangkasan dan kebersihan dari jiwanya, namun jika ia tidak melakukan hal-hal tersebut, maka memancarlah dari jiwanya kekotoran dan berbagai kemalasan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[1], Muslim[2], Ahmad[3], Ibnu Mâjjaĥ[4], Abû Dâwûd[5] dan Mâlik[6]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dalam Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud.<br /><br /># Sebelum berwudhu, seyogyanya mencuci dulu kedua tangan di luar bejana dan beristintsâr (menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya) serta menggosok gigi. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وُضُوئِهِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ<br /><br />“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka cucilah tangannya sebelum ia mencelupkannya ke dalam air untuk wudhunya, karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya itu terletak ketika tidur.” (Dikeluarkan oleh Muslim[7], Ahmad[8], Ibnu Mâjjaĥ[9], Ad-Darâmiy[10], Abû Dâwûd[11], At-Turmudziy[12], An-Nasâ-iy[13] dan Mâlik[14]). Ini lafaz dari Mâlik. Dalam hadîts yang diterima Ibnu Mâjjaĥ melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy, pencucian tangan itu dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Kebanyakan riwayat menyatakan tiga kali, kecuali hadîts yang diriwayatkan oleh Mâlik serta sebagian dari yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Mâjjaĥ, yang tidak menyebutkan banyaknya pencucian.<br /><br />إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيْتُ عَلَى خَيَاشِيْمِهِ<br /><br />“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka ber-istintsâr-lah tiga kali, karena sesungguhnya Syaithan bermalam dalam rongga hidungnya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[15], Muslim[16] dan An-Nasâ-iy[17]). Ini lafaz dari Muslim.<br /><br />لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ<br /><br />“Seandainya tidak memberatkan ummatku, aku benar-benar telah memerintahkan menggosok gigi setiap kali wudhu.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[18], An-Nasâ-iy[19] dan Mâlik[20]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy. Ibnu Khuzaimaĥ menilainya shahîh, sedangkan Al-Bukhâriy menilainya mu’allaq.<br /><br /># Jika berhajat ke kamar kecil atau WC, mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, dilakukan usai buang hajat.<br /><br />Dalam membuang hajat, tetapilah dengan seksama aturan dan adab-adabnya; sebab, “tidak bersih” dalam kencing saja sudah cukup menjadi jalan datangnya siksa kubur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pernah bersabda ketika melewati dua kuburan yang masih baru:<br /><br />إِنَّهُمَا لَيُعَذِّبَانِ وَمَا يُعَذِّبَانِ فِى كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ<br /><br />“Sesungguhnya dua penghuni kubur ini benar-benar tengah ditimpa siksa; dan tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar. Salah seorang dari mereka, disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya; sedangkan yang satunya karena ia senang melakukan namîmah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[21], Muslim[22], Ahmad[23], Ibnu Mâjjaĥ[24], Ad-Darâmiy[25], Abû Dâwûd[26], At-Turmudziy[27] dan An-Nasâ-iy[28]). Ini lafaz dari Ibnu Mâjjaĥ.<br /><br /># Jika dalam keadaan junub, setelah mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, lakukanlah mandi secara sempurna, sesuai aturan dan adab-adabnya, dan tidak mengapa mencukupkan wudhu dengannya. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ t meriwayatkan:<br /><br />كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ<br /><br />“Adalah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam tidak lagi mengambil wudhu sesudah mandi.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[29], Ibnu Mâjjaĥ[30], At-Turmudziy[31] dan An-Nasâ-iy[32]). At-Turmudziy menyatakan hadîts yang diriwayatkannya: hasan shahîh. Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: ba’da l-ghusli mina l-janâbaĥ (sesudah mandi junub).<br /><br /># Usai berwudhu (atau mandi) dengan sempurna, mengikuti aturan dan adab-adabnya, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat wudhu, dan apabila “fajar shadiq” belum lagi terbit, bagi yang berniat shaum bisa mengerjakan sahur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />اَلْفجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرِّمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاةُ وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ<br /><br />“Fajar itu ada dua: Fajar yang mengharamkan makan-minum, tetapi menghalalkan shalat; dan fajar yang mengharamkan di dalamnya mengerjakan shalat, tetapi menghalalkan makan-minum.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimaĥ dan Al-Hâkim[33]). Al-Hâkim men-shahîh-kan hadîts ini.<br /><br />Fajar yang pertama itulah yang disebut “Fajar Shadiq”; dan yang kedua, disebut “Fajar Kidzib”.<br /><br />مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ<br /><br />“Tidak seorang Muslim pun berwudhu dengan membaguskan wudhunya, kemudian berdiri menunaikan shalat dua raka’at dengan menghadapkan sepenuh hati dan wajahnya dalam shalat itu, melainkan wajib baginya Surga.” (Dikeluarkan oleh Muslim[34], Ahmad[35], Abû Dâwûd[36] dan An-Nasâ-iy[37]).<br /><br /># Apabila fajar shadiq telah terbit, tegakkanlah dua raka’at shalat sunat fajar. Mengenai shalat ini, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiallahu'anhu:<br /><br />لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدُّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ<br /><br />“Tidak pernah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam amat sangat mementingkan suatu nawafil seperti halnya terhadap dua raka’at sebelum fajar.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[38], Muslim[39], Ahmad[40], Abû Dâwûd[41] dan An-Nasâ-iy[42]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy.<br /><br />Apabila luput dari melaksanakannya sebelum shalat shubh, laksanakanlah segera setelah shalat shubh, jika waktu shalat shubh belum berakhir. Qais bin ‘Amrû t meriwayatkan:<br /><br />خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الصُّبْحِ وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ حِيْنَ فَرَغَ مِنَ الصُّبْحِ فَرَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَمَرَّ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا هَذِهِ الصَّلاَةَ؟ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئاً<br /><br />“Suatu hari, ia keluar ke Masjid untuk berjama’ah shalat shubh. Setibanya di sana, ia mendapatkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah shalat shubh, padahal ia belum menunaikan dua raka’at shalat fajar. Maka, ia pun shalat shubh bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah selesai, segera ia melaksanakan dua raka’at shalat fajar. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu mendatanginya, dan bertanya: shalat apa ini? Ia pun memberitahu (bahwa itu shalat fajar). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun diam dan berlalu, tidak mengatakan sepatah kata pun.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[43]). Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts ini isnadnya jayyid.<br /><br />Jika waktu shubh sudah berakhir, matahari telah terbit, “qadhâ” shalat sunat fajar dilaksanakan sesudah matahari agak tinggi. ‘Imrân bin Hushain t meriwayatkan:<br /><br />أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِى مَسِيْرٍ لَهُ فَنَامُوْا عَنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ فَاسْتَيْقَظُوْا بِحَرِّ الشَّمْسِ فَارْتَفَعُوْا قَلِيْلاً حَتَّى اسْتَقَلَّتِ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَ مُؤَذِّناً فَأَذَّنَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَقَامَ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ<br /><br />“Dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, rombongan tertidur hingga luput melaksanakan shalat fajar. Mereka terbangun saat matahari telah terbit. Lalu mereka melanjutkan perjalanan hingga matahari agak tinggi. Setelah itu, Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pun menyuruh Muadzdzin untuk mengumandangkan adzan, dan beliau pun menunaikan dua raka’at shalat sunat fajar. Lalu dikumandangkanlah iqamah, maka kemudian beliau menunaikan shalat fajar.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[44], Abû Dâwûd[45] dan An-Nasâ-iy[46]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.<br /><br />Shalat fajar (dan, secara umum, shalat-shalat sunat lainnya) seyogyanya dilaksanakan di rumah. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى بَيْتِهِ تَطَوُّعاً نُوْرٌ فَمَنْ شَاءَ نَوَّرَ بَيْتِهِ<br /><br />“Shalat tathawwu’ seseorang di rumahnya laksana cahaya; maka barangsiapa yang mau, cahayailah rumahnya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[47]).<br /><br /># Usai shalat sunat fajar, jika shalat shubh belum lagi di-iqamah-kan, atau jika diperkirakan cukup waktu untuk berjalan ke Masjid, berbaringlah sejenak pada lambung kanan, atau, bercakap-cakap sejenak dengan anggota keluarga yang telah bangun. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyah t meriwayatkan:<br /><br />كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فإِنْ كُنْتُ نَائِمَةً اضْطَجَعَ وَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً حَدّثَنِي<br /><br />“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah menunaikan dua raka’at fajar, dan saya masih tidur, beliau pun berbaring; apabila saya sudah bangun, beliau bercakap-cakap dengan saya.” (Dikeluarkan oleh Muslim[48] dan Abû Dâwûd[49]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.<br /><br />Lalu pergi menuju Masjid untuk menunaikan shalat shubh berjama’ah. Berjalanlah dengan tenang, tidak terburu-buru, serta tidak mempersilangkan jari jemari atau bersidekap, dan berdo’alah sepanjang jalan. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ والْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا<br /><br />“Apabila kalian mendengar seruan shalat akan ditegakkan, maka pergilah shalat. Jagalah cara berjalan kalian, setenang dan setegap mungkin. Jangan terburu-buru. Maka yang kalian dapatkan dari shalat secara berjama’ah, lakukanlah, dan yang ketinggalan, sempurnakanlah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[50], Muslim[51], Ahmad[52], Ibnu Mâjjaĥ[53], Abû Dâwûd[54], At-Turmudziy[55] dan Mâlik[56]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy.<br /><br />إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِداً إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِى صَلاَةٍ (وفى لفظ) فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ<br /><br />“Apabila salah seorang dari kalian berwudhu, sempurnakanlah wudhunya. Kemudian, apabila ia keluar menuju Masjid dengan sengaja, maka janganlah ia bersidekap, atau, mempersilangkan jari jemari, karena saat berjalan itu ia berada dalam shalat.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[57] dan At-Turmudziy[58]).<br /><br />CATATAN: Berjama’ah di Masjid bagi wanita dibolehkan dengan syarat, walaupun bagi mereka lebih baik shalat di rumah. Sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam:<br /><br />لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ<br /><br />“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid, namun di rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[59] dan Abû Dâwûd[60]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.<br /><br />لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ<br /><br />“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid-masjid Allâh, namun hendaklah mereka keluar tanpa wewangian.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[61], Ad-Darâmiy[62] dan Abû Dâwûd[63]).<br /><br /># Sesampainya di Masjid, masuklah ke dalamnya dengan kaki kanan terlebih dahulu seraya membaca do’a. Mengenai mendahulukan kaki kanan dalam suatu urusan, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiall:<br /><br />كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِى شَأْنِهِ كُلِّهِ<br /><br />“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam amat mementingkan bagian kanan dalam setiap urusannya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[64], Muslim[65], Ahmad[66] dan Abû Dâwûd[67]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dan Abû Dâwûd.<br /><br />Setibanya di dalam, berusahalah menempati shaff paling depan sebelah kanan, dan jangan melangkahi pundak-pundak orang lain, kecuali jika orang-orang menyia-nyiakannya (membiarkannya tidak terisi) --Pengecualian ini adalah pendapat sebagian Ahlu l-‘Ilmi lihat Al-Ghazâliy: Ihyâْ ‘Ulûma d-Dîn, Kitâb Asrâri sh-Shalât wa Mahmâtihâ, al-Bâbu l-Khâmis fî Fadhli l-Jum’ati wa Âdâbihâ wa Sunnanihâ wa Syurûtihâ, Bayânu Âdâbi l-Jum’ati ‘alâ Tartîbi l-‘Âdat, fî Hay-ati d-Dukhûli). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصَّفِّ اْلأَوَّلِ<br /><br />“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff pertama.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[68], Ibnu Mâjjaĥ[69] dan Ad-Darâmiy[70]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjah fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa hadîts mengenai ini dari ‘Abdu r-Rahmân bin ‘Auf t yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjjaĥ, shahîh dan rijal-rijalnya tsiqât. Hadîts lain dari Al-Barâ` bin ‘Âzib t yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasâ-iy menggunakan lafaz: ’alâ sh-shaffi l-muqaddami (atas shaf yang lebih awal).<br /><br />إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوْفِ<br /><br />“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff sebelah kanan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[71] dan Abû Dâwûd[72]).<br /><br />مَنْ تَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ اتَّخِذَ جِسْراً إِلَى جَهَنَّمَ<br /><br />“Barangsiapa yang melangkahi pundak-pundak orang pada hari jum’at, ia telah mengambil jalan lintas menuju Jahannam.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[73] dan At-Turmudziy[74]).<br /><br />Kemudian, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat tahiyyatul masjid, sebelum duduk, kecuali jika shalat sudah di-iqamah-kan. Jika tidak (hendak) melakukannya, cukup membaca al-bâqiyyâtu sh-shâlihât satu, tiga atau empat kali (lihat Al-Ghazâliy: Bidâyatu l-Hidâyah, Âdâbu Dukhûli l-Masjid dan An-Nawawiy: Al-Adzkâr An-Nawawiyyah, Bâb Mâ Yaqûlu fî l-Masjid.). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلِيَرْكِعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ<br /><br />“Apabila salah seorang dari kalian memasuki Masjid maka hendaklah ia tunaikan dua raka’at shalat, sebelum ia duduk.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[75], Muslim[76], Ahmad[77], An-Nasâ-iy[78] dan Mâlik[79]). Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: fa l yushalli rak’ataini (maka hendaklah shalat dua raka’at).<br /><br />إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ<br /><br />“Apabila telah di-iqamah-kan shalat, maka tidak ada shalat kecuali yang diwajibkan.” (Dikeluarkan oleh Muslim[80], Ahmad[81], Ibnu Mâjjaĥ[82], Ad-Darâmiy[83], Abû Dâwûd[84] dan An-Nasâ-iy[85]).<br /><br /># Sesudah menunaikan shalat tahiyyatul masjid, dan shalat fardhu belum diserukan, berdzikirlah dan bertasbih, atau membaca Al-Qur-ân. Firman Allâh ta'ala:<br /><br />فِى بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَلِ رِجَالٌ<br /><br />“Bertasbih kepada Allâh para Rijâl di masjid-masjid yang telah diperintahkan-Nya untuk dimuliakan dan disebut-sebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang.” (An-Nûr 36-37).<br /><br />Apabila adzan dan iqamah diperdengarkan, hentikanlah semua aktifitas itu, dan jawablah seruan adzan atau iqamah, lalu di penghujungnya memanjatkan do’a. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ<br /><br />“Apabila kalian mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh Muadzdzin.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâ-riy[86], Muslim[87], Ahmad[88], Abû Dâwûd[89], At-Turmudziy[90], An-Nasâ-iy[91] dan Mâlik[92]).