Selasa, 29 Januari 2008

Tata Cara Thoharah dan Shalat Orang Sakit

Sesungguhnya segala puji dan syukur hanya milik Allah, kita memujinya, meminta tolong, serta minta ampun kepada-Nya. Kita berlindung dengan Allah dari kejahatan hawa nafsu, dan dari kejelekkan perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tiada yang bisa menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan Allah, tiada yang bisa memberinya petunjuk.
Dan saya bersaksi tidak ada sembahan yang berhak diibadati kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.

Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan rasul-Nya. Semoga Allah menganugrahkan salawat atasnya, keluarganya dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan bersalam dengan salam yang banyak.

Selanjutnya, ini adalah tulisan yang ringkas tentang hal-hal yang wajib dilakukan oleh orang yang sedang sakit dalam melaksanakan thoharah (bersuci) dan shalat. Orang sakit mempunyai hukum-hukum tersendiri, dikarenakan kondisinya itu termasuk kondisi yang diperhatikan oleh syariah Islamiyah.

Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya Muhammad dengan agama yang lurus dan penuh teloransi, yang didirikan di atas tata yang mudah dan gampang. Allah berfirman. Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. ( Q.S. : 22;78 ).

Dan berfirman : Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S: 2;185).

Dan berfirman : Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah. (Q.S : 64;16).
Rasulullah r bersabda : Sesungguhnya agama itu mudah dan bersabda : Jika saya memerintahmu dengan satu urusan maka kerjakanlah apa yang kamu sanggupi.

Berdasarkan kepada kaidah yang mendasar ini Allah telah meringankan pelaksanaan ibadah orang?orang yang mempunyai uzur (berhalangan) sesuai dengan kadar uzurnya, agar memungkinkan mereka untuk malakukan ibadah kepada Allah tanpa ada kesulitan dan keberatan. Walhamdulillahi Rabbil alamin.

Cara bersuci

1) Orang sakit wajib bersuci dengan memakai air, dalam berwudhuk dari hadats kecil dan mandi dari hadats besar.

2) Jika tidak mampu bersuci dengan air, disebabkan kerena ketidaksanggupannya, atau takut penyakitnya bertambah, atau kesembuhannya semakin lama, maka bertayamum.

3) Cara bertayamum; dengan memukulkan kedua telapak tangan ke atas permukaan tanah yang suci (bersih) satu kali, lalu mengapuskannya ke wajah, kemudian ke kedua tangan sampai ke pergelangan, dengan mengusapkan satu dengan yang lain. Jika tidak sanggub untuk bertayamum sendiri, maka orang lain mentayamumkannya, caranya ; orang mentayamumkannya itu memukulkan kedua telapak tangannya ke atas permukaan tanah yang suci dan mengapuskannya ke wajah si sakit, dan ke kedua tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang dilakukan, kalau seandainya dia tidak mampu untuk berwuduk sendiri, maka orang lain mewudukkannya.

4) Tayamum boleh dengan mengusapkan telapak tangan ke dinding atau dengan sesuatu yang ada debu, jika dinding itu dicat dengan cat minyak, artinya bukan sejenis dinding dari tanah, maka tidak boleh bertayamum kecuali ada debunya.

5) Jika tidak ada dinding atau apapun yang ada debunya, maka tidak mengapa diletakkan tanah (pasir) di atas kain atau bejana kemudian bertayamum.

6) Jika dia telah bertayamum untuk melakukan suatu sholat, kemudian kesuciannya masih ada sampai masuk waktu sholat yang lain, maka dia melakukan sholat dengan tayamum yang pertama, dan tidak perlu mengulang tayamumnya. Dikarenakan dia masih suci dan tidak ada faktor yang membatalkannya.

7) Orang sakit wajib mensucikan badannya dari najis. Jika tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang.

8) Orang sakit harus membersihkan pakaiannya dari najis, atau membuka dan mengantinya dengan pakaian yang bersih suci. Jika tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang.

9) Orang sakit harus sholat di atas sesuatu yang suci. Jika kasurnya ada najis maka harus dicuci, atau ditukar dengan yang suci atau dialas dengan sesuatu yang suci. Apabila tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang.

Cara sholat

1) Orang sakit wajib melakukan sholat fardu dengan keadaan berdiri, miskipun agak membungkuk atau bersandar ke dinding, tonggak atau tongkat.

2) Jika tidak mampu melakukannya dengan keadaan berdiri, maka solatlah dengan posisi duduk. Yang lebih afdhol dia sholat dengan posisi bersila pada waktu seharusnya berdiri dan ruku, dan bersimpuh pada waktu yang seharusnya sujud.

3) Jika tidak mampu duduk, maka sholatlah sambil berbaring menghadap kiblat dengan miring di sisi kanan lebih afdhol daripada sisi kiri. Jika tidak mampu untuk menghadap kiblat maka sholatlah sesuai dengan arah posisinya dan tidak perlu diulang.

4) Kala tidak mampu berbaring miring maka sholatlah menelentang, kedua kakinya diarahkan ke arah kiblat dan lebih afdhol kepalanya diangkat sedikit untuk mengarahkan ke kiblat. Jika kakinya tidak bisa diarahkan ke kiblat maka sholatlah sesuai dengan posisinya dan tidak perlu diulang.

5) Orang sakit dalam melaksanakan sholat harus ruku dan sujud, jika tidak mampu maka mengisyaratkannya dengan kepala (menundukkan). Maka dia menjadikan isyarat sujud lebih rendah daripada ruku. Jika dia sanggub untuk melaksanakan ruku saja tanpa sujud maka dia ruku di waktu ruku adapun sujud diisyaratkan dengan menundukkan kepala. Jika dia sanggub untuk melaksanakan sujud saja tanpa ruku maka dia sujud di waktu sujud adapun ruku diisyaratkan dengan menundukkan kepala.

6) Jika tidak mampu untuk mengisyaratkan dengan kepala pada waktu ruku dan sujud, maka mengisyaratkannya dengan mata. Caranya; dengan memejamkan sekejab kalau melakukan ruku dan kalau sujud mata dipejamkan relatif lama. Adapun mengisyaratkan dengan jari seperti yang dilakukan sebagian orang sakit, tidak sah. Dan saya tidak mengetahui dalil dari Kitab dan Sunnah serta perkataan ahli ilmu (ulama) tentang perbuatan itu.

7) Jika tidak mampu mengisyaratkan dengan kepala dan mata, maka sholatlah dengan hatinya. Maka dia meniatkan ruku sujud, berdiri, duduk, dengan hatinya. Dan setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan.

8) Orang sakit harus melakukan setiap sholat tepat pada waktunya, sesuai dengan kemampuannya yang telah dirinci di atas tadi. Dan tidak boleh mengakhirkannya sampai keluar waktu.

9) Jika melaksanakan setiap sholat tepat pada waktunya memberatkannya, maka boleh menjamak antara Zohor dan Ashar, Maghrib dan Isya dengan jamak takdim atau jamak takhir, sesuai dengan kondisi yang mudah bagi dirinya. Kalau ingin mendahulukan sholat Ashor dengan Zohor atau mengakhirkan sholat Zohor dengan Ashor boleh. Begitu juga sholat Maghrib dan Isya.

Apapun sholat Subuh tidak boleh dijamakkan dengan sholat sebelum dan sesudahnya. Dikarenakan waktunya terpisah dengan waktu sebelum dan sesudahnya. Allah berfirman : Artinya : Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)1. (Q.S: 17;78).

Yang menulis tulisan ini adalah orang yang fakir kepada Allah taala :
Muhammad Bin Sholeh Al Utsaimin pada tanggal : 14/1/1400H.

Kontributor: Muhammad Elvi bin Syam

Sumber : perpustakaan-islam.com

Mengaminkan khatib dalam shalat Jumat

Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum.....
1.Bagaimanakah sikap makmum ketika khatib membaca do'a ketika khutbah jum;at, apakah makmum mengaminkannya atau diam?

2.Makmum baru datang ketika azan jum'at berkumandang, apakah makmum harus menunggu muazin selesai azan baru dia sholat sunnah? atau langsung sholat sunnah tanpa menunggu muazin selesai azan?

wassalamu 'alaikum,


Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullah wa barakatuh
Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah wa ba'du :

Jawaban pertanyaan pertama, saya akan mencantumkan fatwa dari Lajnah Daimah (Majlis Ulama Saudi), dalam fatwa no : 6398 berbunyi :

Pertanyaan : Apakah hukum do'a si khathib di akhir khutbahnya apa hari jum'at dan apakah hukum orang yang mengaminkan doa khatib dengan melafazkan kata amiin.?

Jawab : Doa si khatib jum'at di khutbah jum'at adalah disyariatkan, dan sungguh telah tetap dari rasulullah bahwa beliau berdoa di khutbahnya bagi kaum mukminin dan mukminat. Adapun melafazkan amin bersama doa khatib maka tidak mengapa berdasarkan keumuman dalil.

Wabillahi at-taufik, semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan Ahli baitnya serta sahabat-sahabat beliau.

Lembaga Tetap Kajian Ilmiyah Dan Fatwa
Ketua : Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil ketua : Abdur Razaq 'Afifi.
Anggota : Abdullah bin Qu'ud


Jawaban kedua : Yang harus dilakukan adalah langsung shalat tanpa harus menunggu muadzin selesai dari adzan, karena menunggu muadzin sampai sesesai adzan guna mengikuti perkataan muadzin hukumnya sunat, adapun mendengar khotbah hukumnya wajib, maka janganlah kita meninggalkan wajib karena melakukan sunat. Wallahu'alam.


Dijawab oleh Ust. Muhammad Elvi Syam, Lc (Penerjemah dan Da'i di Hail-Saudi Arabia)

Hukum Sholat Jamaah (Bagi laki-laki)

Banyak dari kita yang meremehkan shalat berjamaah. Oleh karenanya, melalui tulisan ini akan coba kami jelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena sebe-narnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting.

Allah SWT banyak menyebut kata sha-lat dalam Al Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting perkara ini. Allah SWT berfirman :
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.(Al Baqarah : 43)
Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah.

Dan dalam surat An- Nisa’ Allah berfirman yang artinya :
Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemu-dian apabila mereka (yang shalat besertamu) su-jud (telah menyempurnakan serekat), maka hen-daklah mereka dari belakangmu (untuk meng-hadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah me-reka denganmu , dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata… (An Nisa’ 102)

Pada ayat diatas Allah mewajibkan sha-lat berjamaah bagi kaum muslimin dalam kea-daan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai?!. Telah disebutkan diatas bahwa ..dan hendaklah datang segolongan kedua yang be-lum shalat, lalu bershalatlah bersamamu…. Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah adalah far-dhu ‘ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena penunaian kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama adalah karena takut.

Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. Ma-ka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: Apakah kamu mendengar adzan ? Ya, jawabnya. Nabi berkata :Kalau begitu penuhilah (hadirilah)!

Didalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam tidak memberikan keringanan kepada Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu untuk shalat dirumahnya (tidak berjamaah) kendati ada alasan, diantaranya:

- Keadaan beliau buta.
- Tidak adanya penuntun ke Masjid.
- Jauh rumahnya dari Masjid.
- Adanya pohon-pohon kurma dan lain-lain yang ada diantara rumah beliau dan Masjid.
- Adanya binatang buas di Madinah.
- Tua umurnya dan telah lemah tulang-tulang-nya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meri-wayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah bersabda:
Aku berniat meme-rintahkan kaum muslimin untuk mendirikan sha-lat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berang-kat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka. (Al Bukhari-Muslim)

Hadits diatas telah menjelaskan bahwa tekad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam untuk membakar rumah-rumah disebabkan mereka tidak keluar untuk shalat berjamaah di masjid. Dan masih banyak lagi hadits yang menerangkan peringatan keras Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak hadir ke masjid untuk berjamaah bukan semata-mata karena mereka meninggalkan shalat, bahkan mereka shalat di rumah-rumah mereka.

Ibnu Hajar berkata: Hadits ini telah menerangkan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, karena kalau shalat berjamaah itu hanya sunnah saja, Rasulullah tidak akan berbuat keras terhadap orang-orang yang meninggalkannya, dan kalau fardhu kifayah pastilah telah cukup dengan pekerjaan beliau dan yang bersama beliau.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Engkau telah melihat kami, tidak seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan (dengan dipapah) antara dua orang untuk mendatangi shalat (shalat berjamaah di masjid). Beliau menegaskan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid (shalat yang dikerjakan di masjid). (Shahih Muslim)

Ibnu Mas’ud juga mengatakan : Barang siapa mau bertemu dengan Allah SWT di hari akhir nanti dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukan-Nya. Allah SWT telah menetapkan jalan-jalan hidayah kepada para Nabi dan shalat ter-masuk salah satu jalan hidayah. Jika kalian sha-lat dirumah maka kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan kalian akan sesat. Setiap Lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju masjid, maka Allah SWT menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat dikalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat (berjamaah), kecuali orang munafik yang sudah nyata nifaknya. Pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan shaf.

Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhum berkata : Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata : Tidak ada tetangga masjid kecuali shalat di masjid. Ketika ditanyakan kepada beliau : Siapa tetangga masjid ? Beliau menjawab : Siapa saja yang mendengar panggilan adzan. Kemudian kata beliau : Barangsiapa mendengar panggilan adzan dan dia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali dia mempunyai udzur.

Meningggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran, dan keluar dari islam. Ini berdasar pada sabda Nabi : Batas antara seseorang dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim). Janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya, maka ia kafir.

Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Allah, dan mengerjakan secara berjamaah di rumah-rumah Allah. Setiap muslim wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksanya.

Tidak bisa dipungkiri shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang tampak adalah :

- Akan timbul diantara sesama muslim akan sa-ling mengenal dan saling membantu dalam kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat de-ngan kebenaran dan kesabaran.

- Saling memberi dorongan kepada orang lain yang meninggalkannya, dan memberi penga-jaran kepada yang tidak tahu.

- Menumbuhkan rasa tidak-suka/membenci kemunafikan.

- Memperlihatkan syiar-syiar Allah ditengah-tengah hamba-Nya.

- Sarana dakwah lewat kata-kata dan perbuatan.

Hadits mengenai wajibnya shalat berja-maah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat banyak Oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan, dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya dan agar mereka takut terhadap larangan Allah dan rasul-Nya dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, dianta-ranya malas mengerjakan shalat


Kontributor : Rony Setyo Hariyono

Sudah benarkah Syahadat Laa ilaaha illallah kita?

Syahadat Laa ilaaha illallah merupakan pondasi dasar dienul Islam. Ia merupakan rukun pertama dari rukun Islam yang lima. Kalimat Laa ilaaha illallah merupakan kalimat yang menjadi pemisah antara mukmin dan kafir. Ia menjadi tujuan diciptakannya makhluk. Ia juga merupakan sebab di utusnya para rasul. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri diperintah untuk memerangi manusia sehingga manusia mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, sebagaimana hadits yang terdapat dalam Bukhari dan Muslim, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu (yang artinya):
“Aku diperintah memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah berarti selamat dariku harta dan jiwanya kecuali hak keduanya. Dan adapun perhitungannya (diserahkan) kepada Allah Azza wa Jalla.”

Karena kalimat Laa ilaaha illallah ini pula ditegakkan timbangan keadilan dan catatan amal. Merupakan materi utama yang akan ditanyakan dan dihisab, merupakan asas agama, merupakan hak Allah atas hamba-Nya untuk masuk Islam dan kunci keselamatan, penentu surga dan neraka.

Kita terkadang melihat sebagian kaum muslimin –kalau tidak boleh dikatakan banyak- setelah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, telah merasa bahwa dirinya sudah selamat dari api neraka. Asalkan sudah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah sudah pasti masuk surga, sudah jaminan bebas dari api neraka. Mereka tidak lagi melihat haram dan haram. Tidak memperhatikan lagi apakah melakukan ke-syirik-kan atau tidak. Apakah telah melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat-nya atau tidak.

Mereka, selain menyembah Allah juga menyembah kepada yang lain. Datang dan minta ke kuburan, menyembah kuburan, minta berkah kepada batu atau pohon, menggunakan jimat dan mantra-mantra, berdoa kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, bersumpah kepada selain Allah, datang, percaya, dan minta kepada dukun, melakukan sihir, dan melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat mengurangi kesempurnaan bahkan membatalkan syahadatnya.

Ketika diberitahu dan diingatkan, terkadang di antara mereka berdalih dengan hadits: dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal (yang artinya):
“ Tak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tiada illah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya kecuali Allah mengharamkan baginya neraka.” (Riwayat Muslim)

Sudahkah mereka memahami, apa makna kalimat Laa ilaaha illallah? Apa syarat dan rukun-nya, apa pula konsekuensinya dan pembatal-pembatalnya?

Ketika mereka (para penyembah berhala) diberitahu, dijelaskan kebenaran, kebanyakan dari mereka berpaling, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Mereka tetap saja menyembah berhala dan tidak mau mendengarkan firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, serta menolak petunjuk orang-orang yang memberi nasihat, dan barangkali juga mereka justru menentang dan menyakiti orang yang mengingkari kebatilan dan dosa-dosa mereka. Allahu Musta’an.

Mereka lupa (atau berpura-pura lupa?) atau bodoh (atau berpura-pura bodoh?)? Atau memang karena tidak tahu? Belum sampai penjelasan kepada mereka? entahlah. Allahu A’lam; bahwa di dalam kalimat Laa ilaaha illallah terdapat syarat dan rukun yang harus kita penuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus kita laksanakan, ada juga pembatal-pembatal yang harus kita tingggalkan dan jauhi. Jadi tidak semata-mata hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah semuanya menjadi beres.

Kalau kita tidak waspada dan hati-hati, kita dapat berbuat seperti mereka, melakukan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan Laa ilaaha illallah kita. Naudzu billahi min dzalik. Kita berlindung dari hal yang demikian.

Karenanya mari kita bersama-sama mengoreksi syahadat Laa ilaaha illallah yang telah kita ucapkan. Apakah sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maknanya, konsekuensinya, apakah telah meninggalkan pembatal-pembatalnya atau belum. Apabila sudah, alhamdulillah, itu yang kita harapkan. Namun apabila sebaliknya, marilah kita perbaiki, mumpung masih ada kesempatan. Selagi ajal belum sampai tenggorokan.

Makna Laa ilaaha illallah

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin dalam bukunya yang diterjemahkan menjadi “Murnikan Syahadat Anda” (hal.35) membawakan analisa Syaikh Sulaiman bin Abdullah dalam buku tafsir ‘Aziz Al-Hamid syarah Kitab Tauhid halaman 53; beliau, Syaikh Sulaiman bin Abdullah menyebutkan makna Laa ilaaha illallah adalah Laa ma’ buda bihaqqin illa ilaahun wahid (tidak ada yang disembah yang sebenarnya kecuali ilah yang satu), yaitu Allah yang tunggal yang tiada memiliki sekutu baginya.

“Dan tiadalah Kami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’:25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:36)

Makna ilah yang sebenarnya adalah al-ma’bud (sesuatu yang disembah). Karenanya ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajak orang musyrik Quraisy untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah, mereka menjawab:
“Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad:5)
Demikian penjelasan Syaikh Jibrin pada buku tersebut hal.35-37.


Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan di dalam bukunya, yang diterjemahkan dengan judul “Kitab Tauhid I” pada hal 52-53 menjelaskan beberapa penafsiran batil menganai Laa ilaaha illallah ini yang banyak beredar di masyrakat. (Saya nukil dengan sedikit perubahan) Adapun yang menafsirkan “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, “Tidak ada Tuhan selain Allah”; ini adalah tafsiran yang batil. Hal ini menyelisihi kenyataan, karena pada kenyataannya ada yang disembah kecuali Allah. Kemudian, tafsiran tersebut dapat berarti juga bahwa setiap yang disembah baik yang haq maupun batil adalah Allah.
Sedangkan penafsiran “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizqi kecuali Allah”, ini hanyalah sebagian dari arti kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mencakup tauhid rububiyah saja, sedangkan tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, dan asma dan sifat Allah.
Demikian pula penafsiran “Tidak ada hakim (penentu hukum) kecuali Allah”, ini juga cuma sebagian dari kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dikehendaki, karenanya maknanya belum cukup.

Syarat Laa ilaaha illallah

Bersaksi Laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat, tanpa syarat-syarat ini tidak bermanfaat bagi yang mengucapkan. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Al-Ilmu artinya mengetahui makna kalimat ini. Karenanya orang yang mengucapkan tanpa memahami makna dan konsekuensinya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara dengan bahasa tertentu tapi ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.

Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya):
“Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah.” (Muhammad:19)
“Melainkan orang yang menyaksikan kebenaran sedang mereka mengerti.” (Az-Zukhruf:86)

Hadits dari Utsman bin Affan Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa mati dan dia mengetahui bahwasanya Laa ilaaha illallah ,maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)

2. Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat ini tanpa ragu dan bimbang sedikitpun.

Dalilnya firman Allah (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman keapda Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)

Hadits dari Abu Hurairah (yang artinya):
“Tidaklah bertemu Allah seorang hamba yang membawa kedua kalimat syahadat dan dia betul-betul tidak ragu-ragu kecuali dia masuk surga.” (HR. Muslim)

3. Al-Ikhlas artinya ikhlas tanpa disertai kesyirikan sedikitpun. Inilah konsekuensi pokok Laa ilaaha illallah.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
”Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan semata mengharap agar mendapat ridha Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari-Muslim)

4. Ash-Shidqu artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak sekali yang mengucapkan kalimat ini akan tetapi tidak diyakini isinya dalam hati.

Firman Allah (yang artinya):
“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allahdan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mreka berdusta.” (Al-Baqarah:8-10)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tiadalah seseorang bersaksi secara jujur dari hatinya bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali orang tersebut diharamkan dari neraka.” (Bukhari-Muslim)

5. Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya serta merasa gembira dengan hal itu, hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang munafik.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165)

Dalam hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Tiga perkara, jika dimiliki oelh seseorang, ia akan mendapat manisnya iman, yaiut: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, mencintai seseorang karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran seperti ia membenci jika dicampakkan ke dalam api neraka.”

6. Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlas dan mencari ridha Allah, ini termasuk konsekuensinya.

Firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya):
“Dan siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat baik, maka dia telah berpegang kepada urwatul wutsqa.” (Lukman:22)

7. Al-Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak, hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallah mereka takabur.” (Ash-Shofat:35)

Syarat-syarat di atas diambil oleh para ulama dari nash Al-Qur’an dan sunnah yang membahas secara khusus tentang kalimat agung ini, menjelaskan hak dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya. Yang intinya, kalimat Laa ilaaha illallah bukan sekedar diucapkan dengan lisan.

Rukun Laa ilaaha illallah

Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun, yaitu:

1. An-Nafyu (peniadaan) artinya membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.

2. Al-Itsbat (penetapan) artinya menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.

Dalil dari kedua rukun Laa ilaaha illallah ini adalah firman Allah (yang artinya):
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…” (Al Baqarah:256)

‘Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut’ adalah makna dari rukun pertama Laa ilaaha, sedangkan ‘Beriman kepada Allah’ adalah makna rukun kedua illallah.

Konsekuensi Laa ilaaha illallah

Mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallah adalah dengan cara menyembah Allah dengan ikhlas dan mengingkari segala jenis peribadatan kepada selain Allah (syirik). Inilah tujuan utama kalimat ini. Termasuk konsekuensi kalimat ini adalah menerima (dengan ketundukan yang penuh) syariat Allah dalam masalah ibadah, muamalah, halal, haram dan menolak segala macam bentuk syariat dari selain-Nya.

Allah berfirman (yang artinya):
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura:21)

Pembatal-Pembatal Laa ilaaha illallah

Di dalam buku: “Penjelasan Tentang Pembatal Keislaman” disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah atau pembatal keislaman adalah hal-hal yang dapat merusakkan keislaman seseorang. Manakala hal itu menimpa diri seseorang, maka hal itu dapat merusakkan keislamannya dan mengguggurkan amalan-amalannya, dan dia menjadi termasuk orang-orang yang kekal di dalam api neraka.

Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib mempelajari pembatal-pembatal ini. Jika tiadak, maka bisa jadi seorang muslim terperosok ke dalamnya sedangkan ia tidak merasa, seperti yang terlihat pada kebanyakan orang yang mengaku dirinya sebagai orang islam. La Haula wa la Quwwata Illah Billah!

Di dalam buku tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah ini jumlahnya banyak, tapi yang pokok ada sepuluh. Pembatal-pembatal yang lain kembalinya kepada yang sepuluh ini. Saya ringkskan permasalahan ini dari buku tersebut untuk Anda wahai Saudaraku. Pahamilah! Pembatal-pembatal tersebut adalah:

1.Syirik dalam beribadah kepada Allah
Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih kurban untuk selain Allah, seperti untuk jin atau kuburan, jembatan, rumah, atau lainnya.

Allah berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’:48)

Ada ulama yang membagi syirik menjadi tiga, yaitu: syirik akbar, syirik ashghar, dan syirik khafi. Namun ada juga yang cuma membagi menjadi dua, yaitu: syirik akbar dan syirik ashgar.

Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam dan menjadikannya pelakunya kekal di dalam neraka, jika ia mati dalam keadaan membawa dosa syirik besar tersebut dan belum bertaubat.
Diantara yang termasuk syirik besar adalah penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, takut kepada orang yang mati, jin, syaithan bahwa mereka bisa membahayakan dan membuat sakit, meminta kepada orang mati.

Syirik besar dibagi menjadi empat, yaitu syirik doa(disamping berdoa kepada Allah juga berdoa kepada selainnya), syirik niat, keinginan dan tujuan (menunjukkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah), syirik ketaatan (mentaaati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah), syirik kecintaan (menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan).

Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari Islam, tetapi mengurangi tauhid dan merupakan perantara kepada syirik besar.
Syirik kecil dibagi dua, yaitu syirik zhahir (nyata) dan syirik khafi (tersembunyi).
Syirik zhahir ini terdiri dari perkataan dan perbuatan. Contoh dari perkataan adalah ucapan “Kalau bukan karena Allah dan karena si fulan”, adapun contoh yang berupa perbuatan misalnya memakai kalung atau benang sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya atau namimah. Apabila ia berkeyakinan bahwa hal itu sebagai perantara maka ia jatuh pada syirik kecil, namun apabila ia berkeyakin bahwa hal itu dapat menolak bahaya maka itu syirik besar.
Syirik khafi yaitu syirik dalam keingin dan niat, seperti riya (ingin dipuji orang), sum’ah (ingin didengar orang)

2.Orang yang membuat “Perantara” antara dirinya dengan Allah, yang kepada perantara-perantara itu ia berdoa atau meminta syafaat, serta bertawakal kepada mereka; maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.

“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra:56-57)

3.Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan madzab (ideologi) mereka.

Mengapa demikian?
Sebab, Allah Jalla wa ‘Ala telah mengkafirkan mereka melalui sekian banyak ayat di dalam kitab-Nya serta memerintahkan untuk memusuhi mereka disebabkan karena mereka telah mengada-adakan kebohongan atas nama Allah, menjadikan sekutu-sekutu di samping Allah serta menganggap Allah mempunyai anak laki-laki. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Allah Jalla wa ‘Ala telah mewajibkan atas kaum muslimin untuk memusuhi dan membenci mereka.
Seseorang tidak bisa disebut sebagai muslim, sehingga ia mengkafirkan orang-orang musyrik. Jika ia meragukan hal itu, padahal persoalannya sudah nyata mengenai siapa sebenarnya mereka itu, atau ia bimbang mengenai kekafiran mereka padahal ia telah memperoleh kejelasan, berarti ia telah kafir seperti mereka.
Orang yang membenarkan orang-orang musyrik itu dan menganggap baik terhadap kekufuran dan kezhaliman mereka, maka ia berarti kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. Sebab, ia berarti belum/tidak mengenal Islam secara hakiki, yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepadaNya dengan ketaatan, berlepas diri dari syirik dan orang-orang yang berbuat syirik. Sedangkan ia justru berwala’ (memberikan loyalitas) terhadap ahli syirik, mana mungkin dia akan mengkafirkan mereka.

Allah berfirman (yang artinya):
“Sesugguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah:4)

Inilah millah Ibrahim, barang siapa membencinya, maka ia berarti telah membodohi diri sendiri. Perhatikan pula surat Al-Maidah:51, Ali Imron:28, Az-Zukhruf:26-27, at-taubah:5, at-taubah:23, al-Mujadilah:23, al-mumtahanah:1, dan msih banyak ayat lain yang menjelaskan mengenai permasalahan ini. Perhatikanlah wahai Saudaraku kamu muslimin. Janganlah kalian tertipu oleh dai-dai yang menyeru kepada api neraka!!

4.Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau meyakini ada hukum yang lebih baik daripada hukum beliau; seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran:19)
“Barangsiapa mencari agama selain dari dien (agama) Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imron:85)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya):
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di tengah-tengah kalian, kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka pastilah kalian telah tersesat denagn keseatan yang jauh.” (HR. Ahmad)

5.Membenci sebagian (apalagi seluruhnya) ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, walaupun ia mengamalkannya.

“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhya mereka benci kepda apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:8-9)

6.Memperolok-olok sebagian ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau memperolok pahala dan hukuman Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah:65-66)

7.Sihir, seperti sharf (jenis sihir yang ditujukan untuk memisahkan seseorang dengan kekasihnya) dan ‘athaf (di kalangan orang Jawa dikenal dengan istilah pelet). Ia melakukannya atau rela dengan sihir.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya):
“Keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah:102)

8.Tolong menolong dengan kaum musyrikin dan bantu membantu dengan mereka dalam menghadapi kaum muslimin.

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Barangsiapa di antara kalian yang tolong-menolong dengan mereka, maka ia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah:51)

9.Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari syariat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana keleluasaan Nabi Khidir untuk tidak mengikuti syariat Musa alaihi salam.

Dalilnya adalah:
An-Nasa’I dan laiinya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa beliau melihat lembaran dari kitab Taurat di tangan Umar bin Al-Khattab Radhiallahu 'Anhu, lalu beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Apakah kamu masih juga bingung wahai putera al-Khathab?!, padahal aku telah membawakan kepadamau ajaran yang putih bersih. Seandainya Musa masih hidup, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, tentulah kamu tersesat.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Seandainya Musa masih hidup, maka tiada keleluasaan baginay kecuali harus mengikutiku,”
lalu Umar pun berkata: “Aku telah ridha bila Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien (agama), dan Muhammad (Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) sebagai nabi.”

10.Berpaling dari dinul (agama) Islam, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya.

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling dari padanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah:22)


Wahai saudaraku,
Semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk kepada kebenaran; ketahuilah bahwa pelaku-pelaku hal-hal yang membatalkan keislaman seseorang di atas, tidak ada bedanya antara yang melakukan dengan main-main, sungguh-sungguh, ataupun takut (karena harta,jabatan). Semuanya sama saja, kecuali bagi orang yang dipaksa. Orang yang dipaksa memiliki udzur sebagaimana kisahnya Ammar bin Yassir yang kemudian turun ayat An-Nahl:106.

Semua hal itu besar sekali bahayanya, karenanya setiap kita harus berhati-hati dan menjaga diri dengan baik. Jangan sampai kita terjerumus dalam hal yang berbahaya ini. Kita berlindung kepada Allah dari murka dan adzab-Nya yang pedih.

Untuk melengkapi risalah ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang dapat mengurangi,merusak,atau membatalkan kesempurnan tauhid Laa ilaaha illallah ini, selain apa yang telah disebutkan di atas. Diantaranya adalah:
Menggunakan benang, gelang, dan sejenisnya untuk menangkal bahaya. Termasuk juga menggantungkan selembar kertas, sepotong logam kuningan atau besi yang di atasnya tertulis lafdhul jalalah (Allah) atau ayat kursi atau meletakkan mushaf al-Qur’an di dalam mobil atau tempat lainnya dengan keyakinan bahwa semua itu dapat menjaga dan mencegahnya dari bahaya kecelakaan, dari kejelekan pandangan mata yang mengandung sihir (‘ain). Termasuk pula memasang sepotong kertas atau logam yang berbentuk telapak tangan atau terdapat gambar mata dengan keyakinan untuk mencegah pandangan mata (‘ain). Memasang rajah-rajah di warung atau toko dengan harapan agar terhindar dari kecurian,perampokan, dan harapan agar dagangannya laris.
Menggunakan akik, sabuk, atau benda-benda lainnya yang katanya benda tersebut sudah “diisi”, sehingga orang yang menggunakannya memiliki kesaktian, kekebalan, dan lain sebagainya dari banutan jin.
Ilmu-ilmu tenaga dalam yang menggunakan bantuan jin, apakah itu white magic ataupun black magic. Semuanya itu dilarang oleh syariat Islam. Apakah itu yang langsung “diisi” ataupun yang diperoleh dengan menggunakan ayat-ayat atau dzikir-dzikir yang bid’ah yang beraneka ragam yang tidak ada asalnya. Semuanya itu dapat merusak syahadat Laa ilaaha illallah.
Melakukan ruqyah-ruqyah yang tidak syar’i. Membaca hal-hal yang tidak dimengerti. Membaca ayat Qur’an dicampur hafalan-hafalan lain yang mengandung kesyirikan. Termasuk juga pengobatan-pengobatan “alternatif” yang dilakukan oleh para dukun dengan nama yang beraneka ragam, dengan mengelabui kaum muslimin bahwa seolah-olah pengobatannya adalah pengobatan sacara islam, yang diperbolehkan. Di antaranya adalah pemindahan penyakit dari orang yang sakit ke binatang, kemudian binatang itu disembelih untuk melihat bagian mana yang sakit dari si penderita.
Melakukan penyembelihan bukan karena Allah. Untuk rumah atau gedung yang baru di bangun. Disembelih untuk jembatan-jembatan. Penyembelihan kurban pada bulan Syuro (apa yang dinamakan Syuran). yang semuanya itu bertujuan untuk mengambil manfaat dan menghindari kejahatan dari jin dan setan yang dianggap menunggu dan atau menguasai tempat tersebut. Termasuk juga pembuatan bubur syuro yang ada pada masyarakat jawa. Bernadzar, isti’adzah (mohon perlindungan), istighatsah (mohon pertolongan tuk dimenangkan), dan berdoa kepada selain Allah juga tidak diperbolehkan. Hal yang demikian merusak tauhid.
“Ngalap berkah” ke kuburan-kuburan/petilasan-petilasan orang-orang yang dianggap shaleh seperti: kyai, nyai, syaikh. Atau “ngalap berkah” ke pohon-pohon angker, tempat-tempat “wingit”. Ada juga yang ke kuburannya para pahlawan, raja, presiden, ataupun nenek moyang. Bahkan ada juga ke makam yang sebenarnya kosong tapi dikatakan sebagai makamnya orang shaleh. Yang aneh lagi, ada juga kuburan yang didatangi untuk ngalap berkah ini yang merupakan kuburan binatang!!.
Beribadah di samping kubur dengan keyakinan hal itu lebih afdhal. Meminta kepada penghuni kubur, menjadikan penghuni kubur sebagai perantara antara kita dengan Allah. Melakukan thawaf di kuburan. Kita dilarang sholat di kuburan karena dapat menggiring kepada kesyirikan, bagaimana pula kalau kita beribadah kepada kubur? Untuk menjaga tauhid kita dilarang untuk membuat bangunan di atas kubur (memasang “kijing”). Kita dilarang juga untuk menjadikan kuburan sebagai ied (hari raya).
Kita dilarang untuk bersikap berlebih-lebihan kepada orang shalih dan mengangkat mereka melebihi dari kedudukannya. Ada di antara kaum muslimin yang mengangkat mereka melebihi kedudukannya, mereka angkat sederajat dengan kedudukan rasul, bahkan sederajat dengan Allah. Orang-orang shalih tersebut dianggap ma’sum, terbebas dari dosa.
Sebagaimana dijelaskan di atas, kita tidak boleh melakukan sihir, mendatangi tukang sihir, dukun, para normal, orang pintar, atau apapun namanya yang berprofesi seperti mereka, yang mengaku mengetahui hal yang ghaib. Kita tidak boleh mendatangi, bertanya, apalagi membenarkan mereka. Hal ini dapat merusak tauhid kita, merusak Laa ilaaha illallah kita. Termasuk juga ilmu nujum yang menggunakan perbintangan yang sekarang ini dinamakan astrologi. Demikian pula Zodiak-zodiak seperti: leo, pisces, aries, dan sebagainya; yang hal ini marak di koran, majalah, ataupun di televisi. Semua ini adalah dilarang.
Merasa bernasib sial karena suatu hal juga dilarang. Hal ini dalam bahasa dien (agama) dinamakan sebagai thiyarah. Merasa sial kalau mendengar suara burung tertentu, sehingga membatalkan rencananya. Apabila menabrak kucing ketika berkendaraan sudah pasti akan merasa sial (misalnya kecelakaan).Takut mengadakan perkawinan pada bulan Muharram (Suro), tidak boleh bepergian pada hari Sabtu karena hari tersebut hari sial, dan hal-hal lainnya yang semacam dengan ini. Semuanya ini adalah batil. Tidak ada perhitungan bulan atau hari baik, semua hari adalah baik.
Termasuk perbuatan merusak tauhid ada

Sumber : perpustakaan-islam.com

Tahapan - Tahapan Menuntut Ilmu

Pertama
Lebih efektif karena seorang alim mempunyai daya telaah dan pengetahuan dan memberikan ilmu kepadamu dengan ilmu yang matang dan mudah.

Kedua
Mencari ilmu dari seorang yang alim akan lebih dekat kepada kebenaran, dalam arti orang yang menuntut ilmu kepada seorang yang bukan alim akan menimbulkan sikap mengada-ada dan pendapat-pendapat yang syadz (menyimpang/ganjil) yang jauh dari kebenaran. Hal itu disebabkan karena dia tidak membaca kitab di hadapan orang alim yang ilmunya mendalam sehingga bisa mendidiknya di atas jalan yang dipilihnya.

Maka menurut pendapat saya, seseorang harus bersungguhsungguh memiliki seorang guru untuk mencari ilmu, karena jika dia memiliki guru maka guru tersebut akan mengarahkannya dengan pengarahan yang menurutnya sesuai dengan murid (yang diajarnya).

Adapun jawaban bagi pertanyaan di atas, maka secara umum kita katakan:

Pertama
Lebih utama bagi seseorang untuk menghafal Kitabullah sebelum kitab lainnya karena ini merupakan kebiasaan para Sahabat radhiallahu?anhum. Mereka tidak bergeser dari sepuluh ayat pertama sebelum mereka mempelajari (menghafal) ilmu yang terkandung di dalamnya serta mengamalkannya. Dan Kalamullah adalah kalam yang paling sempurna secara mutlak.

Kedua
Dia harus mengambil matan (redaksi) hadits-hadits ringkas yang akan menjadi simpanan baginya ketika berdalil dengan Sunnah, seperti `Umdatul Ahkaam, Buluughul Maraam, al Arba'iin An Nawawiyyah dan yang semisalnya.

Ketiga
Menghafal matan-matan fiqih yang sesuai dengan dirinya dan matan yang paling bagus yang kita hafal adalah Zaadul Mustaqni' fii Ikhtishaaril Muqni' karena (syarah) kitab ini telah dikerjakan oleh pensyarahnya Manshur bin Yunus al-Bahuthi dan orang-orang setelahnya dari orang-orang yang mengerjakan syarah dan matan kitab ini dengan catatan kaki yang banyak.

Keempat
Nahwu. Tahukah engkau apa itu nahwu yang tidak diketahui oleh para penuntut ilmu kecuali hanya sedikit saja di antara mereka sehingga engkau melihat seseorang telah lulus dari satu fakultas dalam keadaan tidak mengetahui ilmu nahwu sedikit pun, persis seperti apa yang digambarkan oleh seorang penya'ir:

لا بارك الله في النحو ولا أهله * إذا كان منسـوبا إلى نفطويه
أحـرقه الله بنصـف اسـمه * وجعل الباقي صـراخاً عليه


Semoga Allah tidak memberi barakah dalam nahwu dan ahlinya
Apabila dia dinisbatkan kepada omongan yang tidak terfahami
Semoga Allah membakarnya dengan separuh namanya
Dan menjadikan sisanya sebagai teriakan atasnya.

Mengapa penya'ir ini berkata demikian? Jawabnya karena dia lemah tentang nahwu. Tetapi saya katakan bahwa pintu nahwu itu pintunya dari besi, sedangkan lorongnya adalah benang emas. Artinya dia amat keras dan sukar ketika pertama kali memasukinya tetapi jika pintunya telah terbuka bagi orang yang mencarinya, dia akan merasakan kemudahan pada langkah selanjutnya dengan semudah-mudahnya sehingga jadilah dia sesuatu yang mudah baginya, sehingga beberapa penuntut ilmu yang baru memulai dalam mempelajari nahwu menjadi terpikat. Maka jika engkau berbicara kepada mereka dengan pembicaraan yang biasa, dia akan mengi'rabnya (mengurainya) agar terlatih dalam hal i'rab. Di antara matan nahwu yang paling baik adalah al-Aajuruumiyyah, sebuah kitab yang ringkas tetapi sangat terfokus (padat). Oleh karena itu saya nasihatkan bagi para pemula untuk memulai dengan kitab ini. Maka inilah pokok-pokok yang harus dijadikan landasan bagi para penuntut ilmu.

Kelima
Adapun yang berhubungan dengan ilmu tauhid, maka kitab-kitab tentang masalah ini amatlah banyak. Di antaranya: Kitaabut Tauhiid karya Syaikhul Islam Muhammad bin `Abdil Wah-hab rahimahullah, al-Aqiidah al-Waasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab ini sangat banyak dan sangat dikenal, wal hamdulillah

Dan nasihat umum bagi para penuntut ilmu bahwa ilmunya harus berdampak terhadap dirinya berupa takwa kepada Allah melaksanakan ketaatan kepada-Nya, berakhlak mulia, ihsan (berbuat baik) kepada sesama makhluk dengan cars mengajar, membimbing, dan gigih dalam menyiarkan ilmu melalui berbagai media, baik melalui koran, majalah, kitab-kitab, risalah, buletin dan media lainnya.

Saya pun menasihatkan kepada para penuntut ilmu agar tidak tergesa-gesa dalam menghukumi (memvonis) sesuatu. Karena sebagian penuntut ilmu yang masih pemula engkau lihat tergesa-gesa dalam berfatwa dan menetapkan hukum. Dan terkadang menyalahkan para ulama besar sedangkan dia (memiliki tingkatan yang) jauh di bawah para ulama tersebut, sehingga beberapa orang mengatakan, Saya berdebat dengan salah seorang penuntut ilmu yang masih pemula, lalu saya katakan kepadanya bahwa ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Maka dia berkata, Siapa Imam Ahmad bin Hanbal? Imam Ahmad bin Hanbal laki-laki, kita pun laki-laki. Subhanallaah!!. Memang benar Imam Ahmad bin Hanbal laki-laki dan engkau laki-laki sehingga kalian berdua sama dalam hal kelaki-lakiannya, adapun dalam hal ilmu maka antara kalian berdua terdapat perbedaan yang amat jauh. Tidak semua laki-laki layak dianggap sebagai laki-laki dalam hal ilmu.
Saya katakan: Seorang penuntut ilmu wajib bertatakrama dengan sikap tawadhu', tidak merasa ta'jub dengan diri sendiri, dan hendaklah mengetahui kemampuan diri.

Di antara hal yang penting bagi seorang penuntut ilmu: janganlah dia banyak menelaah pendapat para ulama, karena jika engkau banyak menelaah pandapat para ulama dan menelaah al-Mughni dalam masalah fiqih karya Ibnu Qudamah, al-Majmuu' karya anNawawi, dan kitab-kitab besar yang menerangkan ikhtilaf dan engkau mendiskusikannya, maka engkau akan sia-sia (rusak). Mulailah pertama kali, seperti yang telah saya katakan, dengan matan-matan yang ringkas, sedikit demi sedikit sehingga engkau akan sampai kepada tujuan. Adapun jika engkau ingin menaiki pohon dari rantingnya, maka ini adalah salah.

Diambil dari Kitabul 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Hukum taklid dan bermadzhab

Syaikh Al-Bany ditanya:
Apa dalil haramnya taklid? Dan bagaimana hukum bermazhab?

Jawaban:
Saya tidak mengetahui dalil haramnya taklid, bahkan taklid merupakan suatu keharusan bagi orang yang tidak memiliki ilmu. Allah azza wa jalla telah berfirman:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An Nahl: 43)

Berdasarkan ayat ini, kaum muslimin dalam hal ilmu dibagi menjadi dua bagian:

Pertama:
Seorang yang berilmu ('alim) wajib baginya menjawab pertanyaan orang yang bertanya.

Kedua:
Orang yang tidak berilmu, wajib bertanya kepada seorang yang berilmu.
Seseorang yang bertanya kepada ustadz atau ulama yang berilmu jika menghadapi satu masalah berarti telah mengamalkan ayat di atas.

Barangkali maksud si penanya adalah bagaimana hukumnya jika seseorang dalam menjalankan agamanya mengikuti tata cara salah satu mazhab dan tidak peduli dengan mazhab yang lain atau pendapat-pendapat ulama yang tidak sesuai dengan mazhab yang dia anut, jawabannya tentu saja bermazhab seperti ini tidak dibolehkan, karena bertentangan dengan dalil-dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits Nabi .

Dan para ulama telah membagi manusia dalam beragama kepada tiga golongan:
  1. Mujtahid (orang yang berijtihad).
  2. Muttabi (orangyang mengikuti dalil-pent), ia berada di atas ilmu
  3. Muqollid (orang yang ikut-ikutan, tidak mempunyai ilmu-pent), kebanyakan manusia termasuk dalam golongan terakhir ini.

Dengan demikian, tidak bisa kita katakan bahwa taklid secara mutlak hukumnya haram, kecuali taklid buta.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah

Jumat, 25 Januari 2008

Janji Allah Bagi Orang Yang Akan Menikah

Ketika seorang muslim baik pria atau wanita akan menikah, biasanya akan timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, termasuk juga tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping, dll. Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada juga perasaan keraguan.

Berikut ini sekelumit apa yang bisa saya hadirkan kepada pembaca agar dapat meredam perasaan negatif dan semoga mendatangkan optimisme dalam mencari teman hidup. Semoga bermanfaat buat saya pribadi dan kaum muslimin semuanya. Saya memohon kepada Allah semoga usaha saya ini mendatangkan pahala yang tiada putus bagi saya.

Inilah kabar gembira berupa janji Allah bagi orang yang akan menikah. Bergembiralah wahai saudaraku…

1. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur : 26)
Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Hiduplah sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh, jadilah wanita yang sholehah. Semoga Allah memberikan hanya yang baik buat kita. Amin.

2. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32)

Sebagian para pemuda ada yang merasa bingung dan bimbang ketika akan menikah. Salah satu sebabnya adalah karena belum punya pekerjaan. Dan anehnya ketika para pemuda telah mempunyai pekerjaan pun tetap ada perasaan bimbang juga. Sebagian mereka tetap ragu dengan besaran rupiah yang mereka dapatkan dari gajinya. Dalam pikiran mereka terbesit, “apa cukup untuk berkeluarga dengan gaji sekian?”.

Ayat tersebut merupakan jawaban buat mereka yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena alasan ekonomi. Yang perlu ditekankan kepada para pemuda dalam masalah ini adalah kesanggupan untuk memberi nafkah, dan terus bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan besaran rupiah yang sekarang mereka dapatkan. Nantinya Allah akan menolong mereka yang menikah. Allah Maha Adil, bila tanggung jawab para pemuda bertambah – dengan kewajiban menafkahi istri-istri dan anak-anaknya, maka Allah akan memberikan rejeki yang lebih. Tidakkah kita lihat kenyataan di masyarakat, banyak mereka yang semula miskin tidak punya apa-apa ketika menikah, kemudian Allah memberinya rejeki yang berlimpah dan mencukupkan kebutuhannya?

3. “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160) [1]

Bagi siapa saja yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka berhak mendapatkan pertolongan dari Allah berdasarkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Dan pertolongan Allah itu pasti datang.

4. “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar Ruum : 21)

5. “Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’ ”. (Al Mu’min : 60)

Ini juga janji Allah ‘Azza wa Jalla, bila kita berdoa kepada Allah niscaya akan diperkenankan-Nya. Termasuk di dalamnya ketika kita berdoa memohon diberikan pendamping hidup yang agamanya baik, cantik, penurut, dan seterusnya.

Dalam berdoa perhatikan adab dan sebab terkabulnya doa. Diantaranya adalah ikhlash, bersungguh-sungguh, merendahkan diri, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dll. [2]

Perhatikan juga waktu-waktu yang mustajab dalam berdoa. Diantaranya adalah berdoa pada waktu sepertiga malam yang terakhir dimana Allah ‘Azza wa Jalla turun ke langit dunia [3], pada waktu antara adzan dan iqamah, pada waktu turun hujan, dll. [4]

Perhatikan juga penghalang terkabulnya doa. Diantaranya adalah makan dan minum dari yang haram, juga makan, minum dan berpakaian dari usaha yang haram, melakukan apa yang diharamkan Allah, dan lain-lain. [5]

Manfaat lain dari berdoa berarti kita meyakini keberadaan Allah, mengakui bahwa Allah itu tempat meminta, mengakui bahwa Allah Maha Kaya, mengakui bahwa Allah Maha Mendengar, dst.

Sebagian orang ketika jodohnya tidak kunjung datang maka mereka pergi ke dukun-dukun berharap agar jodohnya lancar. Sebagian orang ada juga yang menggunakan guna-guna. Cara-cara seperti ini jelas dilarang oleh Islam. Perhatikan hadits-hadits berikut yang merupakan peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang mendatangi peramal / dukun, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam”. (Hadits shahih riwayat Muslim (7/37) dan Ahmad). [6]

Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka janganlah kamu mendatangi dukun-dukun itu.” (Shahih riwayat Muslim juz 7 hal. 35). [7]

Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jampi-jampi (mantera) dan jimat-jimat dan guna-guna (pelet) itu adalah (hukumnya) syirik.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad dan Hakim). [8]

6. ”Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. (Al Baqarah : 153)
Mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat. Tentunya agar datang pertolongan Allah, maka kita juga harus bersabar sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga harus shalat sesuai Sunnahnya dan terbebas dari bid’ah-bid’ah.

7. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Alam Nasyrah : 5 – 6)
Ini juga janji Allah. Mungkin terasa bagi kita jodoh yang dinanti tidak kunjung datang. Segalanya terasa sulit. Tetapi kita harus tetap berbaik sangka kepada Allah dan yakinlah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Allah sendiri yang menegaskan dua kali dalam Surat Alam Nasyrah.

8. “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad : 7)
Agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita, maka kita tolong agama Allah. Baik dengan berinfak di jalan-Nya, membantu penyebaran dakwah Islam dengan penyebaran buletin atau buku-buku Islam, membantu penyelenggaraan pengajian, dll. Dengan itu semoga Allah menolong kita.

9. “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Al Hajj : 40)

10. “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al Baqarah : 214)


Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan menyalahi janjinya. Kalaupun Allah tidak / belum mengabulkan doa kita, tentu ada hikmah dan kasih sayang Allah yang lebih besar buat kita. Kita harus berbaik sangka kepada Allah. Inilah keyakinan yang harus ada pada setiap muslim.