<br /><br />Dan menurut keterangan dari Abû Umâmah t:<br /><br />أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِى اْلإِقَامَةَ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا وَقَالَ فِى سَائِرِ اْلإِقَامَةِ<br /><br />“Adalah Bilâl menyerukan iqamah. Maka, tatkala sampai pada seruan qad qâmati sh-shalâh, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: aqâmahâ llâhu wa adâmahâ; dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab seluruh seruan iqamah.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[93]). Menurut Al-Mundziriy, dalam sanad hadîts ini ada orang yang majhul dan Syahr bin Hausyab sendiri diperselisihkan statusnya.<br /><br />Antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab bagi do’a, karena itu panjatkanlah do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat, dan jika tidak ada keperluan yang mendesak, tetaplah di tempat, jangan keluar dari Masjid. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ واْلإِقَامَةِ. قَالُوْا فَمَاذَا نَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ سَلُوا اللهَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ<br /><br />“Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak. Mereka (para shahabat yang mendengar sabda beliau e itu pun) bertanya: Apa yang kami mohonkan, Ya Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam? Jawab Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam: Mohonlah kepada Allâh keafiaatan di dunia dan akhirat.” (Bagian pertamanya dikeluarkan oleh Ahmad[94], Abû Dâwûd[95], At-Turmudziy[96] dan An-Nasâ-iy[97]; sedangkan tambahan pertanyaan: fa mâ dzâ naqûlu dan jawabannya dikeluarkan oleh At-Turmudziy[98]). Menurut At-Turmudziy, hadîts ini hasan, dan tambahan tersebut dari yang disampaikan oleh Yahyâ bin Al-Yamâni.<br /><br />مَنْ أَدْرَكَهُ اْلأَذَانُ فِى الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ لَمْ يَخْرُجْ لِحَاجَةٍ وَهُوَ لاَ يُرِيدُ الرّجْعَةَ فَهُوَ مُنَافِقٌ<br /><br />“Barangsiapa yang telah berada di Masjid mendengar adzan, lalu ia keluar bukan karena suatu keperluan mendesak, dan tidak bermaksud kembali lagi, maka ia seorang Munâfiq.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[99]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjaĥ fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa Ibnu Abî Farwaĥ dan ‘Abdu l-Jabbâr bin ‘Umar yang terdapat dalam sanad hadîts ini, dhaîf. Namun demikian, Ath-Thabrâniy dalam Al-Wasith meriwayatkan hadîts yang semakna dengan ini melalui perawi-perawi yang shahîh lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: Koleksi Hadits-Hadits Hukum 2 (Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 2001) “Masalah 196: Keluar Mesjid Sesudah Azan Dikumandangkan”, h.203.<br /><br /># Sesudah menunaikan shalat shubh berjama’ah, hingga matahari terbit isi dengan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />لأَنْ أقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ<br /><br />“Sungguh dudukku bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allâh sejak dari shalat shubh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada membebaskan empat puluh budak keturunan Ismâ’îl.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[100] dan Abû Dâwûd[101]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts Abû Dâwûd ini isnadnya jayyid. Ahmad meriwayatkannya dengan lafaz: adzkaro llâha wa ukabbiruhu wa uhammiduhu wa usabbihuhu wa uhalliluhu (berdzikir kepada Allâh dan bertakbir, bertahmid, bertasbih serta bertahlil kepada-Nya), tanpa menyebut lafaz: min shalâti l-ghadât.<br /><br />Kemudian, hingga matahari naik setengah tombak, sehingga jelas benderang cahayanya (kira-kira 3 jam setelah terbitnya), isilah waktu dengan 4 hal: (1) Meneruskan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur, (2) menuntut Ilmu, (3) melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan sesama dan membahagiakan orang-orang beriman serta turut aktif dalam berbagai usaha meninggikan Kalimatillâh di tengah masyarakat, dan (4) mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ اللهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ وَلاَ حِجَابً يَحْجُبُهُ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ<br /><br />“Tiada seorang pun dari kalian kecuali kelak Allâh akan berbicara kepadanya tanpa penerjemah dan tanpa hijab yang menutupinya. Lalu ia berpaling ke sisi kanannya, maka tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Begitu pula ketika ia berpaling ke sisi kirinya, tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Dan ketika ia berpaling ke muka, maka tidak ada yang ia lihat selain Neraka yang tepat berada di hadapan wajahnya. Karena itu, hindarilah Neraka itu oleh kalian walaupun dengan sebiji kurma dan kalimat thayyibah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[102], Muslim[103], Ahmad[104], Ibnu Mâjjah[105] dan At-Turmudziy[106]). Ini gabungan lafaz dari Muslim dan Al-Bukhâriy. Ahmad, Ibnu Mâjjaĥ dan At-Turmudziy meriwayatkannya dengan lafaz: mani s-tathâ’a min kum an yaqiya wajhahu hurri n-nâra walaw bi syiqqin tamratin wa bi kalimatin thayyibatin fa l yaf’al (barangsiapa sanggup di antara kalian untuk melindungi wajahnya dari panas api Neraka, walau hanya dengan sebiji korma dan dengan kalimah thayyibah, maka lakukanlah). At-Turmudziy menilai hadîts mengenai ini yang diriwayatkannya, hasan shahîh.<br /><br />#<br />--------------------------------------------------------------------------------<br /><br />[1] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud, Bâb ‘Aqidi sy-Syaithân ‘alâ Qâfiyati r-Ra`si idzâ lam Yushalli bi l-Laili; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur ‘Abdullâh bin Yûsuf dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. Dalam Kitâb Bada-i l-Khalqi, Bâb Shifati Iblîs wa Junûdihi; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Ismâ‘îl bin Abî Uwais dari saudaranya dari Sulaimân bin Bilâl dari Yahyâ bin Sa’îd dari Sa’îd bin Al-Musayyab dari Abû Hurairah t.<br /><br />[2] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâbu l-Hitstsi ‘alâ Shalâti l-Waqti wa in Qillat; Muslim menerimanya melalui jalur ‘Amrû An-Nâqid dan Zuhair bin Harb dari Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.<br /><br />[3] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.<br /><br />[4] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî Qiyâmu l-Lail; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah dari Abû Mu’âwiyyah dari Al-A’masy dari Abû Shâlih dari Abû Hurairah t.<br /><br />[5] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Qiyâmi l-Lail; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur ‘Abdullâh bin Yûsuf dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.<br /><br />[6] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Jâmi’u t-Targhîb fî sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.<br /><br />[7] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Karâhatin Ghamasa l-Mu-tawadhdhi-i wa Ghairihi Yadahi l-Masykûki fî Najâsatihâ fî l-Inâ-i Qabla Ghasalahâ Tsalâtsân; Muslim menerimanya melalui jalur Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdhamiy dan Hâmid bin ‘Umar Al-Bakrâwiy dari Bisyr bin Al-Mufadhdhal dari Khâlid dari ‘Abdullâh bin Syaqîq (juga melalui jalur Salamah bin Syabîb dari Al-Hasan bin A’yan dari Ma’qil dari Abû z-Zubair dari Jâbir) dari Abû Hurairah t.<br /><br />[8] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Sufyân dari Az-Zuhriy (juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari Muhammad bin ‘Amrû) dari Abû Salamah (juga melalui jalur ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih, dan dari Az-Zuhriy dari Ibnu l-Musayyab; dan jalur Hawdzah dari ‘Awf dari Muhammad; serta jalur Mûsâ bin Dâwud dari Ibnu Luhai’ah dari Abû z-Zubair dari Jâbir; dan jalur Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Khâlid dari ‘Abdullâh bin Syaqîq; dan jalur Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Is-hâq dan Al-A’raj; juga jalur Wakî’ dari Al-A’masy dari Abû Shâlih dan Abû Razîn; dan jalur Yazîd dari Ibnu Is-hâq dari Mûsâ bin Yassâr; serta jalur Yazîd dari Hisyâm dari Muhammad) dari Abû Hurairah t.<br /><br />[9] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu th-Thahârah wa Sunnanihâ, Bâbu r-Rajuli Yastaiqazhi min Manâmi hi Hal Yadkhulu Yadahu fî l-Inâ-i Qabla an Yaghsilahâ; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy dari Al-Walîd bin Muslim dari Al-Awzâ‘iy dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah bin ‘Abdi r-Rahmân dari Abû Hurairah t; juga melalui jalur Harmalah bin Yahyâ dari ‘Abdullâh bin Wahb dari Ibnu Luhai‘ah dan Jâbir bin Ismâ‘îl dari ‘Uqail dari Ibnu Syihâb dari Sâlim dari Bapaknya.<br /><br />[10] Sunan Ad-Darâmiy: Kitâbu sh-Shalât wa th-Thahârah, Bâb Idzâ Istaiqazha Ahadukum min Manâmihi; Ad-Darâmiy menerimanya melalui jalur Abû Nu’aim dari Ibnu ‘Uyainah dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[11] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâb fî r-Rajuli Yadkhulu Yadahu fî l-Inâ-i Qabla an Yaghsilahâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin ‘Amrû bin As-Sarh dan Muhammad bin Salamah Al-Murâdiy dari Ibnu Wahb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Abû Maryam dari Abû Hurairah t.<br /><br />[12] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a Idzâ Istaiqazha Ahadukum min Manâmihi fa Lâ Yaghmis Yadahu fî l-Inâ-i Hattâ Yaghsilahâ; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Abû l-Walîd Ahmad bin Bakkâr Ad-Dimasyqiy dari Al-Walîd bin Muslim dari Al-Awzâ‘iy dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[13] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Wudhû-i n-Nâ-imi Idzâ Qâma ilâ sh-shalât dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Ta’wîl Qawluhu ‘Azza wa Jalla Idzâ Qumtum ilâ sh-shalât; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Qutaibah bin Sa’îd dari Sufyân (juga, dalam Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Amri bi l-Wudhû-i li n-Nâ-imi l-Mudhtaji’ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Wudhû-i mina n-Nawmi, melalui jalur Ismâ’îl bin Mas’ûd dari Yazîd dari Ma’mar) dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[14] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Wudhû-i n-Nâ-imi Idzâ Qâma ilâ sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Yahyâ dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.<br /><br />[15] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâb Bada-i l-Khalqi, Bâb Shifati Iblîs wa Junûdihi; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Ibrâhîm bin Hamzah dari Ibnu Abî Hâzim dari Yazîd bin ‘Abdillâh dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[16] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Ibtâr fî l-Istintsâr wa l-Istijmâr; Muslim menerimanya melalui jalur Bisyr bin Al-Hakam Al-‘Abdiy dari ‘Abdu l-‘Azîz Ad-Darâwardiy dari Ibnu l-Hâdi dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[17] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb bi Kum Yastantsir; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Muhammad bin Zunbûr Al-Makkiy dari Ibnu Abî Hâzim dari Yazîd bin ‘Abdillâh dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[18] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Abû ‘Ubaidah Al-Haddâd dari Muhammad bin ‘Amrû dari Abû Salamah (juga melalui jalur Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân) dari Abû Hurairah t.<br /><br />[19] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu sh-Shiyâmi l-Awwal, As-Siwâk li sh-Shâ-imi bi l-Ghadâ ti wa DzakaRa Ikhtilâf; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Suwaid bin Nashr dari ‘Abdullâh dari ‘Ubaidillâh bin ‘Amr (juga melalui jalur Ibrâhîm bin Ya’qûb dari Abû Nu’mân dari Hammâd bin Zaid dari ‘Abdu r-Rahmân As-Sirâj) dari Sa’îd bin Abî Sa’îd Al-Maqbariy (juga melalui jalur Muhammad bin Yahyâ dari Bisyr bin ‘Amr dari Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân) dari Abû Hurairah t.<br /><br />[20] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Mâ Jâ-a fî s-Siwâk; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân dari Abû Hurairah t.<br /><br />[21] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu l-Wudhû’; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Muhammad bin Al-Mutsannâ dari Muhammad bin Khâzim (juga, dalam Kitâbu l-Janâ-iz, Bâbu l-Jarîdati ‘alâ l-Qabri, melalui jalur Yahyâ dari Abû Mu’âwiyyah; dan dalam Bâb ‘Adzâbi l-Qabri mina l-Ghîbati wa l-Bawli, melalui jalur Qutaibah dari Jarîr) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[22] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu d-Dalîl ‘alâ Najâsati l-Bawli wa Wujûbi l-Istibrâ-i minhu; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Sa’îd Al-Asyajj, Abû Kuraib Muhammad bin Al-‘Alâْ dan Is-haq bin Ibrâhîm dari Wakî’ (juga melalui jalur Ahmad bin Yûsuf Al-Azadiy dari Mu’allâ bin Asad dari ‘Abdu l-Wâhid) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[23] Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullâh bin ‘Abbâs y; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Abû Mu’âwiyyah dan Wakî’ dari Al-A’masy dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y; juga, dalam Hadîts Abû Umâmah t, melalui jalur Mujâhid Abû l-Mughîrah dari Ma’ân bin Rifâ’ah dari ‘Aliy bin Yazîd dari Al-Qâsim Abû ‘Abdu r-Rahmân dari Abû Umâmah t.<br /><br />[24] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu th-Thahârah wa Sunnanihâ, Bâbu t-Tasydîdi fî l-Bawli; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah dari Abû Mu’âwiyyah dan Wakî’ dari Al-A’masy dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[25] Sunan Ad-Darâmiy: Kitâbu sh-Shalât wa th-Thahârah, Bâbu l-IttIqâ-i mina l-Bawli; Ad-Darâmiy menerimanya melalui jalur Al-Mu’allâ bin Asad dari ‘Abdu l-Wâhid bin Ziyâd dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[26] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Istibrâ-i mina l-Bawli; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Zuhair bin Harb dan Hannâd bin As-Sariy dari Wakî’ dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus (juga melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Jarîr dari Manshûr dari Mujâhid) dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[27] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a t-Tasydîdi fî l-Bawli; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Hannâd, Qutaibah dan Abû Kuraib dari Wakî’ dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[28] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu t-Tanzihi ‘ani l-Bawli; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Hannâd bin As-Sariy dari Wakî’ (juga, dalam Kitâbu th-Thahârah, Bâb Wadh’i l-Jarîdah ‘alâ l-Qabri, melalui jalur Hannâd bin As-Sariy dari Abû Mu’âwiyyah) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[29] Musnad Ahmad: Hadîts As-Sayyidatu ‘Âîsyah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Aswad bin ‘Âmir, Wakî’ dan Hisyâm dari Syarîk (juga melalui jalur Yahyâ bin Âdam dari Hasan) dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[30] Sunan Ibnu Mâjjah: Abwâbu t-Tayammum, Bâb fî l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, ‘Abdullâh bin ‘Âmir bin Zurârah dan Ismâ’îl bin Mûsâ As-Saddiy dari Syarîk dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[31] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Ismâ’îl bin Mûsâ dari Syarîk dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[32] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Tarki l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Ahmad bin ‘Utsmân bin Hakîm dari Bapaknya dari Al-Hasan (juga melalui jalur ‘Amrû bin ‘Aliy dari ‘Abdu r-Rahmân dari Syarîk) dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[33] Hadîts riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al-Hâkim ini terdapat dalam Kitâb “Subulu s-Salâm Syarh Bulûghi l-Marâm min Jami’ Adillati l-Ahkâm” karya Ash-Shan’âniy, tanpa menyebutkan sanadnya, dari Ibnu ‘Abbâs y.<br /><br />[34] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu dz-Dzikri l-Mustahabbi ‘Iqabi l-Wudhû-i; Muslim menerimanya melalui jalur Muhammad bin Hâtim bin Maymûn dari ‘Abdu r-Rahmân bin Mahdiy dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair, dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.