Jadi, kenapa ragu dengan janji Allah?


Chandraleka
hchandraleka(at)telkom.net


Footnote:
[1] Lihat Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep Perkawinan dalam Islam, Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995, hal. 12
[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004, hal. 1 – 2
[3] Allah turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir. Allah lalu berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan! Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri! Siapa yang meminta ampun kepada-Ku tentu Aku ampuni.” Demikianlah keadaannya hingga fajar terbit. (HR. Bukhari 145, Muslim 758) (lihat Tahajjud Nabi, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, Media Hidayah, Sept. 2003, hal. 27).
[4] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004, hal. 8 – 14
[5] Idem, hal. 15 – 22
[6] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al – Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul Qalam, Jakarta, Cet. II, 2004 M, hal. 103
[7] Idem, hal. 105
[8] Idem, hal. 101

--------------------------------------------------------------------------------
Referensi: Referensi : Footnote: [1] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep Perkawinan dalam Islam, Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995 [2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004 [3] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004 [4] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al – Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul Qalam, Jakarta, Cet. II, 2004 M

Mengapa Engkau Melalaikannya Dalam Sholat...?

Beberapa Perkara yang Perlu Diperhatikan Saat Hendak Shalat

Shalat dengan pakaian yang diharamkan
Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram.
  • Diperoleh dengan cara yang haram, mungkin dengan mencuri ataupun merampasnya dari orang lain atau yang semisalnya.

  • Zat pakaian itu haram, seperti pakaian sutera dan emas yang diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya atau pakaian yang bergambar makhluk hidup (manusia dan hewan).

  • Sifat pakaian itu haram, seperti seorang laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya.
Shalat mengenakan pakaian yang diharamkan tersebut hukumnya haram. Lantas, apakah shalat yang dikerjakan sah ataukah batal ? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Namun pendapat mayoritas ahlul ilmi adalah shalatnya sah, tidak batal. Pelakunya dianggap telah berbuat maksiat karena melakukan perkara yang diharamkan, yakni memakai pakaian yang diharamkan. Ketika syariat melarang mengenakan sebuah pakaian secara mutlak pada saat menunaikan shalat ataupun di luar shalat, maka ini tidaklah mengandung konsekuensi batalnya shalat yang dikerjakan dengan memakai pakaian tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/ 448).

Shalat dengan memakai pakaian bercorak/ bergambar
Ummul mukminin Aisyah mengabarkan:

“Nabi shalat mengenakan khamishah yang memiliki corak/gambar-gambar. Beliau memandang sekali ke arah gambar-gambarnya. Maka selesai dari shalatnya, beliau bersabda, “Bawalah khamishahku ini kepada Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm , karena khamisah ini hampir menyibukkanku dari shalatku tadi .” Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya dari Aisyah, “Nabi bersabda, “Ketika sedang shalat tadi aku sempat melihat ke gambarnya, maka aku khawatir gambar ini akan melalikan/menggodaku .” (HR. Al-Bukhari no. 373 dan Muslim no. 1239)

Al-Imam An-Nawawi dalam syarah(penjelasan)nya terhadap Shahih Muslim memberi judul bagi hadits di atas dengan “Karahiyatush Shalah fi Tsaubin Lahu A’lam” artinya makruhnya shalat dengan mengenakan pakaian bergambar.

Rasulullah mengatakan bahwa gambar-gambar yang ada pada khamishah tersebut sempat menyibukkan beliau. Maksudnya, hati beliau tersibukkan sesaat dari perhatian secara sempurna terhadap shalat yang sedang dikerjakan, dari mentadaburi dzikir-dzikir dan bacaannya karena memandang gambar yang ada pada khamishah yang sedang dikenakannya. Karena khawatir hati beliau akan tersibukkan dengannya, belaiau pun enggan mengenakan khamishah itu dan memerintahkan agar mengembalikannya kepada Abu Jahm. Dari sini kita pahami, tidak disenanginya mengenakan pakaian yang bercorak/bergambar ketika shalat karena dikhawatirkan akan mengganggu ibadah shalat tersebut, walaupun shalat yang dikerjakan tetap sah. Diambil istimbath hukum dari hadits ini bahwa dimakruhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat seperti hiasan, warna-warni, dan ukiran pada dinding masjid, atau hal-hal lain yang dapat menyibukkan serta memalingkan hati orang yang sedang shalat. (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz Dzikr ‘Aqibash Shalah, Al-Minhaj 5/46, Fathul Bari 1/627, Syarhu Az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ Al-Imam Malik, 1/290)

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Hadits ini menunjukkan bersegeranya Rasulullah untuk memperbaiki shalat (melakukan hal-hal yang memberi kemashalahatan bagi ibadah shalat) serta menyingkirkan apa yang mungkin menodai pelaksanaannya. Di mana beliau melepas khamishah yang dikenakannya, menyuruh sahabatnya untuk mengembalikannya dan meminta penggantinya berupa pakaian lain yang tidak menyibukkan.” (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz-Dzikr ‘Aqibash Shalah)

Zainuddin Abul Fadhl Al-Iraqi menyatakan, “Hadits ini menunjukkan keharusan meyingkirkan apa saja yang dapat menyibukkan orang yang shalat dari ibadah shalatnya dan melalaikannya. Hadits ini juga mengandung hasungan untuk menghadap sepenuhnya pada amalan shalat dan khusyuk di dalamnya. Sebagaimana pula hadits ini menunjukan bahwa pikiran sedikit/sejenak tersibukkan dengan perkara selain shalat tidaklah mencacati keabsahan shalat.” (Tharhu At-Tatsrib, 2/585)

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tidak disenangi untuk shalat di tempat yang padanya ada hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat. Sehingga, sekiranya hal yang mengganggu itu dapat disingkirkan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.

Anas bin Malik berkata, Aisyah memiliki qiram yang dipakainya untuk menutupi sisi rumahnya, maka Nabi bersabda:

“Singkirkan dari kami qirammu ini karena gambar-gambarnya terus menerus terbayang-bayang dalam shalatku.” (HR.Al-Bukhari no. 374)

Shalat Membawa Gambar
Bila seseorang shalat sementara di sakunya ada dompet yang di dalamnya terdapat uang kertas bergambar makhluk hidup, KTP, SIM yang tentunya ada pas fotonya, apakah shalatnya sah ?

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab, “Shalatnya sah. Adapun gambar-gambar yang dibawanya dalam shalat tidaklah mencacati shalatnya karena ia dalam keadaan terpaksa atau ada kebutuhan untuk selalu membawanya. Adapun gambar/ foto kenang-kenangan, untuk mengingat seseorang dan semisalnya, tidak boleh dibawa. Bahkan tidak boleh dibiarkan tetap ada di dalam rumah, namun wajib dimusnahkan. Dengan dalil sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib:

“Jangan engkau membiarkan satu gambar (makhluk hidup) kecuali engkau hanguskan dan jangan pula membiarkan ada satu kuburan yang ditinggalkan kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim dalam Shahihnya)

Kemudian Asy-Syaikh menyebutkan beerapa hadits yang lainnya. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/417)

Shalat di Tempat yang Ada Gambar
Shalat di tempat yang di situ ada gambar-gambar bernyawa seprti gmbar-gambar pada surat kabar, majalah, dan buku-buku, atau gambar yang digantung di dinding hukumnya sah apabila si muslim yang shalat tersebut menunaikan shalatnya dengan tata cara yang diajarkan dalam syariat. Akan tetapi bila ia mencari tempat lain yang tidak ada gambarnya maka itu lebih utama dan lebih afdhal. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/418)

Shalat Beralaskan Tikar
Dibolehkan shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain, atau yang lainnaya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang yang shalat. Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang tentunya dapat menarik perhatian orang yang shalat. Di saat shalat, mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu mengamatinya, terus memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa yang sedang dibacanya dan berapa rakaat ang telah dikerjakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid, karena bia jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya menoleh ke gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362)

Dalil tentang bolehnya shalat dengan memakai alas adalah sebagai berikut:

Anas bin malik mengabrkan bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Rasulullah untuk menyantap hidangan yang dibuatnya. Beliau pun datang memenuhinya serta memakan hidangan yang disajikan. Selesainya, beliau bersabda , “Bangkitlah, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata,”Aku pun bangkit untuk mengambil tikar kami yang telah menghitam karena lamanya dipakai. Aku percikkan air untuk membersihkannya. Rasulullah lalu berdiri. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sementara nenekku berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat mengimami kami, kemudian beliau pergi.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 1497)

Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan:

“Ia pernah masuk menemui Rasulullah, ternyata ia dapatkan beliau sedang shalat di atas tikar, beliau sujud di atas tikar tersebut.” (HR. Muslim no. 1503)

Aisyah berkata:

“Adalah Rasulullah shalat beraaskan khumrah .” (HR. Al-Bukhari no. 379 dan diriwayatkan pula oleh Muslim no. 1502 dari hadits Maimunah)

Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha di berbagai negeri tentang bolehnya shalat di atas/beralas khumrah. Keculai perbuatan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz bahwa ia pernah meminta tanah lalu diletakkannya di atas khumrahnya untuk kemudian sujud di atas tanah tersebut. Mungkin apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz ini karena berlebih-lebihannya beliau dalam sikap tawadhu’ dan khusyuk. Dengan begitu, dalam perbuatan beliau ini tidak ada penyelisihan dengan pendapat jamaah (yang menyatakan bolehnya sujud di atas khumrah).

Ibnu Abi Syaibah meriwaytkan dari ‘Urwah ibnuz Zubair bahwa ia membenci (memakruhkan) shalat di atas sesuatu selain bumi /tanah (membenci shalat dengan memakai alas). Demikian pula riwayat dari selain ‘Urwah. Namun dimungkinkan makruhnya di sini adalah karahah tanzih (bukan haram).” (Fathul Bari, 1/633)

Namun perbuatan Rasulullah ini cukuplah menujukkan kebolehan shalat di atas alas. Wallahu a’lam.

Al-Imam An-Nawawi menyatakan ,”Orang-orang dalam mazhab kami berkata, ‘Tidak dibenci shalat di atas wol, bulu, hamparan, permadani, dan benda-benda seluruhnya. Inilah pendapat dalam mazhab kami’.” (Al-Majmu’, 3/169)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Tidak apa-apa shalat di atas hamparan/tikar dan permadani dari wol, kulit, dan bulu. Sebagaimana dibolehkan shalat di ats kain dari katun, linen, dan seluruh bahan yang suci.” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Tashihhu Ash-Shalah ‘alal Hashir wal Bisath minash Shuf)

Shalat dengan Pakaian yang Dikenankan Saat Buang Hajat/di WC
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini, karena memungkinkan ketika keluar dari WC pakaian mereka terkena najis dan tidak diragukan WC tidak lepas dari najis. Bila demikian, apakah sah shalat mereka dengan mengenakan pakaian tersebut ? beliau menjawab, “Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku hendak mengatakan bahwa syariat Islam ini, alhamdulillah, telah sempurna dari seluruh sisi. Cocok dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan makhluk di atas fitrah tersebut. Di mana pula, agama ini datang dengan kemudahan dan keringanan, bahkan datang untuk menjauhkan manusia dari kebingungan dalam was-was dan bayangan-bayangan yang tidak ada asalny. Berdasarkan hal ini, seseorang dengan pakaian yang dikenakannya berada di atas kesucian, karena hukum asalnya demikian, selama ia tidak yakin tubuh dan pakaiannya terkena najis. Inilah hukum asal yang dipersaksikan oleh sabda Rasulullah tatkala ada seseorang mengadu kepada beliau bahwa ia merasa berhadats ketika sedang mengerjakan shalatnya. Beliau bersabda:

“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendegar suara (angin) atau ia mendapati baunya.”

Maka hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu di atas keadaanya semula (dalam hal ini: suci). Dengan begitu, basahnya pakaian yang dikenankan mereka saat masuk WC, bisakah dipastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan yan najis dari air kencing, tahi, atau semisalnya ? Bila kita tidak bisa memastikan (tidak yakin) dengan perkara ini, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu suci. Memang benar, menurut persangkan yang kuat pakaian itu bisa jadi terkena sedikit najis. Akan tetapi selama kita tidak yakin (sekedar menduga-duga) maka tetap hukum asal sesuatu itu suci, sehingga tidak wajib bagi mereka membasuh pakaian mereka. Dan mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/369)

Shalat Memakai Sandal
Rasulullah terkadang shalat tanpa alas kaki dan terkadang memakai sandal. Beliau membolehkan hal itu kepada umat beliau dengan sabdanya:

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan di antara kedua kakinya, dan jangan ia mengganggu orang ain dengan kedua sandalnya.” (HR. Al-Hakim 1/259, ia berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi. Kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi 1/108, “Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan leh keduanya.”)