<br /><br />[35] Musnad Ahmad: Hadîts ‘Uqbah bin ‘Âmir t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân dari Mu’âwiyyah dari Rubai’ah dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.<br /><br />[36] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Yaqûlu r-Rajuli Idzâ Tawadha-a; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin Sa’îd Al-Mahdâniy dari Ibnu Wahb dari Mu’â wiyyah bin Shâlih dari Abû ‘Utsmân (juga, dalam Bâb Karâhiyati l-Waswasah wa Hadîtsi n-Nafsi fî sh-Shalât, melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Zaid bin Al-Hubâb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy) dari Jubair bin Nufair dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.<br /><br />[37] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Tsawâbu Man Ahsana l-Wudhû-a Tsumma Shallâ Rak’ataini; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Mûsâ bin ‘Abdi r-Rahmân dari Zaid bin Hubâb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd Ad-Dimasyqiy dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair, dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.<br /><br />[38] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud, Bâb Ta’âhudi Raka’atayi l-Fajr wa Man Sammâhumâ Tathawwu’ân; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Bayân bin ‘Amrû dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[39] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirína wa Qashrahâ, Bâb Istihbâbi Raka’atayi Sunnati l-Fajr wa l-Hitstsi ‘Alaihimâ; Muslim menerimanya melalui jalur Zuhair bin Harb dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[40] Musnad Ahmad: Hadîts As-Sayyidatu ‘Âîsyah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yahyâ bin Sa’îd, ‘Abdu r-Razzâq dan Ibnu Bakr dari (juga langsung melalui) Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[41] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Raka’atayi l-Fajr; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Musaddad dan Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[42] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu s-Shalât, Bâbu l-Mu’âhadati ‘alâ r-Raka’ataini Qabla Shalâti l-Fajr; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Ya’qûb bin Ibrâhîm dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[43] Musnad Ahmad: Hadîts Qais bin ‘Amrû t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Razâq dari Ibnu Juraij dari ‘Abdullâh bin Sa’îd dari Kakeknya.<br /><br />[44] Musnad Ahmad: Hadîts ‘Imrân bin Hushain t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yazîd dari Hisyâm dan Rawah dari Al-Hasan dari ‘Imrân bin Hushain t.<br /><br />[45] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb fî Man Nâmi ‘an Shalâtin aw Nasîhâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Wahb bin Baqiyyah dari Khâlid dari Yûnus bin ‘Ubaid dari Al-Hasan dari ‘Imrân bin Hushain t.<br /><br />[46] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu l-Mawâqît, Bâb Kaifa Yaqdhiya l-Fâ-itu mina sh-Shalâti; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Hannâd bin As-Sirriy dari Abû l-Ahwash dari ‘Athâ` bin As-Sâ-ib dari Buraida bin Abî Maryam dari Bapaknya.<br /><br />[47] Musnad Ahmad: Musnad ‘Umar bin Al-Khaththâb t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Hâsyim bin ‘Amrû Al-Bajaliy dari ‘Umar bin Al-Khaththâb t.<br /><br />[48] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirína wa Qashrahâ, Bâb Shalâti l-Lail wa ‘Iddadu Raka’âti n-Nabiyy; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, Nashr bin ‘Aliy dan Ibnu Abî ‘Umar dari Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû An-Nadhr dari Abû Salamah dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[49] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâbu Idhtijâ’i Ba’dihâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Musaddad dari Sufyân dari Zayâd bin Sa’d dari Ibnu Abî ‘Attâb dari Abû Salamah dari ‘Âîsyah t.<br /><br />[50] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu l-Adzân, Bâb Qawli r-Rajuli fa Atatnâ sh-Shalât dan Kitâbu l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ l-Jamâ’ah; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Âdam dari Ibnu Abî Dzi’b dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t. Dalam Kitâbu l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ l-Jamâ’ah; Al-Bukhâriy juga menerimanya tanpa melalui Âdam, tetapi langsung dari Ibnu Abî Dzi’b.<br /><br />[51] Shahîh Muslim: Kitâbu l-Masâjid wa Mawâdhi’i sh-Shalât, Bâb Istihbâbi Ityâni sh-Shalât bi WIqârin wa Sakînatin wa n-Nahyi ‘an Ityânahâ Sa’iyyân; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, ‘Amrû An-Nâqid dan Zuhair bin Harb dari Sufyân bin ‘Uyainah (juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far bin Ziyâd dari Ibrâhîm bin Sa’d) dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah (juga melalui jalur Yahyâ bin Ayyûb, Qutaibah bin Sa’îd dan Ibnu Hujr dari Ismâ’îl bin Ja’far dari Al-‘Alâ` dari Bapaknya; dan jalur Muhammad bin Râfi’ dari ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih) dari Abû Hurairah t.<br /><br />[52] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih (juga dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab; juga melalui jalur Hajjâj dari Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah; dan jalur ‘Abdu r-Rahmân, Is-hâq dan ‘Utsmân bin ‘Umar dari Mâlik dari Al-A’lâ` bin ‘Abdi r-Rahmân bin Ya’qûb dari Bapaknya dan Is-hâq bin ‘Abdillâh; juga jalur Wakî’ dan ‘Abdu r-Rahmân dari Sufyân Al-Ma’aniy dari Sa’d bin Ibrâhîm dari ‘Amrû bin Salamah) dari Abû Hurairah t; juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari ‘Awf dari Al-Hasan.<br /><br />[53] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu l-Masâjid wa l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ sh-Shalât; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Muhammad bin ‘Utsmân dari Ibrâhîm bin Sa’d dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[54] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâbu l-Sa’iyyi ilâ sh-Shalât; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin Shâlih dari ‘Anbasah dari Yûnus dari Ibnu Syihâb dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[55] Jâmi’u t-Turmudziy: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Masy-yi ilâ l-Masjid; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Muhammad bin ‘Abdi l-Malik bin Abî sy-Syawârib dari Yazîd bin ZuRay’i dari Ma’mar dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t.<br /><br />[56] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî n-Nidâ-i sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Al-A’lâْ bin ‘Abdi r-Rahmân bin Ya’qûb dari Bapaknya dan Is-hâq bin ‘Abdillâh dari Abû Hurairah t.<br /><br />[57] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Hadyi fî l-Masy-yi ilâ sh-Shalât; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Muhammad bin Sulaimân Al-Anbâriy dari ‘Abdu l-Malik bin ‘Amrû dari Dâwud bin Qais dari Sa’d bin Ish-hâq dari Abû Tsumâmah Al-Hannâth dari Ka’b bin ‘Ujrah t.<br /><br />[58] Jâmi’u t-Turmudziy: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî Karâhayati t-Tasybîki Bayna l-Ashâbi’i fî sh-Shalât; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Qutaibah dari Al-Laits bin Sa’d dari Ibnu ‘Ajlân dari Sa’îd Al-Maqburiy dari Seorang Rijal dari Ka’b bin ‘Ujrah t.<br /><br />[59] Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullâh bin ‘Umar y; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Muhammad bin Yazîd dari Al’Awwâm bin Hawsyab dari Habîb bin Abî Tsâbit dari ‘Abdullâh bin ‘Umar y.<br /><br />[60] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî lKhurûjin n-Nisâ-a ilâ l-Masjid; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Yazîd bin Hârûn dari Al’Awwâm bin Hawsyab dari Habîb bin Abî Tsâbit dari ‘Abdullâh bin ‘Umar y.<br /><br />[61] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yahyâ dan Muhammad bin ‘Ubaid dari M<br /><br /><div style="text-align: right;">Sumber : perpustakaan-islam.com<br /></div></div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-78335268500169661132008-01-25T10:08:00.000+08:002008-01-25T10:11:49.875+08:00Tips Meredam Marah<div style="text-align: justify;">Menahan marah bukan pekerjaan gampang, sangat sulit untuk melakukannya. Ketika ada orang bikin gara-gara yang memancing emosi kita, barangkali darah kita langsung naik ke ubun-ubun, tangan sudah gemetar mau memukul, sumpah serapah sudah berada di ujung lidah tinggal menumpahkan saja, tapi jika saat itu kita mampu menahannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang kuat.<br /><br />Cara-cara meredam atau mengendalikan kemarahan:<br /><i> </i><br /><i>1. Membaca Ta'awwudz. Rasulullah bersabda Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk (H.R. Bukhari Muslim). </i><br /><i> </i><br /><i>2. Berwudlu. Rasulullah bersabda Kemarahan itu itu dari syetan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah (H.R. Abud Dawud). </i><br /><i> </i><br /><i>3. Duduk. Dalam sebuah hadist dikatakanKalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah (H.R. Abu Dawud). </i><br /><i> </i><br /><i>4. Diam. Dalam sebuah hadist dikatakan Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah (H.R. Ahmad). </i><br /><i> </i><br /><i>5. Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuahhadist dikatakan Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud). (H.R. Tirmidzi)</i> </div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-6981841315614275732008-01-23T11:15:00.000+08:002008-01-23T11:16:39.049+08:00Disunnahkan memakai jam tangan di tangan kanan<div style="text-align: justify;"><b>Syaikh Al-Bany ditanya:</b><br />Kami melihat sebagian orang memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu sunnah, apa dalilnya?<br /><br /><b>Jawaban:</b><br />Kami berpegang teguh dalam masalah ini dengan kaidah umum yang terdapat dalam hadits Aisyah di dalam Ash Shahih, ia berkata:<br /><i> </i><br /><i>Rasulullah menyukai menggunakan (mendahulukan) kanan dalam segala sesuatu, yaitu ketika bersisir, bersuci, dan dalam setiap urusan.</i><br /><br />Dan kami tambahkan dalam hal ini, hadits lain yang diriwayatkan dalam Ash Shahih, bahwa beliau bersabda:<br /><br /><i>Sesungguhnya Yahudi tidak mencelup (menyemir) rambut-rambut mereka, karena itu berbedalah dengan mereka, dengan cara menyemir rambut kalian.</i><br /><br />Juga hadits-hadits yang lain yang di dalamnya terdapat perintah untuk berbeda dengan musyrikin.<br /><br />Maka dari hadits-hadits tersebut dapat kami simpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam membedakan diri dengan orang-orang kafir.<br /><br />Dan sepatutnyalah untuk kita ingat bahwa membedakan diri dari orang kafir, mengandung arti bahwa kita dilarang mengikuti adat kebiasaan mereka. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai orang kafir, dan sudah selayaknya bagi kita wntuk selalu tampil beda dengan orang-orang kafir.<br /><br />Di antara adat kebiasaan orang kafir adalah memakai jam tangan di tangan kiri, padahal kita mendapatkan pintu yang teramat luas di dalam syariat untuk menyelisihi adat ini. Walhasil mengenakan jam tangan di tangan kanan merupakan pelaksanaan kaidah umum, yaitu (mendahulukan) yang kanan, dan juga kaidah umum yang lain yaitu membedakan diri dengan orang-orang kafir.<br /><br />Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah</div>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-20811472140273188432008-01-23T11:03:00.000+08:002008-01-23T11:09:38.005+08:00Banyak amal tetapi banyak dosa<table border="0" cellpadding="3" cellspacing="2" width="100%"><tbody><tr><td><table cellpading="0" align="center" cellspacing="0" width="90%"><tbody><tr align="center"><td><span class="smalltype">Sebagian manusia telah menganggap remeh atas dosa-dosa mereka, mereka menganggap bahwa kebaikan-kebaikan mereka sudah terlalu banyak sehingga akan menenggelamkan dosa-dosa yang mereka lakukan. Padahal jika seseorang meremehkan dosa-dosa, maka sungguh ia telah terpedaya oleh syaitan</span></td></tr> </tbody></table> </td></tr> <tr><td class="tengahtop"><br /></td></tr> <tr><td><div align="justify">Sebagian manusia telah menganggap remeh atas dosa-dosa mereka, mereka menganggap bahwa kebaikan-kebaikan mereka sudah terlalu banyak, mereka menganggap bahwa amalan-amalan shalih mereka sudah begitu melimpah sehingga pahala yang mereka kumpulkanpun sudah begitu menggunung. Mereka menganggap bahwa shalat malamnya, puasa senin kamisnya, haji dan umrahnya, infaqnya dan seterusnya dari amalan-amalan shalih yang mereka kerjakan akan seperti lautan yang akan menenggelamkan dosa-dosa yang mereka lakukan. Jika seseorang menganggap remeh suatu dosa, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah terpedaya oleh syaitan, walaupun mereka telah banyak beramal dengan amalan-amalan ketaatan.<br /><br />Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...<br />Allah ta'ala memberikan permisalan tentang orang yang telah mengumpulkan banyak kebaikan akan tetapi nanti di akhirat, amalan kebaikan yang diandalkannya tidak dapat banyak bermanfaat, Allah berfirman<div align="right"><span style="font-size:130%;"><br />أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ<br /><br /></span> </div><i>”Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (QS. Al-Baqarah:266)</i><br /><br />Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma ketika menjelaskan ayat di atas, beliau mengilustrasikan dengan orang kaya yang beramal karena taat kepada Allah, kemudian Allah mengutus setan padanya, lalu orang itu melakukan banyak kemaksiatan sehingga amal-amalnya terhapus (Tafsir Ibnu Katsier)<br /><br />Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...<br />Janganlah sekali-kali kita meremehkan dosa karena kita menganggap sudah mempunyai amal kebaikan yang banyak. Ketahuilah wahai saudaraku bahwa belum tentu amal kebaikan yang kita kerjakan dihitung sebagai amal shaleh di sisi Allah, apakah karena kita tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, amal kebaikan juga akan dapat terhapus dengan kemaksiatan-kemaksiatan.<br /><br />Tsauban radhiaallahu'anhu meriwayatkan sebuah hadits yang dapat membuat orang-orang shalih susah tidur dan selalu mengkhawatirkan amal-amal mereka. Tsauban radhiaallahu'anhu berkata, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda<div align="right"><span style="font-size:130%;"><br />لأعلمن أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة بيضا فيجعلها الله هباء منثورا . قال ثوبان : يا رسول الله صفهم لنا جلهم لنا أن لا نكون منهم و نحن لا نعلم ، قال : أما إنهم إخوانكم و من جلدتكم و يأخذون من الليل كما تأخذون و لكنهم أقوام إذا خلو بمحارم الله انتهكوها<br /><br /></span> </div><i>Aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari Kiamat nanti, ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung di Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikannya seperti kapas berterbangan, Tsauban bertanya, Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami siapa mereka itu agar kami tidak seperti mereka sementara kami tidak mengetahui!, Beliau bersabda, Mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian, mereka juga bangun malam seperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, mereka melakukannya (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Silsilatul Ahaadits Shahihah No,505)</i><br /><br />Saudaraku, masihkah kita merasa bangga dengan amal-amal kita kemudian berbuat dosa dan menganggap bahwa dosa kita akan tenggelam dalam lautan amalan shalih kita.<br /><br />Maka wajib bagi kita untuk senantiasa bersabar, bersabar dan bersabar. Sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menjauhi dosa-dosa.<br /><br />Semoga Allah merahmati Imam Ahmad yang mengatakan bahwa sabar adalah terus menerus sampai seseorang menapakkan kakinya di Surga kelak.