Didapatkan pula adanya penekanan beliauagar mengenakan sandal ketika shalat sebagaimana dalam hadits:

“Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan mengenakan sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no.652, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain, hadits no. 471, 1/399)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini memberi faedah disenanginya shalat dengan memakai sandal karena Rasulullah memerintahkannay dengan alasan untuk menyelisihi Yahudi. Minimal hukumnya adalah mustahab, walaupun secara dzahir hukumnya wajib. Karena hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali ada nash yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut. Namun di sini tidaklah wajib hukumnya dengan dalil sabda beliau yang telah disebutkan sebelumnya:

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya…”

Dari ucapan beliau ini menunjukkan seseorang yang shalat diberi pilihan (antara memakai sandal atau melepaskannya) akan tetapi hal ini tidaklah meniadakan hukum mustahabnya…” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109, 110)

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata, ”Mustahabnya dari sisi tujuan menyelisihi Yahudi.”

Sunnah ini tentunya akan dianggap asing oleh masyarakat kita karena ketidaktahuan mereka terhadap hukum-hukum yang rinci dalam agama ini. Juga karena pandangan mereka, apabila seseorang masuk masjid dalam keadaan memakai sandal berarti dia menghinakan masjid dan mengotorinya. Sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan sunnah harus pandai-pandai melihat keadaan dan super hati-hati. Jangan sampai krena ingin menghidupkan sunnah namun hasilya malahan mendatangkan mudarat dan membuat fitnah di tengah masyarakatnya yang awam tersebut, yang menyebabkan sunnah ini justru dibenci dn agama ini semakin dijauhi. Wallahul musta’an.

Oleh karena itu, ajarilah dulu manusia agama yang mudah ini dengan penuh hikmah, sehingga mereka mengerti dan paham, dan pada akhirnya mereka cinta terhadap agama ini dan mengamalkan semua yang datang dari agama yang mulia ini, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Wallahul muwaffiq ila ash-shawab.

Mengatur hari-hari agar penuh Barokah

Bangunlah sebelum fajar dan berdzikir, segera setelah itu, lalu berwudhu, kemudian shalat. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ عَلَى مَكَانِ كُلِّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ. فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذِكْرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Syaithan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat ia tidur dengan tiga ikatan. Pada tiap-tiap ikatan itu, Syaithan menghembuskan: Tidurlah terus, malam masih larut. Maka, jika ia terbangun, hendaklah ia berdzikrullâh, sehingga terputuslah satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (melanjutkannya dengan) berwudhu, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (meneruskannya dengan mengerjakan) shalat, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu (sehingga ikatan Syaithan itu terputus seluruhnya). Dengan demikian, niscaya memancarlah ketangkasan dan kebersihan dari jiwanya, namun jika ia tidak melakukan hal-hal tersebut, maka memancarlah dari jiwanya kekotoran dan berbagai kemalasan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[1], Muslim[2], Ahmad[3], Ibnu Mâjjaĥ[4], Abû Dâwûd[5] dan Mâlik[6]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dalam Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud.

# Sebelum berwudhu, seyogyanya mencuci dulu kedua tangan di luar bejana dan beristintsâr (menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya) serta menggosok gigi. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وُضُوئِهِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka cucilah tangannya sebelum ia mencelupkannya ke dalam air untuk wudhunya, karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya itu terletak ketika tidur.” (Dikeluarkan oleh Muslim[7], Ahmad[8], Ibnu Mâjjaĥ[9], Ad-Darâmiy[10], Abû Dâwûd[11], At-Turmudziy[12], An-Nasâ-iy[13] dan Mâlik[14]). Ini lafaz dari Mâlik. Dalam hadîts yang diterima Ibnu Mâjjaĥ melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy, pencucian tangan itu dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Kebanyakan riwayat menyatakan tiga kali, kecuali hadîts yang diriwayatkan oleh Mâlik serta sebagian dari yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Mâjjaĥ, yang tidak menyebutkan banyaknya pencucian.

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيْتُ عَلَى خَيَاشِيْمِهِ

“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka ber-istintsâr-lah tiga kali, karena sesungguhnya Syaithan bermalam dalam rongga hidungnya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[15], Muslim[16] dan An-Nasâ-iy[17]). Ini lafaz dari Muslim.

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

“Seandainya tidak memberatkan ummatku, aku benar-benar telah memerintahkan menggosok gigi setiap kali wudhu.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[18], An-Nasâ-iy[19] dan Mâlik[20]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy. Ibnu Khuzaimaĥ menilainya shahîh, sedangkan Al-Bukhâriy menilainya mu’allaq.

# Jika berhajat ke kamar kecil atau WC, mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, dilakukan usai buang hajat.

Dalam membuang hajat, tetapilah dengan seksama aturan dan adab-adabnya; sebab, “tidak bersih” dalam kencing saja sudah cukup menjadi jalan datangnya siksa kubur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pernah bersabda ketika melewati dua kuburan yang masih baru:

إِنَّهُمَا لَيُعَذِّبَانِ وَمَا يُعَذِّبَانِ فِى كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ

“Sesungguhnya dua penghuni kubur ini benar-benar tengah ditimpa siksa; dan tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar. Salah seorang dari mereka, disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya; sedangkan yang satunya karena ia senang melakukan namîmah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[21], Muslim[22], Ahmad[23], Ibnu Mâjjaĥ[24], Ad-Darâmiy[25], Abû Dâwûd[26], At-Turmudziy[27] dan An-Nasâ-iy[28]). Ini lafaz dari Ibnu Mâjjaĥ.

# Jika dalam keadaan junub, setelah mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, lakukanlah mandi secara sempurna, sesuai aturan dan adab-adabnya, dan tidak mengapa mencukupkan wudhu dengannya. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ t meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ

“Adalah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam tidak lagi mengambil wudhu sesudah mandi.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[29], Ibnu Mâjjaĥ[30], At-Turmudziy[31] dan An-Nasâ-iy[32]). At-Turmudziy menyatakan hadîts yang diriwayatkannya: hasan shahîh. Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: ba’da l-ghusli mina l-janâbaĥ (sesudah mandi junub).

# Usai berwudhu (atau mandi) dengan sempurna, mengikuti aturan dan adab-adabnya, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat wudhu, dan apabila “fajar shadiq” belum lagi terbit, bagi yang berniat shaum bisa mengerjakan sahur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْفجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرِّمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاةُ وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ

“Fajar itu ada dua: Fajar yang mengharamkan makan-minum, tetapi menghalalkan shalat; dan fajar yang mengharamkan di dalamnya mengerjakan shalat, tetapi menghalalkan makan-minum.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimaĥ dan Al-Hâkim[33]). Al-Hâkim men-shahîh-kan hadîts ini.

Fajar yang pertama itulah yang disebut “Fajar Shadiq”; dan yang kedua, disebut “Fajar Kidzib”.

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ

“Tidak seorang Muslim pun berwudhu dengan membaguskan wudhunya, kemudian berdiri menunaikan shalat dua raka’at dengan menghadapkan sepenuh hati dan wajahnya dalam shalat itu, melainkan wajib baginya Surga.” (Dikeluarkan oleh Muslim[34], Ahmad[35], Abû Dâwûd[36] dan An-Nasâ-iy[37]).

# Apabila fajar shadiq telah terbit, tegakkanlah dua raka’at shalat sunat fajar. Mengenai shalat ini, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiallahu'anhu:

لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدُّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Tidak pernah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam amat sangat mementingkan suatu nawafil seperti halnya terhadap dua raka’at sebelum fajar.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[38], Muslim[39], Ahmad[40], Abû Dâwûd[41] dan An-Nasâ-iy[42]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy.

Apabila luput dari melaksanakannya sebelum shalat shubh, laksanakanlah segera setelah shalat shubh, jika waktu shalat shubh belum berakhir. Qais bin ‘Amrû t meriwayatkan:

خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الصُّبْحِ وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ حِيْنَ فَرَغَ مِنَ الصُّبْحِ فَرَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَمَرَّ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا هَذِهِ الصَّلاَةَ؟ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئاً

“Suatu hari, ia keluar ke Masjid untuk berjama’ah shalat shubh. Setibanya di sana, ia mendapatkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah shalat shubh, padahal ia belum menunaikan dua raka’at shalat fajar. Maka, ia pun shalat shubh bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah selesai, segera ia melaksanakan dua raka’at shalat fajar. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu mendatanginya, dan bertanya: shalat apa ini? Ia pun memberitahu (bahwa itu shalat fajar). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun diam dan berlalu, tidak mengatakan sepatah kata pun.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[43]). Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts ini isnadnya jayyid.

Jika waktu shubh sudah berakhir, matahari telah terbit, “qadhâ” shalat sunat fajar dilaksanakan sesudah matahari agak tinggi. ‘Imrân bin Hushain t meriwayatkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِى مَسِيْرٍ لَهُ فَنَامُوْا عَنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ فَاسْتَيْقَظُوْا بِحَرِّ الشَّمْسِ فَارْتَفَعُوْا قَلِيْلاً حَتَّى اسْتَقَلَّتِ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَ مُؤَذِّناً فَأَذَّنَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَقَامَ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ

“Dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, rombongan tertidur hingga luput melaksanakan shalat fajar. Mereka terbangun saat matahari telah terbit. Lalu mereka melanjutkan perjalanan hingga matahari agak tinggi. Setelah itu, Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pun menyuruh Muadzdzin untuk mengumandangkan adzan, dan beliau pun menunaikan dua raka’at shalat sunat fajar. Lalu dikumandangkanlah iqamah, maka kemudian beliau menunaikan shalat fajar.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[44], Abû Dâwûd[45] dan An-Nasâ-iy[46]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.

Shalat fajar (dan, secara umum, shalat-shalat sunat lainnya) seyogyanya dilaksanakan di rumah. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى بَيْتِهِ تَطَوُّعاً نُوْرٌ فَمَنْ شَاءَ نَوَّرَ بَيْتِهِ

“Shalat tathawwu’ seseorang di rumahnya laksana cahaya; maka barangsiapa yang mau, cahayailah rumahnya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[47]).

# Usai shalat sunat fajar, jika shalat shubh belum lagi di-iqamah-kan, atau jika diperkirakan cukup waktu untuk berjalan ke Masjid, berbaringlah sejenak pada lambung kanan, atau, bercakap-cakap sejenak dengan anggota keluarga yang telah bangun. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyah t meriwayatkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فإِنْ كُنْتُ نَائِمَةً اضْطَجَعَ وَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً حَدّثَنِي

“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah menunaikan dua raka’at fajar, dan saya masih tidur, beliau pun berbaring; apabila saya sudah bangun, beliau bercakap-cakap dengan saya.” (Dikeluarkan oleh Muslim[48] dan Abû Dâwûd[49]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.

Lalu pergi menuju Masjid untuk menunaikan shalat shubh berjama’ah. Berjalanlah dengan tenang, tidak terburu-buru, serta tidak mempersilangkan jari jemari atau bersidekap, dan berdo’alah sepanjang jalan. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ والْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

“Apabila kalian mendengar seruan shalat akan ditegakkan, maka pergilah shalat. Jagalah cara berjalan kalian, setenang dan setegap mungkin. Jangan terburu-buru. Maka yang kalian dapatkan dari shalat secara berjama’ah, lakukanlah, dan yang ketinggalan, sempurnakanlah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[50], Muslim[51], Ahmad[52], Ibnu Mâjjaĥ[53], Abû Dâwûd[54], At-Turmudziy[55] dan Mâlik[56]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy.

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِداً إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِى صَلاَةٍ (وفى لفظ) فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Apabila salah seorang dari kalian berwudhu, sempurnakanlah wudhunya. Kemudian, apabila ia keluar menuju Masjid dengan sengaja, maka janganlah ia bersidekap, atau, mempersilangkan jari jemari, karena saat berjalan itu ia berada dalam shalat.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[57] dan At-Turmudziy[58]).

CATATAN: Berjama’ah di Masjid bagi wanita dibolehkan dengan syarat, walaupun bagi mereka lebih baik shalat di rumah. Sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam:

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid, namun di rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[59] dan Abû Dâwûd[60]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid-masjid Allâh, namun hendaklah mereka keluar tanpa wewangian.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[61], Ad-Darâmiy[62] dan Abû Dâwûd[63]).

# Sesampainya di Masjid, masuklah ke dalamnya dengan kaki kanan terlebih dahulu seraya membaca do’a. Mengenai mendahulukan kaki kanan dalam suatu urusan, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiall:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam amat mementingkan bagian kanan dalam setiap urusannya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[64], Muslim[65], Ahmad[66] dan Abû Dâwûd[67]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dan Abû Dâwûd.