<br /><br />Ketika seseorang bertanya kepada Abu Hurairah radhiallahu'anhu tentang makna takwa, Abu Hurairah kemudian bertanya kepada orang tersebut, Apakah engkau pernah melewati jalan yang berduri? Ia menjawab, Ya pernah. Abu Hurairah bertanya lagi, Apa yang engkau lakukan, Ia menjawab, Jika aku melihat duri maka aku menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya, Abu Hurairah berkata, Seperti itulah takwa<br /><br />Maka bukanlah dikatakan takwa jika seseorang sengaja menerjang rambu-rambu syariat, mengerjakan apa-apa yang diharamkan oleh Allah atau meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.<br /><br />Kemudian kita juga harus takut karena kita tidak tau kapan ajal akan menjemput! Kalau kita amati disekitar kita, maka kita dapati bahwa jumlah manula lebih sedikit daripada orang muda dan anak-anak, hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan manusia meninggal dalam usia muda, maka waspadalah!<br /><br />Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...<br />Terakhir saudaraku, hendaknya kita senantiasa bertakwa dan tidak meremehkan dosa-dosa agar kita tidak seperti yang digambarkan dalam ayat dan hadits di atas, semoga Allah menjadikan kita nanti, termasuk yang diseru dalam firman-Nya<div align="right"><span style="font-size:130%;"><br />يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً * فَادْخُلِي فِي عِبَادِي * وَادْخُلِي جَنَّتِي<br /></span> </div><br /><i>Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, Maka masuklah ke dalam Surga-Ku (Al-Fajr: 27-30)</i><br /><br />Referensi<br />1. Tafsir Ibnu Katsier<br />2. Silsilatul Ahaadits Shahihah, Syaikh Al-Bany<br />3. Jami' ulumul wal hikam, Ibnu Rajab<br /><br /><div style="text-align: right;">Sumber : perpustakaan-islam.com<br /></div> </div></td></tr></tbody></table>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-20942770338965021942008-01-23T11:00:00.000+08:002008-01-23T11:13:40.065+08:00MELURUSKAN PEMAHAMAN KELIRU TENTANG WAHHABI<span style="font-size:100%;"><b>Oleh: Shalih bin Abdul Aziz As Sindi<br /><br /></b></span><span style="font-size:100%;"><span>Semenjak berlalunya tahun-tahun yang panjang, dalam kurun waktu yang lama, kontroversi tentang </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>dan dakwahnya masih terus berjalan. Antara yang mendukung dan yang menentang, atau yang menuduh dan yang membela.</span><br /></span><p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Yang perlu diperhatikan mengenai ucapan orang-orang yang menentang Syaikh yang melontarkan kepada beliau dengan bebagai tuduhan, bahwa perkataan mereka tak disertai dengan bukti. Apa yang mereka tuduhkan tidak mempunyai bukti dari perkataan Syaikh, atau didasarkan pada apa yang telah ditulis dalam kitabnya, tapi hanya sekedar tuduhan yang dilontarkan oleh pendahulu mereka, kemudian diikuti oleh orang setelahnya.</span></span><span id="more-650" style="font-size:100%;"></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;">Saya yakin tak ada seorangpun yang berfikir obyektif kecuali dia mengakui bahwa cara terbaik untuk mengetahui fakta yang sebenarnya adalah dengan melihat kepada yang bersangkutan, kemudian mengambil informasi langsung dari apa yang telah disampaikannya.</span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Kitab-kitab </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh dapat kita temui, perkataan-perkataannya pun juga masih terjaga. Dengan mengacu kepada itu semua akan terbukti apakah isu-isu tersebut benar atau salah. Adapun tuduhan-tuduhan yang tidak disertai dengan bukti hanyalah fatamorgana yang tak ada kenyataanya.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Dalam artikel ini</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, berisi catatan-catatan ringan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb dengan amanah dinukil dari kitab-kitabnya yang valid. Saya telah mengumpulkannya dan yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar menyusun.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Catatan berisi jawaban-jawaban langsung dari Syaikh tehadap tuduhan-tuduhan kepada beliau yang dilancarkan oleh para penentangnya dengan jelas ditepisnya segala apa yang dituduhkan. </span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Saya yakin –dengan taufiq dari </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ- hal itu cukup untuk menjelaskan kebenaran bagi siapa yang benar-benar mencarinya.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Adapun yang membangkang terhadap Syaikh dan dakwahnya, senang menyebarkan kedustaaan dan kebohongan, perlu saya katakan kepada mereka : kasihanilah dirimu sesungguhnya kebenaran akan jelas, agama Allôh akan menang dan matahari yang bersinar terang tak akan bisa ditutupi dengan telapak tangan.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Inilah perkataan Syaikh menjawab tuduhan-tuduhan tersebut, kalau Anda mendapatkan perkataan Syaikh yang mendustakannya maka tampakkan dan datangkanlah jangan Anda sembunyikan…..! Namun kalau tidak –dan Anda tidak akan mendapatkannya- maka saya menasehati Anda dengan satu hal : hendaklah Anda menghadapkan diri kepada Allôh dengan menanggalkan segala hawa nafsu dan fanatisme, sembari memohon kepada-Nya untuk memperlihatkan </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>al haq </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>dan membimbingmu kepadanya, kemudian Anda fikirkan apa yang telah dikatakan oleh orang ini (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), apakah dia membawa sesuatu yang bukan dari firman Allôh dan sabda Rasul-Nya </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>?</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Lalu fikirkan sekali lagi: apakah ada jalan keselamatan selain perkataan yang benar dan membenarkan </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>al haq</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>?</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Bila telah tampak bagi Anda kebenaran maka kembalilah kepada akal sehat, menujulah kepada </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>al haq</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>, sesungguhnya hal itu lebih baik dari pada terus menerus berada dalam kebatilan, hanya kepada Allôh saja segala perkara dikembalikan.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>HAKEKAT DAKWAH </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span><b>SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB</b></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Sebagai permulaan pembahasan</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, akan lebih baik kalau kita menukil beberapa perkataan ringkas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>dalam menjelaskan apa yang beliau dakwahkan, jauh dari yang awan gelap propaganda yang dilancarkan para penentangnya, yang mereka menghalangi kebanyakan manusia agar jauh dari dakwah tersebut. Beliau mengatakan :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Aku katakan –hanya bagi Allôh segala puji dan karunia dan dengan Allôh segala kekuatan- : sesungguhnya Tuhanku telah menunjukkanku ke jalan yang lurus, agama lurus agama Ibrahim yang </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>hanif </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>dan dia tidak termasuk orang-orang musyrik. Dan aku –Alhamdulillâh-, tidak mengajak kepada madzhab salah seorang sufi, ahli fikih, filosof, atau salah satu imam-imam yang aku muliakan…..</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Aku hanya mengajak kepada Allôh Yang tiada sekutu bagi-Nya, aku mengajak kepada sunnah Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>yang beliau menasehatkan ummatnya dari yang awal sampai yang akhir untuk selalu mengikutinya. Aku memohon semoga aku tidak menolak segala kebenaran bila telah sampai kepadaku, bahkan aku persaksikan kepada Allôh, para malaikat dan semua makhluk-Nya, siapapun diantara kalian yang menyampaikan kebenaran kepadaku, pasti akan aku terima dengan sepenuh hati, dan aku akan memukulkan ke tembok setiap perkataan para imamku yang bertentangan dengan kebenaran, kecuali Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>karena beliau tidak mengatakan kecuali kebenaran”. (</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Ad Durarus Saniyyah: jilid 1, hal: 37,38</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>).</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Dan aku –segala puji hanya milik Allôh-, hanyalah mengikuti, bukan mengada-ada”. (</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Mu’allafât Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, jilid 5, hal: 36</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>).</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Gambaran mengenai permasalahan yang sebenarnya adalah aku katakan : tidak ada yang boleh dipinta dengan doa kecuali Allôh saja tiada sekutu bagi-Nya, sebagaimana Allôh berfirman :</span></span></p> <p dir="rtl" style="margin-left: 0.04cm; margin-right: 1.23cm; margin-top: 0.21cm;" align="center"> <span style="font-size:100%;"><b>فَلَا</b></span><span style="font-size:100%;"><b> تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا</b></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:100%;" > </span><span style="font-size:100%;"><span>((…</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i> maka janganlah kamu berdoa kepada seorangpun bersamaan dengan Allôh</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>)) </span></span><span style="font-size:100%;"><span>(Q.S. Al Jin : 18).</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Allôh</span></span><span style="font-size:100%;"><span> juga berfirman berkaitan dengan hak Nabi-Nya :</span></span></p> <p dir="rtl" style="margin-left: 0.04cm; margin-top: 0.21cm;" align="center"> <span style="font-size:100%;"><b>قُلْ</b></span><span style="font-size:100%;"><b> إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا</b></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:100%;" > </span><span style="font-size:100%;"><span>((</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Katakanlah : “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan-pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan”</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>)).</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i> </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>((Q.S. Al Jin : 21)</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Demikianlah firman Allôh dan apa yang disampaikan dan diwasiatkan Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>kepada kita, ….. inilah antaraku denganmu, kalau ada yang menyebutkan tentangku di luar daripada itu, maka itu adalah dusta dan kebohongan”. (Ad Durarus Saniyyah : 1/90-91).</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>MASALAH PERTAMA : </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span><b>I’TIQAD BELIAU TENTANG NABI </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span><b>SHALLÂLLÂHU ‘ALAIHI WA SALLAM</b></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh</span></span><span style="font-size:100%;"><span> Muhammad bin Abdul Wahhâb difitnah para musuhnya dengan berbagai tuduhan keji berkaitan dengan i’tiqadnya terhadap Nabi </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, tuduhan itu berupa :</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>Pertama : </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span>beliau tidak menyakini bahwa Nabi </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>adalah nabi penutup.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;">Dikatakan demikian, padahal semua kitab-kitab beliau penuh berisi tentang bantahan terhadap syubhat itu. Berikut ini menunjukkan kebohongan tuduhan tersebut, diantaranya dalam perkataan beliau :</span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Aku beriman bahwa Nabi kita Muhammad </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>adalah penutup para nabi dan rasul. Tidak akan sah iman seorang hamba pun sampai dia beriman dengan diutusnya beliau serta bersaksi akan kenabiannya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 32)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Makhluk paling beruntung, paling agung kenikmatannya dan pa</span></span><span style="font-size:100%;"><span>ling tinggi derajatnya adalah yang paling tinggi dalam mengikuti dan mencocoki beliau (Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>) dalam ilmu dan amalannya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:32)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>Kedua </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span>: Dia telah menghancurkan hak Nabi </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, tidak meletakkan beliau pada kedudukannya yang pantas.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Untuk melihat hakikat beliau sebagai tertuduh, saya nukilkan sebagian perkataan yang telah beliau tegaskan berkaitan dengan apa yang diyakini tentang hak Nabi </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, beliau berkata :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Tatkala Allôh berkehendak menampakkan tauhid dan kesempurnaan agama-Nya, agar kalimat-Nya tinggi dan seruan orang-orang kafir adalah rendah, Allôh mengutus Muhammad </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>sebagai penutup para nabi dan kekasih Tuhan semesta alam. Beliau terus menerus dikenal dalam setiap generasi, bahkan dalam Taurat dan Injil telah disebutkan, sampai akhirnya Allôh mengeluarkan mutiara itu, antara Bani Kinanah dengan Bani Zuhrah. Maka Allôh mengutusnya pada saat terhentinya pengutusan para rasul, lalu menunjukkannya kepada jalan yang lurus. Beliau mempunyai tanda-tanda dan petunjuk tentang kebenaran kenabian sebelum diangkat menjadi nabi, yang tanda-tanda tersebut tidak terkalahkan oleh orang-orang yang hidup pada masanya. Allôh membesarkan beliau dengan baik, mempunyai kehormatan tertinggi pada kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling mulia, paling lembut dan paling benar dalam berucap, akhirnya kaumnya memberikan julukan dengan Al Amîn, karena Allôh telah menciptakan pada beliau keadaan-keadaan bagus dan budi pekerti yang diridhai-Nya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 90-91).</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Dan beliau adalah pemimpin para pemberi syafa’at, pemilik </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Al Maqômul Mahmūd </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(kedudukan hamba yang paling mulia di hari kiamat), sedang Nabi Adam </span></span><span style="font-size:100%;"><span>‘Alaihis Salâm</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>dan orang-orang sesudahnya akan berada di bawah panjinya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 86).</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Utusan yang pertama adalah Nabi Nuh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>‘Alaihis Salâm</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>dan yang paling akhir serta paling mulia adalah Muhammad </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>“. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:143)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Beliau telah menyampaikan penjelasan dengan cara terbaik dan paling sempurna, manusia yang paling menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Allôh, belas kasih terhadap orang-orang yang beriman, telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad di jalan Allôh dengan sebenar-benarnya jihad dan terus menerus menyembah Allôh sampai beliau wafat. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:21).</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh</span></span><span style="font-size:100%;"><span> Muhammad bin Abdul Wahhâb </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>juga mengambil kesimpulan dari sabda Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>:</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:100%;" >“</span><span style="font-size:100%;"><span>Tidaklah </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>sempurna iman salah seorang diantara kamu sampai aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan semua manusia</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>”. </span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Beliau mengata</span></span><span style="font-size:100%;"><span>kan : </span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Kewajiban mencintai </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>melebihi cinta terhadap diri sendiri, keluarga maupun harta”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Kitabut Tauhid, hal : 108)</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>Ketiga : </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span>mengingkari syafâ’at Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh</span></span><span style="font-size:100%;"><span> berkenan menjawab syubhat ini, beliau mengatakan : </span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Mereka menyangka bahwa kami mengingkari </span></span><span style="font-size:100%;"><span>syafâ’at Nabi </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>? Maha suci Engkau Allôh, ini sungguh ini adalah dusta yang besar. Kami mempersaksikan kepada Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>bahwa Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>adalah pemberi syafâ’at dan diberi kekuasaan oleh Allôh untuk memberi syafâ’at, pemilik </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Al-Maqômul Mahmūd</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>. Kita meminta kepada Allôh Yang Maha Mulia, Tuhan </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Arsy </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>yang agung untuk memberikan syafâ’at kepada beliau untuk kita, dan mengumpulkan kita di bawah panjinya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 63-64)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh</span></span><span style="font-size:100%;"><span> telah menjelaskan sebab penyebaran propaganda dusta ini, beliau berkata: </span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Mereka itu ketika aku sebutkan apa yang telah disebutkan </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Allôh dan Rasul-Nya </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>serta semua ulama dari semua kelompok, tentang perintah untuk ikhlâsh beribadah kepada Allôh, melarang dari menyerupakan diri dengan Ahlul Kitab sebelum kita yang mereka itu menjadikan ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allôh, mereka mengatakan : kamu merendahkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali!”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 50)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"> </p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><b>MASALAH KEDUA : TENTANG AHLUL BAIT</b></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Termasuk tuduhan yang diarahkan kepada </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh : beliau tidak mencintai Ahlul Bait Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>dan menghancurkan hak mereka.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;">Jawaban atas pernyataan ini :</span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Apa yang dikatakan itu bertentangan dengan kenyataan, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>mengakui akan hak mereka untuk dicintai dan dimuliakan. Beliau konsisten dengan hal ini bahkan mengingkari orang yang tidak seperti itu. Beliau </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>berkata :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Allôh telah mewajibkan kepada manusia berkaitan dengan hak-hak terhadap </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ahlul bait</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>. Tidak boleh bagi seorang muslim menjatuhkan hak-hak mereka dengan mengira ini termasuk tauhid, padahal hal itu adalah perbuatan yang berlebih-lebihan. Kita tidak mengingkari kecuali apa yang mereka lakukan berupa penghormatan terhadap </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ahlul bait </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>disertai dengan keyakinan mereka pantas untuk disembah, atau penghormatan terhadap mereka yang mengaku dirinya pantas disembah”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Mu’allâfat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, jilid 5, hal:284)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Dan bagi siapa saja yang mau memperhatikan biografi </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb akan membuktikan apa yang telah dia katakan. Cukuplah diketahui beliau telah menamai enam dari tujuh putranya dengan nama para </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ahlul bait </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>yang mulia –semoga Allôh merahmati mereka. Keenam putra itu adalah : Alî, Abdullâh, Husain, Hasan, Ibrâhîm dan Fâthimah. Ini merupakan bukti yang jelas menunjukkan betapa besar kecintaan dan penghargaannya terhadap </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ahlul bait.</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><b>MASALAH KETIGA : KAROMAH PARA WALI</b></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Beredar isu di kalangan orang bahwa </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb mengingkari karomah para wali.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Menepis kebohongan ini, di beberapa tempat Syaikh </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>telah merumuskan aqidah beliau yang tegas berkaitan dengan masalah ini, berbeda jauh dengan apa yang selama ini tersebar. Diantaranya terdapat di dalam sebuah perkataannya tatkala beliau menerangkan tentang akidah beliau :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Dan aku meyakini tentang karomah para wali”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;">Bagaimana mungkin beliau dituduh dengan tuduhan tersebut, padahal dia mengatakan bahwa orang yang mengingkari karomah para wali adalah ahli bid’ah dan kesesatan, beliau berkata:</span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Dan tidak ada seorangpun mengingkari karomah para wali kecuali dia adalah ahli bid’ah dan kesesatan”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Mu’allâfat asy-Syaikh</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i> Muhammad bin Abdul Wahhâb, jilid 1, hal: 169)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>MASALAH KEEMPAT : </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i><b>TAKFIR</b></i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Termasuk perkara terbesar yang disebarkan berkenaan dengan </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh dan orang-orang yang mencintainya adalah dikatakan mengkafirkan khalayak kaum muslimin dan pernikahan kaum muslimin tidak sah kecuali kelompoknya atau yang hijrah kepadanya.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh</span></span><span style="font-size:100%;"><span> telah menepis syubhat ini di beberapa tempat, diantara pada perkataan beliau :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Pendapat orang bahwa saya mengkafirkan secara umum adalah termasuk kedustaan para musuh yang menghalangi manusia dari agama ini, kita katakan : Maha Suci Engkau Allôh, ini adalah kedustaan besar”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 100)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Mereka menisbatkan kepada kami berbagai macam kedustaan, fitnah pun semakin besar dengan mengerahkan terhadap mereka pasukan syetan yang berkuda maupun yang berjalan kaki. Mereka menebarkan berita bohong yang seorang yang masih mempunyai akal merasa malu untuk sekedar menceritakannya apalagi sampai tertipu. Diantaranya apa yang mereka katakan bahwa aku mengkafirkan semua manusia kecuali yang mengikutiku dan pernikahan mereka tidak sah. Sungguh suatu keanehan, bagaimana mungkin perkataan ini bisa masuk kedalam pikiran orang waras. Dan apakah seorang muslim akan mengatakan seperti ini?</span></span><span style="font-size:100%;"><span> Aku berlepas diri kepada Allôh dari perkataan ini, yang tidak bersumber kecuali dari orang yang berpikiran rusak dan hilang kesadarannya. Semoga Allôh memerangi orang-orang yang mempunyai maksud-maksud yang batil”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 80)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Aku hanya mengkafirkan orang yang telah mengetahui agama </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>kemudian setelah dia mengetahuinya lantas mengejeknya, melarang manusia dari memeluk agama tersebut dan memusuhi orang yang berpegang dengannya. Tetapi kebanyakan umat –alhamdulillâh- tidaklah seperti itu”. (Ad Durarus Saniyyah : 1/73)</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><b>MASALAH KELIMA : ALIRAN KHAWARIJ</b></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Sebagian orang ada yang menuduh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb bahwa dia berada di atas aliran khawarij yang mengkafirkan manusia hanya karena kemaksiatan biasa.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Untuk menjawabnya kita ambil dari redaksi perkataan Syaikh </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>sendiri. Beliau </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>rahimahullah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>berkata :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Aku tidak pernah mempersaksikan seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia masuk surga atau masuk neraka kecuali orang yang telah dipersaksikan oleh Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan bagi orang yang berbuat baik, dan mengkhawatirkan orang yang berbuat jahat. Aku tidak mengkafirkan seorang dari kaum muslimin pun hanya karena dosa biasa dan aku tak mengeluarkannya dari agama Islam”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>MASALAH KEENAM : </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i><b>TAJSIM</b></i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Termasuk yang digembar-gemborkan juga tentang </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh adalah beliau dianggap </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>mujassim</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>, yaitu menyerupakan sifat-sifat Allôh dengan sifat-sifat makhluk.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Beliau telah menerangkan keyakinan tentang masalah ini dan sungguh sangat jauh dengan apa yang telah dituduhkan padanya, beliau berkata :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Termasuk beriman kepada Allôh adalah: beriman dengan apa yang Allôh sifati terhadap Dzat-Nya di dalam kitab-Nya, atau melalui sabda Rasul-Nya </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, tanpa adanya </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>tahrif </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(merubah teks maupun makna dari nash aslinya) ataupun </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ta’thil </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(menafikan sebagian atau semua sifat-sifat Allôh yang telah Allôh tetapkan terhadap diri-Nya)</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>, </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>bahkan aku beri’tikad bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka aku tidak menafikan dari Allôh sifat yang telah Dia tetapkan terhadap diri-Nya, aku tidak merubah perkataan Allôh dari tempat-tempatnya, aku tidak menyimpang dari kebenaran dalam nama dan sifat-sifat Allôh. Aku tidak menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat-sifat Allôh dan juga tidak menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk, karena Dia Maha Suci, tiada yang menyamai, tiada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki tandingan dan tidak pantas diukur dengan makhluk-Nya. Karena Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang selain-Nya. Dzat Yang paling benar firman-Nya dan paling bagus dalam perkataan-Nya. Allôh menyucikan diri-Nya dari dari apa yang dikatakan oleh para penentang yaitu ahli </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>takyif </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(menggambarkan hakikat sifat-sifat Allôh) maupun ahli </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>tamtsil </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(menyerupakan Allôh dengan makhluk-Nya). </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Juga mensucikan diri-Nya dari pengingkaran ahli </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>tahrif </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>maupun ahli </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ta’thil</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>, maka Dia berfirman :</span></span></p> <p dir="rtl" style="margin-left: 0.04cm; margin-right: 1.23cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"> <span style="font-size:100%;"><b>سُبْحَانَ</b></span><span style="font-size:100%;"><b> رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ</b></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>((</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allôh Tuhan seru sekalian alam</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>))</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i> </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(Q.S. As Shâffât : 180-182) </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:29)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Dan sudah dimaklumi bahwa </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ta’thil </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>adalah lawan dari </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>tajsim</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>, ahli </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ta’thil </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>adalah musuh ahli </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>tajsim</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>, sedang yang haq adalah yang berada di antara keduanya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 11, hal:3)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><b>MASALAH KETUJUH : MENYELISIHI PARA ULAMA</b></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Sebagian manusia mengatakan bahwa </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb telah menyelisihi semua ulama dalam dakwahnya, tidak melihat kepada perkataan mereka, tidak mengacu kepada kitab-kitab mereka dan beliau membawa barang baru serta membuat madzhab kelima.