Setibanya di dalam, berusahalah menempati shaff paling depan sebelah kanan, dan jangan melangkahi pundak-pundak orang lain, kecuali jika orang-orang menyia-nyiakannya (membiarkannya tidak terisi) --Pengecualian ini adalah pendapat sebagian Ahlu l-‘Ilmi lihat Al-Ghazâliy: Ihyâْ ‘Ulûma d-Dîn, Kitâb Asrâri sh-Shalât wa Mahmâtihâ, al-Bâbu l-Khâmis fî Fadhli l-Jum’ati wa Âdâbihâ wa Sunnanihâ wa Syurûtihâ, Bayânu Âdâbi l-Jum’ati ‘alâ Tartîbi l-‘Âdat, fî Hay-ati d-Dukhûli). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصَّفِّ اْلأَوَّلِ

“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff pertama.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[68], Ibnu Mâjjaĥ[69] dan Ad-Darâmiy[70]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjah fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa hadîts mengenai ini dari ‘Abdu r-Rahmân bin ‘Auf t yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjjaĥ, shahîh dan rijal-rijalnya tsiqât. Hadîts lain dari Al-Barâ` bin ‘Âzib t yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasâ-iy menggunakan lafaz: ’alâ sh-shaffi l-muqaddami (atas shaf yang lebih awal).

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوْفِ

“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff sebelah kanan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[71] dan Abû Dâwûd[72]).

مَنْ تَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ اتَّخِذَ جِسْراً إِلَى جَهَنَّمَ

“Barangsiapa yang melangkahi pundak-pundak orang pada hari jum’at, ia telah mengambil jalan lintas menuju Jahannam.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[73] dan At-Turmudziy[74]).

Kemudian, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat tahiyyatul masjid, sebelum duduk, kecuali jika shalat sudah di-iqamah-kan. Jika tidak (hendak) melakukannya, cukup membaca al-bâqiyyâtu sh-shâlihât satu, tiga atau empat kali (lihat Al-Ghazâliy: Bidâyatu l-Hidâyah, Âdâbu Dukhûli l-Masjid dan An-Nawawiy: Al-Adzkâr An-Nawawiyyah, Bâb Mâ Yaqûlu fî l-Masjid.). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلِيَرْكِعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Apabila salah seorang dari kalian memasuki Masjid maka hendaklah ia tunaikan dua raka’at shalat, sebelum ia duduk.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[75], Muslim[76], Ahmad[77], An-Nasâ-iy[78] dan Mâlik[79]). Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: fa l yushalli rak’ataini (maka hendaklah shalat dua raka’at).

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ

“Apabila telah di-iqamah-kan shalat, maka tidak ada shalat kecuali yang diwajibkan.” (Dikeluarkan oleh Muslim[80], Ahmad[81], Ibnu Mâjjaĥ[82], Ad-Darâmiy[83], Abû Dâwûd[84] dan An-Nasâ-iy[85]).

# Sesudah menunaikan shalat tahiyyatul masjid, dan shalat fardhu belum diserukan, berdzikirlah dan bertasbih, atau membaca Al-Qur-ân. Firman Allâh ta'ala:

فِى بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَلِ رِجَالٌ

“Bertasbih kepada Allâh para Rijâl di masjid-masjid yang telah diperintahkan-Nya untuk dimuliakan dan disebut-sebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang.” (An-Nûr 36-37).

Apabila adzan dan iqamah diperdengarkan, hentikanlah semua aktifitas itu, dan jawablah seruan adzan atau iqamah, lalu di penghujungnya memanjatkan do’a. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ

“Apabila kalian mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh Muadzdzin.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâ-riy[86], Muslim[87], Ahmad[88], Abû Dâwûd[89], At-Turmudziy[90], An-Nasâ-iy[91] dan Mâlik[92]).

Dan menurut keterangan dari Abû Umâmah t:

أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِى اْلإِقَامَةَ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا وَقَالَ فِى سَائِرِ اْلإِقَامَةِ

“Adalah Bilâl menyerukan iqamah. Maka, tatkala sampai pada seruan qad qâmati sh-shalâh, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: aqâmahâ llâhu wa adâmahâ; dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab seluruh seruan iqamah.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[93]). Menurut Al-Mundziriy, dalam sanad hadîts ini ada orang yang majhul dan Syahr bin Hausyab sendiri diperselisihkan statusnya.

Antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab bagi do’a, karena itu panjatkanlah do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat, dan jika tidak ada keperluan yang mendesak, tetaplah di tempat, jangan keluar dari Masjid. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ واْلإِقَامَةِ. قَالُوْا فَمَاذَا نَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ سَلُوا اللهَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

“Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak. Mereka (para shahabat yang mendengar sabda beliau e itu pun) bertanya: Apa yang kami mohonkan, Ya Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam? Jawab Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam: Mohonlah kepada Allâh keafiaatan di dunia dan akhirat.” (Bagian pertamanya dikeluarkan oleh Ahmad[94], Abû Dâwûd[95], At-Turmudziy[96] dan An-Nasâ-iy[97]; sedangkan tambahan pertanyaan: fa mâ dzâ naqûlu dan jawabannya dikeluarkan oleh At-Turmudziy[98]). Menurut At-Turmudziy, hadîts ini hasan, dan tambahan tersebut dari yang disampaikan oleh Yahyâ bin Al-Yamâni.

مَنْ أَدْرَكَهُ اْلأَذَانُ فِى الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ لَمْ يَخْرُجْ لِحَاجَةٍ وَهُوَ لاَ يُرِيدُ الرّجْعَةَ فَهُوَ مُنَافِقٌ

“Barangsiapa yang telah berada di Masjid mendengar adzan, lalu ia keluar bukan karena suatu keperluan mendesak, dan tidak bermaksud kembali lagi, maka ia seorang Munâfiq.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[99]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjaĥ fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa Ibnu Abî Farwaĥ dan ‘Abdu l-Jabbâr bin ‘Umar yang terdapat dalam sanad hadîts ini, dhaîf. Namun demikian, Ath-Thabrâniy dalam Al-Wasith meriwayatkan hadîts yang semakna dengan ini melalui perawi-perawi yang shahîh lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: Koleksi Hadits-Hadits Hukum 2 (Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 2001) “Masalah 196: Keluar Mesjid Sesudah Azan Dikumandangkan”, h.203.

# Sesudah menunaikan shalat shubh berjama’ah, hingga matahari terbit isi dengan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

لأَنْ أقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ

“Sungguh dudukku bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allâh sejak dari shalat shubh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada membebaskan empat puluh budak keturunan Ismâ’îl.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[100] dan Abû Dâwûd[101]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts Abû Dâwûd ini isnadnya jayyid. Ahmad meriwayatkannya dengan lafaz: adzkaro llâha wa ukabbiruhu wa uhammiduhu wa usabbihuhu wa uhalliluhu (berdzikir kepada Allâh dan bertakbir, bertahmid, bertasbih serta bertahlil kepada-Nya), tanpa menyebut lafaz: min shalâti l-ghadât.

Kemudian, hingga matahari naik setengah tombak, sehingga jelas benderang cahayanya (kira-kira 3 jam setelah terbitnya), isilah waktu dengan 4 hal: (1) Meneruskan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur, (2) menuntut Ilmu, (3) melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan sesama dan membahagiakan orang-orang beriman serta turut aktif dalam berbagai usaha meninggikan Kalimatillâh di tengah masyarakat, dan (4) mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ اللهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ وَلاَ حِجَابً يَحْجُبُهُ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Tiada seorang pun dari kalian kecuali kelak Allâh akan berbicara kepadanya tanpa penerjemah dan tanpa hijab yang menutupinya. Lalu ia berpaling ke sisi kanannya, maka tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Begitu pula ketika ia berpaling ke sisi kirinya, tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Dan ketika ia berpaling ke muka, maka tidak ada yang ia lihat selain Neraka yang tepat berada di hadapan wajahnya. Karena itu, hindarilah Neraka itu oleh kalian walaupun dengan sebiji kurma dan kalimat thayyibah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[102], Muslim[103], Ahmad[104], Ibnu Mâjjah[105] dan At-Turmudziy[106]). Ini gabungan lafaz dari Muslim dan Al-Bukhâriy. Ahmad, Ibnu Mâjjaĥ dan At-Turmudziy meriwayatkannya dengan lafaz: mani s-tathâ’a min kum an yaqiya wajhahu hurri n-nâra walaw bi syiqqin tamratin wa bi kalimatin thayyibatin fa l yaf’al (barangsiapa sanggup di antara kalian untuk melindungi wajahnya dari panas api Neraka, walau hanya dengan sebiji korma dan dengan kalimah thayyibah, maka lakukanlah). At-Turmudziy menilai hadîts mengenai ini yang diriwayatkannya, hasan shahîh.

#
--------------------------------------------------------------------------------

[1] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud, Bâb ‘Aqidi sy-Syaithân ‘alâ Qâfiyati r-Ra`si idzâ lam Yushalli bi l-Laili; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur ‘Abdullâh bin Yûsuf dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. Dalam Kitâb Bada-i l-Khalqi, Bâb Shifati Iblîs wa Junûdihi; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Ismâ‘îl bin Abî Uwais dari saudaranya dari Sulaimân bin Bilâl dari Yahyâ bin Sa’îd dari Sa’îd bin Al-Musayyab dari Abû Hurairah t.

[2] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâbu l-Hitstsi ‘alâ Shalâti l-Waqti wa in Qillat; Muslim menerimanya melalui jalur ‘Amrû An-Nâqid dan Zuhair bin Harb dari Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.

[3] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.

[4] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî Qiyâmu l-Lail; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah dari Abû Mu’âwiyyah dari Al-A’masy dari Abû Shâlih dari Abû Hurairah t.

[5] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Qiyâmi l-Lail; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur ‘Abdullâh bin Yûsuf dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.

[6] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Jâmi’u t-Targhîb fî sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.

[7] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Karâhatin Ghamasa l-Mu-tawadhdhi-i wa Ghairihi Yadahi l-Masykûki fî Najâsatihâ fî l-Inâ-i Qabla Ghasalahâ Tsalâtsân; Muslim menerimanya melalui jalur Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdhamiy dan Hâmid bin ‘Umar Al-Bakrâwiy dari Bisyr bin Al-Mufadhdhal dari Khâlid dari ‘Abdullâh bin Syaqîq (juga melalui jalur Salamah bin Syabîb dari Al-Hasan bin A’yan dari Ma’qil dari Abû z-Zubair dari Jâbir) dari Abû Hurairah t.

[8] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Sufyân dari Az-Zuhriy (juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari Muhammad bin ‘Amrû) dari Abû Salamah (juga melalui jalur ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih, dan dari Az-Zuhriy dari Ibnu l-Musayyab; dan jalur Hawdzah dari ‘Awf dari Muhammad; serta jalur Mûsâ bin Dâwud dari Ibnu Luhai’ah dari Abû z-Zubair dari Jâbir; dan jalur Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Khâlid dari ‘Abdullâh bin Syaqîq; dan jalur Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Is-hâq dan Al-A’raj; juga jalur Wakî’ dari Al-A’masy dari Abû Shâlih dan Abû Razîn; dan jalur Yazîd dari Ibnu Is-hâq dari Mûsâ bin Yassâr; serta jalur Yazîd dari Hisyâm dari Muhammad) dari Abû Hurairah t.

[9] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu th-Thahârah wa Sunnanihâ, Bâbu r-Rajuli Yastaiqazhi min Manâmi hi Hal Yadkhulu Yadahu fî l-Inâ-i Qabla an Yaghsilahâ; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy dari Al-Walîd bin Muslim dari Al-Awzâ‘iy dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah bin ‘Abdi r-Rahmân dari Abû Hurairah t; juga melalui jalur Harmalah bin Yahyâ dari ‘Abdullâh bin Wahb dari Ibnu Luhai‘ah dan Jâbir bin Ismâ‘îl dari ‘Uqail dari Ibnu Syihâb dari Sâlim dari Bapaknya.

[10] Sunan Ad-Darâmiy: Kitâbu sh-Shalât wa th-Thahârah, Bâb Idzâ Istaiqazha Ahadukum min Manâmihi; Ad-Darâmiy menerimanya melalui jalur Abû Nu’aim dari Ibnu ‘Uyainah dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t.

[11] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâb fî r-Rajuli Yadkhulu Yadahu fî l-Inâ-i Qabla an Yaghsilahâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin ‘Amrû bin As-Sarh dan Muhammad bin Salamah Al-Murâdiy dari Ibnu Wahb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Abû Maryam dari Abû Hurairah t.

[12] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a Idzâ Istaiqazha Ahadukum min Manâmihi fa Lâ Yaghmis Yadahu fî l-Inâ-i Hattâ Yaghsilahâ; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Abû l-Walîd Ahmad bin Bakkâr Ad-Dimasyqiy dari Al-Walîd bin Muslim dari Al-Awzâ‘iy dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t.

[13] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Wudhû-i n-Nâ-imi Idzâ Qâma ilâ sh-shalât dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Ta’wîl Qawluhu ‘Azza wa Jalla Idzâ Qumtum ilâ sh-shalât; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Qutaibah bin Sa’îd dari Sufyân (juga, dalam Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Amri bi l-Wudhû-i li n-Nâ-imi l-Mudhtaji’ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Wudhû-i mina n-Nawmi, melalui jalur Ismâ’îl bin Mas’ûd dari Yazîd dari Ma’mar) dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t.

[14] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Wudhû-i n-Nâ-imi Idzâ Qâma ilâ sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Yahyâ dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t.