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;">Orang yang paling bagus dalam menjelaskan bagaimana hakikatnya adalah beliau sendiri. Beliau berkata :</span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Kami mengikuti Kitab dan Sunnah serta mengikuti para pendahulu yang shalih dari umat ini dan mengikuti apa yang menjadi sandaran perkataan para imam yang empat : Abu Hanîfah Nu’man bin Tsâbit, Mâlik bin Anas, Muhammad bin Idrîs (As Syâfi’î) dan Ahmad bin Hanbal semoga Allôh merahmati mereka”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Muallafât asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>jilid 5, hal: 96</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Bila kalian mendengar aku berfatwa dengan sesuatu yang dengannya aku keluar dari kesepakatan (</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>ijma’</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>) ulama, sampaikan perkataan itu kepadaku”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 53)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Bila kalian menyangka bahwa para ulama bertentangan dengan apa yang aku jalani, inilah kitab-kitab mereka ada di depan kita”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah jilid 2, hal: 58)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Aku membantah seorang bermadzhab </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Hanafi dengan perkataan ulama-ulama akhir dari madzhab Hanafi, demikian juga penganut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, semua saya bantah hanya dengan perkataan ulama-ulama </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>muta`âkhirin </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>yang menjadi rujukan dalam madzhab mereka”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:82)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Secara global yang saya ingkari adalah : keyakinan terhadap selain </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Allôh dengan keyakinan yang tidak pantas bagi selain Allôh. Bila Anda dapati aku mengatakan sesuatu dari diriku sendiri, maka buanglah. Atau dari kitab yang kutemukan sedang disepakati untuk tidak diamalkan, buanglah. Atau saya menukil dari ahli madzhabku saja, buanglah. Namun bila aku mengatakannya berdasarkan kepada perintah Allôh dan Rasul-Nya </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>atau berdasarkan ijma’ ulama dari segala madzhab, maka tidaklah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allôh dan hari akhir berpaling darinya hanya karena mengikuti seorang ahli di zamannya atau ahli daerahnya, atau hanya karena kebanyakan manusia di zamannya berpaling darinya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>, jilid 1, hal:76</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>)</i></span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><b>PENUTUP</b></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Sebagai penutup, disini ada dua nasehat yang disampaikan oleh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb :</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>Pertama : </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span>bagi orang yang berusaha menentang dakwah ini berikut semua pengikutnya, serta mengajak manusia untuk menentangnya lalu melontarkan beraneka ragam tuduhan dan kebathilan. Bagi mereka Syaikh berkata :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Saya katakan bagi yang menentangku, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi semua manusia untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Nabi </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>terhadap umatnya. Aku katakan kepada mereka : kitab-kitab itu ada pada kalian, perhatikanlah kandungannya, jangan kalian mengambil perkataanku sedikitpun. Hanya saja apabila kalian telah mengerti sabda Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>di dalam kitab-kitabmu itu maka ikutilah meskipun berbeda dengan kebanyakan manusia… Janganlah kalian mentaatiku, dan jangan mentaati kecuali perintah Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>yang ada di dalam kitab-kitab kalian… Ketahuilah tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali mengikuti Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>. Dunia akan berakhir, namun surga dan neraka jangan sampai ada orang berakal yang melupakannya”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:89-90)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Aku mengajak orang yang menyelisihiku kepada empat perkara : kepada Kitabullah, kepada sunnah </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, atau kepada ijma’ kesepakatan ahli ilmu. Apabila masih membangkang aku mengajaknya untuk </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>mubâhalah </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(mendoakan laknat bagi yang berdusta)</span></span><span style="font-size:100%;"><span>“. (Ad Durarus Saniyyah : 1/55)</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><b>Kedua : </b></span></span><span style="font-size:100%;"><span>bagi yang masih bimbang. Syaikh berkata : </span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Hendakla</span></span><span style="font-size:100%;"><span>h Anda banyak merendah dan mengiba kepada Allôh, khususnya pada waktu-waktu yang mustajâb, seperti pada akhir malam, di akhir-akhir shalat dan setelah adzan. Juga perbanyaklah membaca doa-doa yang diajarkan Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span>, khususnya doa yang tercantum dalam </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>As Shahih </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>bahwa Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>berdoa dengan mengucap :</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:100%;" > </span><span style="font-size:100%;"><span>((</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Wahai Allôh Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah Yang Memutuskan hukum diantara hamba-hamba-Mu yang berselisih, tunjukkanlah kepadaku mana yang haq diantara yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Menunjukkan ke jalan yang lurus bagi siapa yang Engkau kehendaki</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>))</span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>.</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Hendaklah Anda melantunkan doa ini dengan sangat mengharap kepada Dzat Yang Mengabulkan doa orang kesulitan yang berdoa kepada-Nya, dan Yang telah Menunjukkan Ibrahim </span></span><span style="font-size:100%;"><span>‘Alaihis Salâm</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>disaat semua manusia menentangnya. Katakanlah : “Wahai Yang telah mengajari Ibrahim, ajarilah aku”. Apabila Anda merasa berat dikarenakan manusia menyelisihimu, pikirkanlah firman Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>:</span></span></p> <p dir="rtl" style="margin-left: 0.04cm; margin-right: 1.23cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"> <span style="font-size:100%;"><b>ثُمَّ</b></span><span style="font-size:100%;"><b> جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ</b></span><span style="font-size:100%;"><span><b>) </b></span></span><span style="font-size:100%;"><b>إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا</b></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><i>((Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. S</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>esungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allôh.)) </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(Q.S. Al Jâtsiyah : 18-19)</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span><i>((Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Allôh)) </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>(Q.S. Al An’âm : 118)</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Ingatlah sabda Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>dalam As Shahih : “Agama Islam bermula dari keadaan asing dan akan kembali dianggap asing seperti saat bermulanya”.</span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>Juga sabda Rasūlullâh </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam</span></span><span style="font-size:100%;"><span> </span></span><span style="font-size:100%;"><span>: “Sesungguhnya Allôh tidak mengambil ilmu …. Sampai akhir hadits)*, juga sabda beliau : “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku”, juga sabdanya : “Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah kesesatan”. </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 42-43)</i></span></span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"> <span style="font-size:100%;">* Lengkapnya adalah: “Sesungguhnya Allôh tidak akan mencabut ilmu dari dada manusia secara serta merta, akan tetapi mencabutnya dengan memwafatkan para ulama. Sampai apabila tidak menyisakan seorang yang alim, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya dan menjawab tanpa ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan manusia” (HR. Bukhari Muslim).</span></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-top: 0.21cm;" align="justify"><span style="font-size:100%;"><span>“Jika telah jelas bagimu bahwa ini adalah </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>al haq </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>yang tidak diragukan lagi, dan sudah merupakan kewajiban untuk menyebarkan </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>al haq </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>itu serta mengajarkannya kepada para wanita maupun pria, maka semoga Allôh merahmati orang yang menunaikan kewajiban itu dan bertaubat kepada Allôh serta mengakui </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>al haq </i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>itu pada dirinya. Sesungguhnya orang yang telah bertaubat dari dosanya seperti orang yang tak mempunyai dosa sama sekali. Semoga Allôh menunjukkan kami dan Anda sekalian dan semua saudara-saudara kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. </span></span><span style="font-size:100%;"><span>Wassalam…” </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>(Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:43)</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>2.</span></span></p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="justify"> </p> <p style="margin-top: 0.21cm;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span>Dialihbahasakan oleh al-Ustâdz Mu</span></span><span style="font-size:100%;"><span><u>h</u></span></span><span style="font-size:100%;"><span>ammad </span></span><span style="font-size:100%;"><span><u>H</u></span></span><span style="font-size:100%;"><span>âmid ’Alwî (Da’i Islamic Center dan Musyrif Forum Salafyoun.com untuk Indonesia Corner) dari Makalah yang berjudul </span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>Tash</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i><u>h</u></i></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i>î</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i><u>h</u></i></span></span><span style="font-size:100%;"><span><i> Mafâhum Khâthi’ah</i></span></span><span style="font-size:100%;"><span>.</span></span></p><p style="margin-top: 0.21cm; text-align: right;"><span style="font-size:100%;"><span>Sumber : abusalma.wordpress.com<br /></span></span></p>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-46950165070257206962008-01-23T10:44:00.000+08:002008-01-23T10:45:50.117+08:00Fitroh-Fitroh Manusia Dalam Kesucian Jasmani<p style="text-align: justify;">Sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk menjalankan seluruh aspek kehidupannya sesuai dengan tuntunan kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya. Alloh berfirman, <em>"Dan apa yang telah dibawa oleh Rosul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkan-lah."</em> (Al-Hasyr: 7). Di antara tuntunan itu adalah tuntunan dalam memelihara kesucian jasmani. Maka dari itu, seorang muslim semestinya melaksanakan tuntunan fitroh yang telah digariskan Alloh melalui lisan Rosul-Nya yaitu: <em>"Lima hal termasuk bagian fitroh, yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), memotong kuku, mencabuti rambut ketiak dan memotong kumis."</em> (HR. Bukhori dan Muslim). Sabdanya pula, <em>"Sepuluh hal termasuk fitroh: Memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke hidung), memotong kuku, mencuci sela lipatan jari, mencabuti rambut ketiak, mencukur rambut di sekitar kemaluan, dan istinja", perowi berkata: "Saya lupa yang kesepuluh, mungkin kumur-kumur."</em> (HR. Muslim)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Berikut ini beberapa point yang sering dianggap sepele oleh kaum muslimin:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Memotong Kumis (Jangan Sampai Menutup Bibir)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Rosululloh <em>shollallohu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>"Dan potonglah kumis-kumis."</em> (HR. Bukhari, Muslim). Sabdanya pula, <em>"Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya, maka dia bukan termasuk dari (golongan) kami."</em> (Shohih, HR. Tirmidzi). Ibnu Hazm <em>rohimahulloh</em> berkata, <em>"Ada ijma' yang menetapkan bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot (panjang) adalah fardhu."</em> (<em>Tahrim Halq Al Liha</em>)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Memelihara Jenggot dan Tidak Memotongnya</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Jenggot adalah rambut yang tumbuh di kedua pipi dan dagu. Jenggot merupakan perhiasan laki-laki yang merupakan lambang kesempurnaan dan membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dikatakan demikian sebab perempuan tidak berjenggot. Memeliharanya wajib dan mencukurnya harom, sebab hal ini merubah ciptaan Alloh. Dan perbuatan merubah ciptaan Alloh adalah wangsit dari syaithon, <em>“Akan aku suruh mereka (untuk merubah ciptaan Alloh) lalu mereka merubahnya.”</em> (An Nisaa’: 119). Perbuatan ini juga merupakan bentuk <em>tasyabbuh</em> (menyerupai) perbuatan orang kafir. Rosululloh bersabda, <em>"Selisihilah orang-orang musyrik, perliharalah jenggot dan potonglah kumis.”</em> (HR. Bukhori Muslim). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Diharamkan mencukur jenggot berdasarkan hadits-hadits yang shohih dan tidak ada seorang ulama pun yang membolehkannya.” (<em>Al Ikhtiyarot Al ‘Ilmiyyah</em>). Jenggot inilah yang merupakan ciri khas para nabi, para sahabat, orang sholih dulu dan sekarang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Namun sungguh sangat mencengangkan tatkala sebagian dari kaum muslimin mencela syariat yang mulia ini. Mereka menolak perintah ini dengan berbagai alasan yang lebih rapuh ketimbang sarang laba-laba bahkan menghina orang berjenggot dengan menggelari kambing, teroris, Amrozi dan berbagai julukan jelek lain. <em>Allohu akbar!</em> Ketahuilah, perbuatan mencela syariat adalah termasuk salah satu dari pembatal keislaman! Pantaskah seorang muslim bertindak demikian? Dimanakah nilai ketaatan mereka kepada Rosululloh? </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Menggosok Gigi/Bersiwak </strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Mengosok gigi atau bersiwak sangatlah dianjurkan, selain untuk kebersihan dan kesehatan, juga mempunyai nilai ibadah yang sangat diridhai Alloh. Rosululloh <em>shollallohu alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>"Siwak itu mensucikan mulut dan (mendatangkan) Keridhoan Ar-Robb."</em> (HR. Ahmad, An Nasai, Bukhori secara mu’allaq). Bersiwak disunnahkan pada beberapa waktu diantaranya setiap kali hendak wudhu, hendak sholat, membaca Al Qur’an, ketika bangun di malam hari dan beberapa waktu lain. Rosululloh bersabda, <em>"Seandainya bukan karena khawatir memberatkan umatku, tentu kusuruh mereka bersiwak setiap hendak shalat."</em> (HR. Bukhori, Muslim). Sabdanya pula, <em>"Seandainya bukan karena khawatir memberatkan umat, tentu kuperintahkan mereka bersiwak (pada setiap wudhu)."</em> (HR. Bukhori, Ahmad, An-Nasai). Hudzaifah <em>rodhiyallohu ‘anhu</em> berkata: <em>"Adalah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bilamana bangun malam beliau menggosok giginya dengan siwak."</em> (HR. Bukhari, Muslim). Bahkan dalam keadaan berpuasa beliau juga bersiwak. Amir bin Robi'ah berkata, <em>"Tidak terhitung saya melihat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersiwak dalam keadaan puasa."</em> (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi berkata derajad hadits ini hasan)</p><p style="text-align: justify;">Sumber : muslim.or.id<br /></p>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4577691187207693436.post-30390081256927749252008-01-22T10:30:00.001+08:002008-01-22T10:30:59.482+08:00Mari mengenal Manhaj Salaf<p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. <em>Amma ba’du</em>.<br /><br />Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, <em>“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…”</em> (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).</span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata <strong>salaf</strong> atau <strong>salafi</strong> dan <strong>salafiyah</strong>. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. <em>Wallahu waliyyut taufiiq</em>.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Salim Al Hilaly –salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- <em>hafizhahullah</em> telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau <strong>Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy</strong> yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. <em>hafizhahullah</em> dengan judul <strong>Mengapa Memilih Manhaj Salaf</strong> penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, <em>“Tak kenal maka tak sayang…”</em>. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Pemahaman Yang Benar dan Niat Baik</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul Qayyim <em>rahimahullah</em> mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (<em>al maghdhuubi ‘alaihim</em>) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (<em>adh dhaalliin</em>) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (<em>an’amta ‘alaihim</em>) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut <em>shirathal mustaqim</em>…” (<em>I’laamul Muwaqqi’iin</em>, 1/87, dinukil dari <em>Min Washaaya Salaf</em>, hal. 44).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat <em>cum laude</em> di sana, namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan jari… <em>Wallahul musta’aan</em>. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, <em>“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.”</em> (QS. An Nisaa’: 59)</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud <em>ulul amri</em> adalah mencakup <em>umara’</em><em>ulama</em> (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em><em>“Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).”</em> (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain. </span> (penguasa/pemerintah) dan juga pernah bersabda dalam hadits yang shahih, </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), <em>“Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.”</em> (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…” (lihat <em>Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim</em>, II/250).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Kata Salaf Secara Bahasa</strong></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (<em>Lisanul ‘Arab</em>, 9/159, dinukil dari <em>Limadza</em>, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, <em>“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.”</em><em>Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih</em>, hal. 20).</span> (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em><em>radhiyallahu ‘anha</em>. Beliau bersabda, <em>“Sesungguhnya sebaik-baik <strong>salaf</strong>mu adalah aku.”</em> (HR. Muslim). Artinya <strong>sebaik-baik pendahulu</strong>. (lihat <em>Limadza</em>, hal. 30, baca juga <em>Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah</em> karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas <em>hafizhahullah</em>, hal. 7). Oleh sebab itu <ins datetime="2007-01-19T13:15:56+00:00">secara bahasa</ins>, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, <em>“Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”</em>. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…</span> kepada puterinya Fathimah </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kemudian apabila muncul pertanyaan <em>“Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”</em>. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em>. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan <em>lughawi</em> (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para <em>fuqaha’</em> (ahli fikih atau ahli agama) <em>rahimahumullah</em> setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna <em>lughawi</em> dengan makna <em>ishthilahi</em>.” (lihat <em>Syarh Ushul min Ilmil Ushul</em>, hal. 38).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Pertama: Para Shahabat Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<br />Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (<em>tabi’in</em>).<br />Ketiga: Shahabat, <em>tabi’in</em> dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat <em>Al Wajiz</em>, hal. 21). </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Salim Al Hilaly <em>hafizhahullah</em> menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat r<em>adhiyallahu ‘anhum</em>. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (<em>Limadza</em>, hal. 30).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, <em>tabi’in</em> dan <em>tabi’ut tabi’in</em>, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (<em>Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah</em>, hal. 5-6). </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya <em>Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah</em>, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat <em>Limadza</em>, hal. 31). Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (</em><em>tabi’in</em>) dan kemudian orang sesudah mereka (<em>tabi’ut tabi’in</em>).” (HR. Bukhari dan Muslim)</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, <em>tabi’in</em> dan <em>tabi’ut tabi’in</em> adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman <em>salafush shalih</em>. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em><em>Al Wajiz</em>, hal. 22, <em>Limadza</em>, hal. 33 dan <em>Syarah Aqidah Ahlus Sunnah</em>, hal. 8).</span> (lihat </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Contoh-Contoh Penggunaan Kata Salaf</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari <em>rahimahullah</em> mengatakan, <em>“Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.”</em> Al Hafizh Ibnu Hajar <em>rahimahullah</em> menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat <em>radhiyallahu’anhum</em>. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang <em>tabi’in</em> (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat <em>radhiyallahu‘anhum</em>, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat <em>Limadza</em>, hal. 31-32).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, <em>“Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.”</em> Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat <em>radhiyallahu ‘anhum</em>.” (<em>Limadza</em>, hal. 32).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul <em>Asy Syari’ah</em> bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat <em>ridhwanullahi ‘alaihim</em>.” (lihat <em>Limadza</em>, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang <em>tabi’in</em>.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Sedangkan yang dimaksud dengan <strong>salafiyah</strong> adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat <em>Limadza</em>, hal. 33).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah <em>rahimahullah</em> mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (<em>Majmu’ Fatawa</em>, 4/149, lihat <em>Limadza</em>, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah <em>rahimahumallah</em> yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat <em>radhiyallahu ‘anhum</em> dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya <em>Siyar A’laamin Nubalaa’</em> (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.” (<em>Limadza</em>, hal. 34-35).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. <strong>Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab??</strong> Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. <em>Wallaahul musta’aan</em>. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah</strong></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat <em>radhiyallahu‘anhum</em>. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat <em>Limadza</em>, hal. 36).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kalaupun masih ada orang yang tetap <em>ngotot</em> mengingkari istilah ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan, “<em>Oo, kalau ini berbeda…!”</em> Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? <em>Laa haula wa laa quwwata illa billaah…</em> (lihat <em>Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah</em> 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr <em>hafizhahullah</em>, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Meninggalkan Salaf berarti meninggalkan Islam</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani <em>rahimahullah</em> pernah ditanya: <em>Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah </em><em>firqah</em> (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau <em>rahimahullah</em> menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah <em>radhiyallahu ‘anha</em> di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, <em>“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.”</em> Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, <em>“Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.”</em> Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut <em>salafush shalih</em> dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini –meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para <em>salafush shalih</em> yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, sebagaimana disinggung di dalam hadits <em>mutawatir</em> di dalam <em>shahihain</em> dan selainnya dari Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bahwa beliau bersabda, <em>“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.”</em> Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (<em>Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani</em>, hal. 13-19, lihat <em>Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah</em> 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr <em>hafizhahullah</em>).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Cinta Salaf Berarti Cinta Islam</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi <em>rahimahullah</em> mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (<em>Syarah ‘Aqidah Thahawiyah</em> cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan… </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul <strong>‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’</strong>. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, beliau bersabda, <em>“Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.”</em> (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam <em>Kitabul Iman</em> dengan lafazh, <em>“Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.”</em> (Muslim no. 74) di dalam bab <em>Fadha’il Anshar</em> (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.”</em> Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em><em>“Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.”</em> (Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, <em>“Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga membencinya.”</em><em>“Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.”</em> (lihat <em>Fathul Bari</em>, 1/80, <em>Syarah Muslim</em>, 2/138-139). </span> bersabda, (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Nawawi <em>rahimahullah</em> ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (<em>Syarah Muslim</em>, 2/139).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan <em>hafizhahullah</em> mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi <em>‘alaihis shalatu was salam</em>, <em>“Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.”</em> Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi <em>‘alaihish shalatu was salam</em>. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, <em>“…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).”</em> (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (<em>Syarah ‘Aqidah Thahawiyah</em>, hal. 489-490).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Catatan:</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, <em>“Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst”</em> dengan lafazh <em>khairul quruun…</em>. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh <em>khairul quruun</em> (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu <em>Khairunnaas</em>; sebaik-baik manusia, red).” (lihat <em>Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi</em>, hal. 87).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Benci Salaf Berarti Benci Islam</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Allah ta’ala berfirman yang artinya, <em>“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”</em> (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik <em>rahimahullah</em> menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat <em>radhiyallahu’anhum</em>. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para sahabat <em>radhiyallahu’anhum</em> maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama <em>radhiyallahu’anhum</em> pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir <em>Al Qur’an Al ‘Azhim</em>, 7/280).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur –semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), <em>“Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî`ah. Selanjutnya kata syî`ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.”</em> (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam <em>Al Masaa’il</em> jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. Bacalah!!).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A‘masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah <em>radhiyallahu‘anhu</em>. Beliau mengatakan: Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em><em>“Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.”</em> (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab <em>Al Manaaqib</em> no. 3673).” (lihat <em>Tafsir Ibnu Katsir</em> 7/280).</span> bersabda, </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, <em>“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”</em> (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai <strong>salafi</strong>. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat <em>hafizhahullah</em> mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat <em>radhiyallahu ‘anhum</em>. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari <em>tabi’in</em>, <em>tabi’ut tabi’in</em> dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. <em>Mafhum</em>-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (<em>Al Masaa’il</em> jilid 3, hal. 74).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Ibnu Katsir <em>rahimahullah</em> mengatakan tentang tafsir ayat ini, ”Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (<em>Tafsir Ibnu Katsir</em>, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan <em>As Saabiquun</em> adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (<em>Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah</em>). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap <em>As Sabiquunal Awwaluun</em>, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat <em>Fathul Qadir</em> dan <em>Taisir Karimir Rahman</em>, <em>Maktabah Syamilah</em>). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan <em>“Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”</em> di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (<em>Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah</em>).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Asy Syinqithi <em>rahimahullah</em> mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat <em>Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah</em>). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir <em>rahimahullah</em> memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (<em>Tafsir Ibnu Katsir</em>, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, <em>radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum</em> (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah <em>radhiyallahu’anhu</em> mengatakan, <em>“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”</em></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-<em>takhrij</em> <em>Ad Durrah As Salafiyah</em> menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam <em>Shahihul Jaami’</em> hadits no. 2549 (lihat <em>Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah</em>, cet. Markaz <em>Fajr lith Thab’ah</em> hal. 199, Lihat juga <em>Lau Kaana Khairan</em>, hal. 164).