[15] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâb Bada-i l-Khalqi, Bâb Shifati Iblîs wa Junûdihi; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Ibrâhîm bin Hamzah dari Ibnu Abî Hâzim dari Yazîd bin ‘Abdillâh dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t.

[16] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Ibtâr fî l-Istintsâr wa l-Istijmâr; Muslim menerimanya melalui jalur Bisyr bin Al-Hakam Al-‘Abdiy dari ‘Abdu l-‘Azîz Ad-Darâwardiy dari Ibnu l-Hâdi dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t.

[17] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb bi Kum Yastantsir; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Muhammad bin Zunbûr Al-Makkiy dari Ibnu Abî Hâzim dari Yazîd bin ‘Abdillâh dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t.

[18] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Abû ‘Ubaidah Al-Haddâd dari Muhammad bin ‘Amrû dari Abû Salamah (juga melalui jalur Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân) dari Abû Hurairah t.

[19] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu sh-Shiyâmi l-Awwal, As-Siwâk li sh-Shâ-imi bi l-Ghadâ ti wa DzakaRa Ikhtilâf; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Suwaid bin Nashr dari ‘Abdullâh dari ‘Ubaidillâh bin ‘Amr (juga melalui jalur Ibrâhîm bin Ya’qûb dari Abû Nu’mân dari Hammâd bin Zaid dari ‘Abdu r-Rahmân As-Sirâj) dari Sa’îd bin Abî Sa’îd Al-Maqbariy (juga melalui jalur Muhammad bin Yahyâ dari Bisyr bin ‘Amr dari Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân) dari Abû Hurairah t.

[20] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Mâ Jâ-a fî s-Siwâk; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân dari Abû Hurairah t.

[21] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu l-Wudhû’; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Muhammad bin Al-Mutsannâ dari Muhammad bin Khâzim (juga, dalam Kitâbu l-Janâ-iz, Bâbu l-Jarîdati ‘alâ l-Qabri, melalui jalur Yahyâ dari Abû Mu’âwiyyah; dan dalam Bâb ‘Adzâbi l-Qabri mina l-Ghîbati wa l-Bawli, melalui jalur Qutaibah dari Jarîr) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.

[22] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu d-Dalîl ‘alâ Najâsati l-Bawli wa Wujûbi l-Istibrâ-i minhu; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Sa’îd Al-Asyajj, Abû Kuraib Muhammad bin Al-‘Alâْ dan Is-haq bin Ibrâhîm dari Wakî’ (juga melalui jalur Ahmad bin Yûsuf Al-Azadiy dari Mu’allâ bin Asad dari ‘Abdu l-Wâhid) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.

[23] Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullâh bin ‘Abbâs y; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Abû Mu’âwiyyah dan Wakî’ dari Al-A’masy dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y; juga, dalam Hadîts Abû Umâmah t, melalui jalur Mujâhid Abû l-Mughîrah dari Ma’ân bin Rifâ’ah dari ‘Aliy bin Yazîd dari Al-Qâsim Abû ‘Abdu r-Rahmân dari Abû Umâmah t.

[24] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu th-Thahârah wa Sunnanihâ, Bâbu t-Tasydîdi fî l-Bawli; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah dari Abû Mu’âwiyyah dan Wakî’ dari Al-A’masy dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.

[25] Sunan Ad-Darâmiy: Kitâbu sh-Shalât wa th-Thahârah, Bâbu l-IttIqâ-i mina l-Bawli; Ad-Darâmiy menerimanya melalui jalur Al-Mu’allâ bin Asad dari ‘Abdu l-Wâhid bin Ziyâd dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.

[26] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Istibrâ-i mina l-Bawli; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Zuhair bin Harb dan Hannâd bin As-Sariy dari Wakî’ dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus (juga melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Jarîr dari Manshûr dari Mujâhid) dari Ibnu ‘Abbâs y.

[27] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a t-Tasydîdi fî l-Bawli; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Hannâd, Qutaibah dan Abû Kuraib dari Wakî’ dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.

[28] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu t-Tanzihi ‘ani l-Bawli; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Hannâd bin As-Sariy dari Wakî’ (juga, dalam Kitâbu th-Thahârah, Bâb Wadh’i l-Jarîdah ‘alâ l-Qabri, melalui jalur Hannâd bin As-Sariy dari Abû Mu’âwiyyah) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y.

[29] Musnad Ahmad: Hadîts As-Sayyidatu ‘Âîsyah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Aswad bin ‘Âmir, Wakî’ dan Hisyâm dari Syarîk (juga melalui jalur Yahyâ bin Âdam dari Hasan) dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.

[30] Sunan Ibnu Mâjjah: Abwâbu t-Tayammum, Bâb fî l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, ‘Abdullâh bin ‘Âmir bin Zurârah dan Ismâ’îl bin Mûsâ As-Saddiy dari Syarîk dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.

[31] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Ismâ’îl bin Mûsâ dari Syarîk dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.

[32] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Tarki l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Ahmad bin ‘Utsmân bin Hakîm dari Bapaknya dari Al-Hasan (juga melalui jalur ‘Amrû bin ‘Aliy dari ‘Abdu r-Rahmân dari Syarîk) dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t.

[33] Hadîts riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al-Hâkim ini terdapat dalam Kitâb “Subulu s-Salâm Syarh Bulûghi l-Marâm min Jami’ Adillati l-Ahkâm” karya Ash-Shan’âniy, tanpa menyebutkan sanadnya, dari Ibnu ‘Abbâs y.

[34] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu dz-Dzikri l-Mustahabbi ‘Iqabi l-Wudhû-i; Muslim menerimanya melalui jalur Muhammad bin Hâtim bin Maymûn dari ‘Abdu r-Rahmân bin Mahdiy dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair, dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.

[35] Musnad Ahmad: Hadîts ‘Uqbah bin ‘Âmir t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân dari Mu’âwiyyah dari Rubai’ah dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.

[36] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Yaqûlu r-Rajuli Idzâ Tawadha-a; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin Sa’îd Al-Mahdâniy dari Ibnu Wahb dari Mu’â wiyyah bin Shâlih dari Abû ‘Utsmân (juga, dalam Bâb Karâhiyati l-Waswasah wa Hadîtsi n-Nafsi fî sh-Shalât, melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Zaid bin Al-Hubâb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy) dari Jubair bin Nufair dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.

[37] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Tsawâbu Man Ahsana l-Wudhû-a Tsumma Shallâ Rak’ataini; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Mûsâ bin ‘Abdi r-Rahmân dari Zaid bin Hubâb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd Ad-Dimasyqiy dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair, dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t.

[38] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud, Bâb Ta’âhudi Raka’atayi l-Fajr wa Man Sammâhumâ Tathawwu’ân; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Bayân bin ‘Amrû dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.

[39] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirína wa Qashrahâ, Bâb Istihbâbi Raka’atayi Sunnati l-Fajr wa l-Hitstsi ‘Alaihimâ; Muslim menerimanya melalui jalur Zuhair bin Harb dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.

[40] Musnad Ahmad: Hadîts As-Sayyidatu ‘Âîsyah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yahyâ bin Sa’îd, ‘Abdu r-Razzâq dan Ibnu Bakr dari (juga langsung melalui) Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.

[41] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Raka’atayi l-Fajr; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Musaddad dan Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.

[42] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu s-Shalât, Bâbu l-Mu’âhadati ‘alâ r-Raka’ataini Qabla Shalâti l-Fajr; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Ya’qûb bin Ibrâhîm dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t.

[43] Musnad Ahmad: Hadîts Qais bin ‘Amrû t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Razâq dari Ibnu Juraij dari ‘Abdullâh bin Sa’îd dari Kakeknya.

[44] Musnad Ahmad: Hadîts ‘Imrân bin Hushain t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yazîd dari Hisyâm dan Rawah dari Al-Hasan dari ‘Imrân bin Hushain t.

[45] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb fî Man Nâmi ‘an Shalâtin aw Nasîhâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Wahb bin Baqiyyah dari Khâlid dari Yûnus bin ‘Ubaid dari Al-Hasan dari ‘Imrân bin Hushain t.

[46] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu l-Mawâqît, Bâb Kaifa Yaqdhiya l-Fâ-itu mina sh-Shalâti; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Hannâd bin As-Sirriy dari Abû l-Ahwash dari ‘Athâ` bin As-Sâ-ib dari Buraida bin Abî Maryam dari Bapaknya.

[47] Musnad Ahmad: Musnad ‘Umar bin Al-Khaththâb t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Hâsyim bin ‘Amrû Al-Bajaliy dari ‘Umar bin Al-Khaththâb t.

[48] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirína wa Qashrahâ, Bâb Shalâti l-Lail wa ‘Iddadu Raka’âti n-Nabiyy; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, Nashr bin ‘Aliy dan Ibnu Abî ‘Umar dari Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû An-Nadhr dari Abû Salamah dari ‘Âîsyah t.

[49] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâbu Idhtijâ’i Ba’dihâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Musaddad dari Sufyân dari Zayâd bin Sa’d dari Ibnu Abî ‘Attâb dari Abû Salamah dari ‘Âîsyah t.

[50] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu l-Adzân, Bâb Qawli r-Rajuli fa Atatnâ sh-Shalât dan Kitâbu l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ l-Jamâ’ah; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Âdam dari Ibnu Abî Dzi’b dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t. Dalam Kitâbu l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ l-Jamâ’ah; Al-Bukhâriy juga menerimanya tanpa melalui Âdam, tetapi langsung dari Ibnu Abî Dzi’b.

[51] Shahîh Muslim: Kitâbu l-Masâjid wa Mawâdhi’i sh-Shalât, Bâb Istihbâbi Ityâni sh-Shalât bi WIqârin wa Sakînatin wa n-Nahyi ‘an Ityânahâ Sa’iyyân; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, ‘Amrû An-Nâqid dan Zuhair bin Harb dari Sufyân bin ‘Uyainah (juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far bin Ziyâd dari Ibrâhîm bin Sa’d) dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah (juga melalui jalur Yahyâ bin Ayyûb, Qutaibah bin Sa’îd dan Ibnu Hujr dari Ismâ’îl bin Ja’far dari Al-‘Alâ` dari Bapaknya; dan jalur Muhammad bin Râfi’ dari ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih) dari Abû Hurairah t.

[52] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih (juga dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab; juga melalui jalur Hajjâj dari Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah; dan jalur ‘Abdu r-Rahmân, Is-hâq dan ‘Utsmân bin ‘Umar dari Mâlik dari Al-A’lâ` bin ‘Abdi r-Rahmân bin Ya’qûb dari Bapaknya dan Is-hâq bin ‘Abdillâh; juga jalur Wakî’ dan ‘Abdu r-Rahmân dari Sufyân Al-Ma’aniy dari Sa’d bin Ibrâhîm dari ‘Amrû bin Salamah) dari Abû Hurairah t; juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari ‘Awf dari Al-Hasan.

[53] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu l-Masâjid wa l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ sh-Shalât; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Muhammad bin ‘Utsmân dari Ibrâhîm bin Sa’d dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t.

[54] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâbu l-Sa’iyyi ilâ sh-Shalât; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin Shâlih dari ‘Anbasah dari Yûnus dari Ibnu Syihâb dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t.

[55] Jâmi’u t-Turmudziy: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Masy-yi ilâ l-Masjid; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Muhammad bin ‘Abdi l-Malik bin Abî sy-Syawârib dari Yazîd bin ZuRay’i dari Ma’mar dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t.

[56] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî n-Nidâ-i sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Al-A’lâْ bin ‘Abdi r-Rahmân bin Ya’qûb dari Bapaknya dan Is-hâq bin ‘Abdillâh dari Abû Hurairah t.

[57] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Hadyi fî l-Masy-yi ilâ sh-Shalât; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Muhammad bin Sulaimân Al-Anbâriy dari ‘Abdu l-Malik bin ‘Amrû dari Dâwud bin Qais dari Sa’d bin Ish-hâq dari Abû Tsumâmah Al-Hannâth dari Ka’b bin ‘Ujrah t.

[58] Jâmi’u t-Turmudziy: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî Karâhayati t-Tasybîki Bayna l-Ashâbi’i fî sh-Shalât; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Qutaibah dari Al-Laits bin Sa’d dari Ibnu ‘Ajlân dari Sa’îd Al-Maqburiy dari Seorang Rijal dari Ka’b bin ‘Ujrah t.

[59] Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullâh bin ‘Umar y; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Muhammad bin Yazîd dari Al’Awwâm bin Hawsyab dari Habîb bin Abî Tsâbit dari ‘Abdullâh bin ‘Umar y.

[60] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî lKhurûjin n-Nisâ-a ilâ l-Masjid; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Yazîd bin Hârûn dari Al’Awwâm bin Hawsyab dari Habîb bin Abî Tsâbit dari ‘Abdullâh bin ‘Umar y.

[61] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yahyâ dan Muhammad bin ‘Ubaid dari M

Sumber : perpustakaan-islam.com