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah <em>Khulafa’ur Rasyidin</em>. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud <em>Khulafa’ur Rasyidin</em> adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali <em>radhiyallahu’anhum</em> (lihat <em>Ad Durrah As Salafiyah</em>, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan <em>ijma’</em> (lihat <em>Ad Durrah As Salafiyah</em>, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan <em>‘alaikum bi sunnatii</em> ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau <em>rahimahullah</em> juga berkata, “Sedangkan makna kata <strong>Sunnah</strong> beliau <em>‘alaihish shalaatu was salaam</em> adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, <em>“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”</em> (QS. An Nisaa’: 65). Dengan demikian Sunnah Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (<em>Syarh Riyadhush Shalihin</em>, I/603).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em> mengatakan, “…Kemudian beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan <em>Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin</em>. Dan juga termasuk di dalamnya (<em>Khulafa’ur Rasyidin</em>) adalah para khalifah/pengganti Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali <em>radhiyallahu’anhum</em>.” (lihat <em>Ad Durrah As Salafiyah</em>, hal. 203). Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.” (<em>Tuhfatul Ahwadzi</em>, 3/50-51, dinukil dari <em>Limadza</em>, hal. 74-75).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (<em>Majmu’ Fatawa</em>, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan <strong>Sunnah</strong> (ajaran) <em>Khulafa’ur Rasyidin</em> maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari <em>Limadza</em>, hal. 73). Di dalam <em>Tuhfatul Ahwadzi</em> (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan <strong>Sunnah </strong><em>Khulafa’ur Rasyidin</em> kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>…” (dinukil dari <em>Limadza</em>, hal. 73).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah <em>Khulafa’ur Rasyidin</em> adalah pemahaman para Shahabat <em>radhiyallahu ‘anhum</em> terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (<em>Limadza</em>, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam <em>firqah</em> dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu‘anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> yang agung ini. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>As Sunnah</strong> secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi <ins datetime="2007-01-19T13:15:56+00:00">lawan dari bid’ah</ins>. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca <em>Lau Kaana Khairan</em> karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga <em>Panduan Aqidah Lengkap</em> penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Al Jama’ah</strong> secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, <em>al jama’ah</em> berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud <em>radhiyallahu ‘anhu</em> pernah mengatakan, <strong>“Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.”</strong> (lihat <em>Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih</em>, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat <em>radhiyallahu ta’ala ‘anhum</em>. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu <em>al jama’ah</em>. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah <em>rahimahullah</em><em>Majmu’ Fatawa</em> (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat <em>Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah</em>, hal. 348, <em>Silsilah Ash Shahihah</em> no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani <em>rahimahullah</em>, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku <em>Lau Kaana Khairan</em>, hal. 190-196).</span> mengatakan di dalam </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur <em>ittiba’</em> (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur <em>ibtida’</em> (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ’salaf’ (lihat <em>Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih</em>, hal. 30, <em>Panduan Aqidah Lengkap</em> hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam <em>Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah</em> hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani <em>hafizhahullah</em>). </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah <em>i’tiqadiyyah</em> (keyakinan) maupun bid’ah <em>amaliyah</em> (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat <em>Lau Kaana Khairan</em>, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: 100%;">Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.</span></li><li><span style="font-size: 100%;">Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (<em>Silsilah Huda wa Nur</em>, kaset no. 785)</span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku <em>Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan</em> karya Ustadz Abu Abdil Muhsin <em>hafizhahullah</em>).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Ibnu ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em> pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (<em>Fatawa Arkanul Islam</em>, hal. 21).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: <em>Ash-habul Hadits</em><em>Ahlul Atsar</em> (pengikut jejak salaf), <em>Ahlul Ittiba’</em> (Peniti Sunnah Nabi), <em>Al Ghurabaa’</em> (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), <em>Ath Thaa’ifah Al Manshurah</em> (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan <em>Al Firqah An Najiyah</em> (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat <em>Mujmal Ushul Ahlis Sunnah</em>, hal. 6, <em>Limadza</em> hal. 36-38, <em>Minhaaj Al Firqah An Najiyah</em>, hal. 6-17 dan <em>Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah</em> karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca <strong>Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah</strong> karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa <em>Al Firqatun Najiyah</em> adalah <em>Ath Tha’ifah Al Manshurah</em> juga sama dengan <em>Ahlul Hadits</em> maka silakan baca buku <strong>Mereka Adalah Teroris</strong> cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin. </span> atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Hanya Satu Yang Selamat !</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Ibnu ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em> pernah ditanya: Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab <em>As Sunnah</em> bab <em>Syarhu Sunnah</em> (4596), At Tirmidzi di <em>Kitabul Iman</em> bab <em>Iftiraqu Hadzihihil Ummah</em><em>Kitabul Fitan</em> bab <em>Iftiraqul Ummah</em> (3991)). Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/<em>firqah</em>. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 <em>firqah</em>. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 <em>firqah</em>. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu <em>firqah</em>. <em>Firqah</em> tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan <strong>Al Firqah An Najiyah</strong><strong>Ath Thaa’ifah Al Manshuurah</strong></span> (2642), Ibnu Majah di (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla”. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">“Tujuh puluh tiga <em>firqah</em> ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama <em>ahlul bida’ </em>(kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanya <em>firqah-firqah</em> yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan para sahabatnya adalah termasuk dalam <em>firqah-firqah</em> ini. Dan bisa juga Rasul <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (<em>Fatawa Arkaanul Islaam</em>, hal. 21-22).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Firqah-Firqah Yang Menyimpang</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman <em>salafush shalih</em>. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau <em>firqah</em> yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita cermati. Beliau <em>rahimahullah</em> mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (<em>al maghdhuubi ‘alaihim</em>) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (<em>adh dhaalliin</em>) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (<em>an’amta ‘alaihim</em>) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut <em>shirathal mustaqim</em>..” (<em>I’laamul Muwaqqi’iin</em>, 1/87, dinukil dari <em>Min Washaaya Salaf</em>, hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. <em>Subhaanallaah…!!</em></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi <em>rahimahullah</em> mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah <em>mubtadi’</em> (ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (<em>Lum’atul I’tiqad</em>, dinukil dari <em>Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad</em> hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga menjelaskan <em>firqah</em><em>Syarah Lum’atul I’tiqad</em> Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em> menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah:</span> Khawarij. Silakan bandingkan dengan </p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: 100%;">Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.</span></li><li><span style="font-size: 100%;">Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.</span></li><li><span style="font-size: 100%;">Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (<em>Syarah Lum’atul I’tiqad</em>, hal. 161).</span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Rafidhah (Syi’ah)</strong>, yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53).</span></li><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Jahmiyah</strong>. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. <em>Wallaahul musta’aan.</em></span></li><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Khawarij</strong>. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib <em>radhiyallahu ‘anhu</em> karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).</span></li><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Qadariyah</strong>. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.</span></li><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Murji’ah</strong>. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.</span></li><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Mu’tazilah</strong>. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (<em>ta’thil</em>) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. <em>Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa</em>. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).</span></li><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Karramiyah</strong>. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.</span></li><li><span style="font-size: 100%;"><strong>Kullabiyah</strong>. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat <em>Syarh Lum’atul I’tiqad</em>, hal. 161-163).</span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri <em>hafizhahullah</em> mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-<em>tahazzub</em> (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: <strong>Jama’ah Hijrah wa Takfir</strong> yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), <strong>Jama’ah Tabligh</strong> dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok <strong>Al Jaz’arah</strong>, begitu juga (gerakan) <strong>Al Ikhwan Al Muslimun</strong> baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku <strong>Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin</strong><em>hafizhahullah</em>). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa <strong>Jama’ah Takfiri</strong> (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat <em>Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad</em>, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku <strong>Jama’ah-Jama’ah Islam</strong><em>hafizhahullah</em>).</span> karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, <em>“Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?”</em> Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, <em>“Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..”</em> (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, <em>“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.”</em> (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, <em>“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.”</em> (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat <em>Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah</em>, hal. 52-53).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em>. Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan <em>hizb</em>/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, <em>“Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”</em><em>hizb-hizb</em> ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, <em>“Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.”</em> (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat <em>Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah</em>, hal. 54).</span> (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz <em>rahimahullah</em> yang dulunya pernah membolehkan orang untuk <em>khuruj</em><em>bashirah</em> (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan untuk <em>khuruj</em><em>Majmu’ Fatawa</em> beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari <em>Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah</em>, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai <em>jama’ah</em> dan <em>hizb</em> semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani (<em>mujaddid</em> dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.</span> (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos dan beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah salah satu keajaiban <strong>Harakah Islamiyah</strong> (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha <strong>‘menegakkan benang basah’</strong> dan rela untuk merengek-rengek kepada <strong>Demokrasi</strong> demi mendapatkan jatah kursi. <em>Wallahul musta’aan</em>. Adakah orang yang mau merenungkan?</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;"><strong>Penutup</strong></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi <em>shallallahu ‘alahi wa sallam</em> telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah <strong>Al Firqah An Najiyah</strong> (golongan yang selamat) atau <strong>Ath Thaa’ifah Al Manshuurah</strong> (kelompok yang mendapat pertolongan) atau <strong>Al Jama’ah</strong><strong>Al Ghurabaa’</strong> (orang-orang yang asing), beliau bersabda, <em>“Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.”</em> (HR. Ahmad, dinukil dari <em>Kitab Tauhid</em> Syaikh Shalih Fauzan hal. 11). </span> atau </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat, jangan <em>ta’ashshub</em> (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, <em>“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.”</em> (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Allah ta’ala berfirman yang artinya, <em>“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”</em> (QS. Yusuf: 108)</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di <em>rahimahullah</em> berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [<em>hujjah</em> yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (<em>Taisir Karimir Rahman</em>, hal. 406).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami memohon ampun kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: 100%;">Jogjakarta, Jum’at 23 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriyah</span></p><span style="font-size: 100%;">Diambil dari : Muslim.or.id</span>FORUM KAJIAN ISLAM AL-'ILMIhttp://www.blogger.com/profile/00896075043631809861noreply@blogger.com0